Bank Indonesia: Tidak Semua Fintech Bisa Masuk ke BI Fintech Office

Hari ini, (14/11) Bank Indonesia meresmikan Bank Indonesia Fintech Office (BI-FTO) yang merupakan sebuah unit/gugus tugas di dalam bank sentral. Ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara inovasi dan pengelolaan risiko dalam fintech, menyusun regulasi yang mengedepankan perlindungan konsumen, serta memperkuat koordinaasi dengan pihak terkait.

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan, “Inovasi teknologi adalah suatu keniscayaan. Dengan pesatnya perubahan landscape yang terjadi, regulasi tidak seharusnya mencoba untuk mendahului inovasi. Namun, kami meyakini regulasi perlu selalu berada di dekat inovasi.”

“Pendirian BI-FTO ini adalah upaya kami untuk menjaga level of playing field melalui rezim regulasi yang berimbang dan proporsional tanpa harus mematikan laju inovasi,” lanjut Agus.

Adapun peran BI-FTO terbagi menjadi empat fungsi, yaitu sebagai katalisator atau fasilitator, business intelligence, assessment, dan terakhir sebagai koordinasi dan komunikasi.

Dalam hal sebagai katalisator atau fasilitator, BI berfungsi menyediakan wadah bagi pertukaran ide inovatif dan informasi untuk pengembangan fintech. Sedangkan dalam hal business intelligence, BI-FTO akan jadi lembaga yang memfasilitasi teknik dan alat untuk mentransformasi data mentah jadi informasi terbaru sebagai bahan analisis.

Dari sisi assessment, BI akan melakukan monitoring dan pemetaan potensi manfaat sekaligus risiko dari model bisnis fintech, dan juga mengembangkan respons kebijakan termasuk mengimplementasikan regulatory sandbox. Sementara itu pada fungsi koordinasi dan komunikasi BI akan menyediakan one stop services bagi fintech untuk memahami kebijakan dan kerangka pengaturan BI dalam mendukung fintech, dan mengkoordinasikan inisiatif lintas otoritas.

Kendati demikian, tidak semua fintech bisa masuk ke dalam BI-FTO. Sebab, menurut Agus, sebagai bagian dari fungsi assessment yang dilakukan BI-FTO ada sebuah inisiatif yang dinamakan regulatory sandbox.

Inisiatif ini dapat dianalogikan sebagai sebuah laboratorium yang digunakan bersama oleh pelaku fintech dan regulator untuk menguji model bisnis dan produk atau layanan fintech sebelum masuk ke dalam rezim perizinan secara penuh.

Dia melanjutkan, pengujian ini dilakukan dalam lingkungan terbatas untuk memastikan identifikasi dan mitigasi seluruh risiko yang mungkin timbul. Pembatasan diberikan dalam bentuk perizinan terbatas pada layanan, jangka waktu, atau wilayah penyelenggaraan.

Ronald Waas, Deputi Gubernur BI, menambahkan beberapa contoh model bisnis yang tidak masuk ke dalam BI-FTO, misalnya e-wallet dan e-money. Dia menekankan BI-FTO dikhususkan untuk segmen bisnis fintech yang tergolong baru dan belum diatur oleh BI sebagai otoritas sistem pembayaran.

“Yang bisa masuk hanya yang sifatnya breakthrough atau bersifat baru. Semua akan kembali ke cakupan bisnisnya. Kalau untuk transfer dana, e-money, dan e-wallet kan sudah diatur sebelumnya oleh BI,” kata Ronald.

Bank sentral sendiri tidak bisa mengungkapkan model bisnis seperti apa yang akan bermunculan di BI-FTO. Pasalnya, seluruh model bisnis fintech diserahkan langsung oleh inovasi yang diciptakan oleh pelaku usaha.

Sejauh ini, BI sudah mengeluarkan aturan untuk sistem pembayaran Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK), Uang Elektronik, dan Transfer Dana.

Bank sentral sendiri mengelompokkan empat kategori utama bisnis fintech yang bakal di bawahinya, yakni pertama payment, clearing, settlement. Kedua, deposit, lending, capital raising. Ketiga, market provising, dan terakhir investment dan risk management.

Hingga kini, pangsa pasar aktivitas fintech di Tanah Air masih didominasi oleh kelompok pertama dengan persentase sekitar 56%. Kemudian, berdasarkan data Statista, di tahun ini nilai transaksi fintech di Indonesia diperkirakan telah menembus angka USD 14,5 Miliar.

PBI PTP akan atur struktur kepemilikan penyelenggara

Dalam PBI mengenai Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran (PBI No. 18/40/PBI/2016), BI menerbitkan sebagai wujud komitmen atas empat hal utama. Yakni, (1) mengokomodir inovasi, (2) meningkatkan keamanan, termasuk pemenuhan standar dan audit keamanan secara berkala, (3) menjaga level of playing field, dan (4) perlindungan konsumen di tengah ancaman fraud dan kejahatan siber.

Aturan ini mengatur dua subjek utama dalam suatu aktifitas PTP, yaitu penyelenggara jasa SP (Sistem Pembayaran), sebagai pihak yang bertanggung jawab atas tahapan otoritasasi, kliring, dan settlement. Pihak ini termasuk penyelenggara switching, payment gateway, dan dompet elektronik diwajibkan memiliki izin dari BI.

Kedua, penyelenggara penunjang transaksi pembayaran seperti perusahaan penyedia kartu, ATM, EDC, dan data center. Dalam hal ini, penyelenggara jasa perlu meminta persetujuan kerja sama dan bertanggung jawab untuk memastikan keamanan dan kelancaran pemrosesan transaksi yang difasilitasi mereka.

Ronald menambahkan, untuk perlindungan konsumen dan sistem keamanan yang lebih baik dalam PBI juga akan mengatur minimal kepemilikan fintech adalah 80% dimiliki oleh orang atau berbentuk badan hukum lokal.

“Ke depannya bukan lagi peperangan fisik, tapi perang siber. Kami nilai ini jadi penting, makanya sudah harus mulai menjaga aset informasi konsumen dengan baik mulai dari mengatur persentase kepemilikan harus dikuasai lokal,” pungkas dia.