Program Inkubasi Trailblazers, Dorong Mahasiswa Jadi Wirausahawan Berbasis Teknologi

KIBAR, tech startup ecosystem builder, berkolaborasi dengan London School of Public Relations (LSPR) mengembangkan program inkubasi bisnis teknologi digital bernama Trailblazers bertujuan untuk mengembangkan potensi mahasiswa dan mahasiswi LSPR untuk menciptakan startup yang mampu memberikan kontribusi dan perubahan baik untuk Indonesia.

Dalam program ini, ada beberapa tahapan yang akan dilalui oleh peserta. Pertama mulai dari Ignition, yaitu seminar untuk menanamkan pola pikir entrepreneurship dengan target 200 peserta setiap batch-nya. Peserta Ignition yang layak dapat melanjutkan ke tahap Workshop untuk diberikan pembekalan keahlian yang mereka butuhkan dalam membuat sebuah startup digital.

Setelah itu, peserta yang lolos akan lanjut ke tahap kedua yaitu Hackathon. Dalam tahap ini peserta diharapkan dapat menghasilkan prototype produk dari ide solusi aplikasi. Di tahap ini, founder akan ditemukan dengan calon founder lainnya dari tiga bidang berbeda yaitu bisnis, teknologi, dan desain.

Tahap selanjutnya Bootcamp, yang merupakan sesi mentoring mendalam untuk menyapkan strategi peluncuran produk. Terakhir, 10 tim terpilih akan diinkubasi selama kurang lebih tiga bulan untuk dibina dan dibukakan akses ke berbagai pihak untuk memajukan startup mereka.

“LSPR sedang mempersiapkan para mahasiswa dan lulusan untuk siap menjadi entrepreneur. Mereka belajar ilmu komunikasi di mana ilmu ini sangat dibutuhkan oleh semua entrepreneur. Jadi seharusnya lulusan LSPR bisa menjadi wiraswasta yang terampil dan komunikatif dalam hal memasarkan, mempromosikan, dan mem-PR0kan dan bisa bersaing di kancah internasional,” terang Prita Kemal Gani, Direktur dan Founder LSPR Jakarta.

Dalam peresmiannya, ada tiga sesi diskusi membahas tentang startup, diisi oleh berbagai narasumber dari startup ternama. Pada sesi pertama, membahas How to Start a Startup dengan narasumber Alamanda Shantika, VP Product Go-Jek. Alamanda berbagai pengalaman mulai dari asal mula Go-Jek berdiri, bagaimana visinya, hingga latar belakang orang-orang di Go-Jek tidak harus berlatar pendidikan programmer.

Menurutnya, pada awal Go-Jek berdiri di 2010 masih berupa call center untuk memanggil ojek. Awalnya butuh waktu 30 menit untuk mendapatkan pengemudi, kemudian pada 2014 setelah diluncurkan aplikasinya proses mendapat pengemudi jadi lebih singkat.

“Startup itu muncul dari masalah yang sudah ada, lalu selesaikan. Go-Jek itu muncul karena ada misi social impact ingin menghidupi keluarga Indonesia lewat pekerjaan jadi ojek, jadinya masalah lebih mengerucut dan solusi yang bisa dihadirkan lebih tepat sasaran,” ujarnya.

Dia juga menjelaskan, dalam jajaran direksi dalam Go-Jek tidak harus melulu dilatarbelakangi oleh orang-orang dari lulusan programmer saja. Ada dari lulusan marketing, teknis, keuangan, dan lainnya. “Yang terpenting, kami memiliki satu visi yang sama.”

Kemudian, pada sesi kedua membahas Outside the Comfort Zone. Pembicaranya adalah Hanifa Ambadar (CEO Female Daily), Yuka Harlanda (CEO Brodo), dan dimoderatori oleh Tommy Herdiansyah (Founder Code Margonda). Di sesi ini, Hani menerangkan comfort zone dalam setiap stage berbeda-beda tergantung startup itu sendiri. Menurutnya, dari hasil riset, sekitar 70%-80% gagalnya startup terjadi karena faktor internal.

Baginya, untuk keluar dari zona nyaman butuh target yang ingin dicapai. Untuk Female Daily, sambungnya, ia ingin posisinya bisa menyamakan dengan media ternama untuk perempuan seperti Femina Grup. “Perlu visualisasi mimpi, kami ingin sebesar Femina Grup, memiliki media print terbesar untuk perempuan dan ada gedung sendiri.”

Senada, menurut Yuka, cara paling mudah untuk bisa keluar dari comfort zone yakni dengan melihat kompetitor, mulai dari pencapaian bisnis mereka dan strategi-strateginya. “Dari total populasi laki-laki di Indonesia, sekitar 100 juta laki-laki butuh sepatu. Itu target penjualan kami yang ingin dicapai.”

Sesi terakhir membahas Don’t Just Start a Business, Solve a Problem yang oleh Leonika Sari (CEO Redblood), Dennis Adhiswara (CEO Layaria), dan Dhini Hidayati (Co-Founder Gandeng Tangan). Kesimpulan dari diskusi ini, seluruh pembicara sepakat bahwa dasar utama mendirikan startup perlu didasari oleh masalah yang terjadi di lingkungan sekitar dan sesuai dengan minat dan kemampuan.

Leonika menerangkan permasalahan yang mendasari pendirian Redblood adalah minimnya stock ketersediaan darah di rumah sakit. Dalam setahun dibutuhkan 5 juta kantong darah, tetapi hanya tersedia setengahnya saja. Setelah diriset, rupanya banyak pendonor yang berminat untuk mendonorkan darahnya, tetapi banyak permasalahan yang mereka hadapi, misalnya, tidak adanya waktu untuk ke kantor PMI karena lokasinya yang terlalu jauh. Malah persentase keberhasilan pendonor tidak selalu 100%. Lebih dari 50% dari total peserta banyak yang ditolak karena ketidaktahuannya tentang persyaratan menjadi pendonor, seperti kurang tidur, sedang mengkonsumsi obat, dan lain-lain.

“Dari aplikasi Redblood, ada event donor terdekat sesuai dengan lokasi pendonor berada. Selain itu, karena kita berbentuk lifestyle ada reward berbentuk poin yang bisa didapat pendonor bila berhasil mendonorkan darahnya.”

Dennis menambahkan, meski sudah mengerucutkan masalah, persentase kegagalan di startup sangat tinggi. Namun, semakin banyak kegagalan, semakin kaya dengan pengalaman agar tidak mengulanginya kembali.

“Kegagalan itu justru jadi romantika dari proses pendirian startup. Jadilah orang yang ada di proses sejarah itu,” pungkasnya.