Android dan Peluang Bagi Para Pengembang Aplikasi Lokal

Popularitas Android terus bertumbuh, bukan hanya dari jumlah perangkat yang mengadopsi platform ini, tetapi juga para operator telekomunikasi yang mulai memberikan fokus yang lebih pada platform opensource yang dikembangkan Google ini.

Beberapa waktu yang lalu, Kompas memuat artikel yang memberitakan bahwa kini Telkom dengan produk Flexi mereka akan mulai menyasar para konsumen yang tertarik dengan Android, dengan menyediakan Android untuk pengguna CDMA pertama yang bekerjasama dengan beberapa vendor ponsel lewat sistem bundling.

Kompas juga menuliskan bahwa, Flexi menggandeng 150 mitra penyedia konten dan akan meluncurkan Flexi Market yang nantinya bisa ditemukan di Android Market. Aplikasi ini dikabarkan akan dirilis bulan September ini.

Melihat perkembangan ini, saya mencoba melakukan wawancara via email dengan Agus Hamonangan, sebagai founder dari ID-Andorid, untuk melihat bagaimana pandangan beliau atas perkembangan dari Flexi ini, dan secara keseluruhan tentang perkembangan yang terjadi di komunitas pengembang Android di Indonesia.

Tentang Android Flexi (kita sebut saja demikian), Agus Hamonangan mengatakan bahwa, perkembangan ini akan sangat baik untuk menunjang perkembangan pengembang Android lokal dan memenuhi kebutuhan aplikasi dengan rasa lokal yang dibutuhkan oleh pengguna, perkembangan yang dilakukan Flexi ini adalah sebuah peluang dan juga tantangan, “sebab aplikasi yang ada di android market kebanyakan gratis, para pengembang lokal harus bisa menemukan bisnis model yang menarik dan menguntungkan”.

Model bisnis bisa menjadi hal yang serius bagi para pengembang, produk yang dikembangkan oleh para pengembang tentu harus diganti dengan pemasukan untuk membiayai produksi pengembangan aplikasi lain, model usaha yang biasanya dijalankan oleh pengembang antara lain, aplikasi yang bersifat gratis bisa berperan sebagai portofolio untuk mengejar proyek yang didasarkan dari keahlian para pengembang atas aplikasi yang mereka kembangkan atau dengan sistem mobile advertising.

Ditambahkan juga oleh Mas Agus bahwa semakin menjamurnya platform Android di tanah air, maka akan dibutuhkan aplikasi lokal yang memang khusus dibuat oleh pengembang lokal, dimana pengembang lokal ini harus siap bersaing juga dengan pengembang dari luar negeri.

Untuk masalah konsumen juga memberikan persoalannya tersendiri, beberapa kali saya sendiri diberi pertanyaan oleh teman-teman disekitar saya tentang apa itu Android dan apa keunggulan yang ditawarkannya, ini menjelaskan bahwa konsumen ternyata belum semuanya paham tentang keungulan dan layanan yang ditawarkan oleh Andorid.

Untuk permasalahan ini, Mas Agus mejelaskan bahwa, “mungkin mindset kebanyakan masyarakat kita selama ini adalah opensource itu susah, ribet, dll. Untuk itulah dibutuhkan sosialisasi Android yang melibatkan 4 pihak: Google, vendor ponsel, operator/telco, komunitas ID-Android.”

Lalu bagaimana dengan perkembangan developer Android lokal sekarang ini, dan hubungannya tentang pendapatan yang mereka dapatkan? Mas Agus menjelaskan bahwa tantangan yang harus dihadapi oleh pengembang aplikasi lokal adalah, apakah mereka siap atau tidak untuk menghadapi pengembang luar yang aplikasinya keren dan juga gratis.

“Hemat saya developer lokal harus mulai dari dalam, artinya bikin aplikasi lokal yang berguna bagi user Indonesia. Baru bikin aplikasi yang global dan keren, agar siap beradu di pasar aplikasi global. Bisnis modelnya kedepan adalah “MOBILE ADVERTISING”  yang bisa jalan disetiap aplikasi yang kita bikin.”

Mas Agus juga menjelaskan bahwa peluang bagi pengembang aplikasi lokal juga masih terbuka lebar, baik di pasar lokal maupun international, tetapi tidak terlepas juga dari tantangan serta kesulitan yang biasanya muncul bagi pengembang lokal, berikut penjelasan Mas Agus:

1. Untuk aplikasi yang ditaruh di Android market, tantangannya adalah belum adanya payment gateway dari Indonesia, sehingga kita hanya bisa download aplikasi gratis.

2. Untuk aplikasi yang ditaruh di “local app store”  kurang menariknya pembagian. Share hasil penjualan aplikasi, para developer lokal kebagian kecil sekitar 50%, Operator 30% dan CP 20%. Harusnya peran Content Provider  (CP) ditiadakan, langsung saja local app storel itu diurus operator, sehingga pembagian bisa 80% untuk pengembang dan 20% untuk Operator.

Masih berhubungan dengan konsumen, meski sudah banyak pendekatan langsung pada konsumen, baik itu yang dilakukan oleh vendor ponsel, perusahaan telekomunikasi ataupun para pengembang sendiri, memang masih butuh waktu bagi Android bisa dikenal dan terutama digunakan oleh masyarakat yang lebih luas.

Beberapa hari yang lalu saya mencoba untuk memperhatikan toko-toko penjualan ponsel di salah satu pusat pertokoan ponsel di Bandung, beberapa ‘hiasan’ atau banner iklan di toko-toko tersebut masih didominasi oleh pajangan atau iklan BlackBerry, yang memang kini menjadi ponsel populer, namun dominasi ini sepertinya akan mulai berubah, salah satunya adalah dengan akan semakin banyak muncul ponsel-ponsel Android yang menyasar pengguna menengah-bawah, dan tentu saja komunitas para pengembang juga akan memegang peranan penting, seiring dengan tren kedepan perangkat bergerak dan telekomunikasi yang akan menitikberatkan pada konten, bukan lagi tarif telepon.

Bagaimana dengan pendapat Anda tentang perkembangan Android di tanah air? Apakah Anda juga salah satu pengembang Android, bagaimana pengalaman Anda mengembangkan aplikasi Android? Dan bagaimana pendapat Anda tentang platform ini dalam waktu kedepan? Mari diskusikan pendapat Anda pada kolom komentar.

Untuk yang tertarik dengan komunitas ID-Android bisa bergabung dengan komunitas ini dengan mengunjungi tautan berikut.

4 thoughts on “Android dan Peluang Bagi Para Pengembang Aplikasi Lokal

  1. Menarik juga melihat android berkembang di Indonesia. Moga2 bisa kalahin blackberry dah. Salah satunya dengan operator seluler bisa memberikan paket data yg lebih terjangkau buat pengguna di indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published.