Mencoba Memahami Langkah Telkom Memblokir Netflix

Grup Telkom hari ini menggegerkan industri digital dengan memutuskan memblok akses ke Netflix. Konsumen tidak bisa lagi menggunakan layanan IndiHome, WiFi.id, dan Telkomsel untuk mengakses layanan streaming video paling populer yang baru saja melebarkan usahanya di Indonesia ini. Mengingat pemerintah sendiri tidak menjatuhkan keputusan Netflix, disinyalir hal ini adalah antisipasi persaingan bisnis yang kurang elegan.

Sebelumnya Menkominfo Rudiantara sudah menegaskan bahwa pemerintah tidak akan memblok Netflix dan memberikan tenggat waktu satu bulan bagi Netflix untuk mengurus perizinan badan usaha (atau bersinergi dengan layanan lokal) dan memastikan kontennya lulus sensor. Hal ini berbeda dengan sikap pemerintah yang memblok Vimeo karena disinyalir memiliki konten dianggap “tidak sesuai”.

Ternyata Grup Telkom, yang notabene adalah perpanjangan tangan pemerintah, mendahului pemerintah dalam hal “memutuskan hubungan” dengan Netflix.

Direktur Consumer Telkom Dian Rachmawan mengatakan:

“Kami blokir Netflix karena tidak memiliki izin atau tidak sesuai aturan di Indonesia, dan banyak memuat konten yang tidak diperbolehkan di negeri ini. Kami ini Badan Usaha Milik Negara (BUMN), harus menjadi contoh dan menegakkan kedaulatan Negara Kedaulatan Republik Indonesia (NKRI) dalam berbisnis.

Kita maunya kalau berbisnis itu harus mematuhi aturan Indonesia. Di luar negeri mereka (Netflix) lakukan kerja sama dengan beberapa operator, masa di sini tidak? Padahal, jika kerja sama dengan operator lokal banyak manfaat didapatkan kedua belah pihak.”

Kalau kerja sama langsung, kita bisa kelola Netflix melalui platform Over The Top (OTT) yang dimiliki Telkom.”

Ada beberapa hal tersirat dari pernyataan Dian tersebut. Kami melihat masalah utama Telkom terhadap Netflix adalah keengganannya untuk bekerja sama dengan pihak lokal, sebagaimana yang dilakukan dengan beberapa operator di negara lain. Telkom mengisyaratkan sebaiknya Netflix jika ingin berbisnis di Indonesia harus bermitra dengan pihak lokal.

Selain itu, Telkom sesungguhnya memiliki beberapa layanan video on-demand yang secara langsung bersaing dengan Netflix. Mereka adalah Moovigo (yang dimiliki Telkomsel), UseeTV, dan yang akan datang HOOQ (yang dibawa SingTel Group melalui Telkomsel).

Sulit untuk memahami langkah Telkom ini di luar unsur persaingan bisnis, mengingat pemerintah sebagai pemilik Telkom belum memutuskan blokir terhadap Netflix.

Telkom menganggap Netflix masih kecil dan tidak masalah untuk diblokir, tapi data menunjukkan pertumbuhan konsumsi video online (atau on-demand) di Indonesia bertumbuh sangat pesat dan suatu saat bakal mengguncang hegemoni televisi. Bagi Netflix, meskipun merugikan, langkah Grup Telkom ini adalah publikasi gratis yang justru mendorong masyarakat ingin tahu lebih banyak mengapa sampai Telkom melakukan hal ini.

Dalam sebuah kolom di The Motley Fool, penulis Anders Bylund empat hari lalu menuliskan ia memahami Indonesia sebagai pasar sulit tetapi harus menjadi prioritas Netflix mengingat potensi 250 juta penduduknya tidak bisa dianggap remeh. Ia menyarankan CEO Reed Hastings untuk segera datang ke Jakarta dan menyelesaikan masalah ini dengan pihak terkait untuk memastikan Netflix memiliki posisi yang kuat ketika layanan video on-demand sudah booming di sini.

Buat kami, langkah Telkom ini semata-mata adalah keputusan strategis bisnis dan cukup disayangkan jika langkah yang diambil kurang elegan. Memblokir layanan legal dan tetap membolehkan akses terhadap layanan ilegal, seperti torrent, berarti tidak memperbesar pasar industri konten yang selama ini dimakan oleh pembajakan.

Kehadiran Netflix bersifat disruptive, seperti halnya Uber terhadap layanan transportasi. Meskipun pelaku bisnis yang sudah ada tidak menyukai mereka, demand (dan perlawanan) pasti akan ada jika konsumen menyukai layanan yang ditawarkan. Kita tunggu bagaimana reaksi Netflix dan pemerintah, dan kompromi seperti apa yang akan dilakukan.