Karena yang Ditenggelamkan, Tetap Bisa Kembali Mengapung

Bagai sebuah genderang yang ditabuh kencang, penolakan terhadap layanan transportasi berbasis aplikasi kembali mencuat. Tak tanggung-tanggung, di hampir semua basis bisnis utama pemain jasa on-demand tersebut mendapatkan protes keras dari para pelayan transportasi konvensional. Di Bandung, Malang, Yogyakarta, Tangerang bahkan Medan dalam kurun waktu berdekatan semua kembali menentang keberadaan layanan modern tersebut.

Kendati terjadi di waktu berdekatan, jika ditelisik secara detail permasalahan terhadap transportasi berbasis aplikasi ada dua jenis. Pertama yang menentang adanya taksi online berpelat nomor hitam, seperti yang riuh di Bandung dan Yogyakarta. Yang kedua menentang transportasi online secara umum, baik itu berupa ojek online dan taksi online. Ini terjadi di Tangerang, Medan dan Malang.

Hal ini sebenarnya bukan masalah baru. Sejak awal hype kemunculan layanan on-demand, isu tersebut tak pernah absen dipersoalkan, bahkan sempat terjadi demo besar di ibukota.

Di tengah hingar-bingar demonstrasi belakangan ini, kasus di Malang membawakan cerita menarik. Ketika masyarakat justru tampak kurang respect dengan aksi mogok yang dilakukan para sopir angkot, mereka secara sukarela menjadi relawan penyedia jasa transportasi bagi mereka yang terlantar kesulitan mencari transportasi, seperti anak sekolah. Hal ini menjadi sebuah indikasi bahwa masyarakat pun kini lebih memandang manfaat yang diberikan layanan transportasi berbasis aplikasi.

Dijejali “perang inovasi”

Selain pemberitaan penolakan di sana-sini, kabar baik justru sering disajikan para pemain yang bersaing di Indonesia. Setidaknya sejak pertengahan tahun lalu, perusahaan penyedia platform aplikasi terus memacu inovasi produk, baik mematangkan portofolio e-wallet yang dimiliki, meluncurkan program loyalitas pelanggan, ekspansi, hingga peluncuran ragam produk baru.

Tak hanya itu, kerja sama pun secara intensif dilakukan dengan berbagai mitra strategis. Beberapa waktu lalu Go-Jek mengumumkan bahwa kini pemesanan taksi BlueBird dapat dilakukan melalui Go-Car.

Selebaran promosi Go-Jek yang menampilkan keterangan dukungan Pemkot Bandung
Selebaran promosi Go-Jek yang menampilkan keterangan dukungan Pemkot Bandung

Keributan itu hanya terpendam sejenak, karena nyatanya mamang belum ada win-win solution yang dihasilkan dari aksi-aksi pro-kontra yang dilakukan sebelumnya. Pun demikian dari pihak pemerintah, selain arahan “halus” dan janji negosiasi, sejauh ini belum ada kesepakatan tegas yang mampu meregulasi, karena transportasi ojek sendiri tidak masuk dalam poin regulasi jasa angkutan darat, namun membudaya dengan sendirinya.

Lalu apakah ini harus menjadi justifikasi modernisasi secara penuh aturan yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan?

“Sama rata” antara dua jenis layanan transportasi tidak menjadi solusi yang pas

Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan mengeluarkan Permen No. 32 Tahun 2016 yang mengatur transportasi berbasis aplikasi online, salah satunya berbenah soal tarif dan kelengkapan pengemudi jasa transportasi berbasis aplikasi. Tampaknya aturan tersebut tidak bisa berjalan beriringan dengan apa yang diteriakkan oleh penentang layanan on-demand.

Akar permasalahannya dapat didefinisikan secara sederhana. Katakan saja tarif diatur dengan plafon tertentu, lantas apakah akan menyamakan derajat antara layanan konvensional dan berbasis aplikasi? Tentu jawabannya tidak, karena ada komponen lain yang senantiasa diunggulkan, baik di sisi produk ataupun layanan, oleh penyedia moda transportasi modern.

Demand layanan transportasi berbasis aplikasi yang terus meningkat diimbangi dengan supply yang tak kalah banyak. Di sisi konsumen, jika mereka berhak memilih, nyatanya banyak yang beralih ke moda transportasi modern. Artinya lebih banyak memberikan kepuasan lebih ketimbang apa yang diberikan oleh moda transportasi konvensional.

Perusahaan penyedia sedemikian rupa menyulap aplikasi yang diterbitkan sebagai sebuah all-in-one platform yang memenuhi berbagai jenis kebutuhan dengan medium berupa alat transportasi, layanan belanja, kebersihan, pesan makanan, cuci mobil dan lainnya yang dikemas dalam skema online.

Pernyataan Walikota Bandung Ridwan Kamil soal isu transportasi berbasis aplikasi belakangan ini cukup menohok:

“Jangan selalu nyalahin sistem, tapi perilaku angkot sendiri banyak mengecewakan masyarakat yang akhirnya berpindah ke opsi online.”

Penyelesaian masalah

Secara kasat mata, permasalahan pro-kontra transportasi online versus transportasi konvensional ini tak akan pernah usai, kecuali adanya perombakan pola pikir. Secara kontinu perkembangan digital akan terus menggerus banyak hal dalam kehidupan. Masyarakat sudah nyaman dengan efektivitas layanan yang diberikan.

Disadari betul, komponen masyarakat saat ini dalam mengadopsi layanan online sangat divergen. Ada digital immigrant dan digital native. Demografi masyarakat yang paling konsumtif didominasi digital native.

Apa yang bisa dilakukan pemerintah, para pemangku bisnis di bidang terkait, dan masyarakat? Semua perlu berperan. Sebagai regulator pemerintah harus selalu jeli menyikapi permasalahan yang ada. Dalam permasalahan transportasi online, keberadaan sistem tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Regulasi yang membendung justru akan sia-sia selama masyarakat justru menikmatinya. Selama ini pemerintah mencoba meregulasi dari sisi penyedia layanan online, mungkin bisa dicoba untuk dibalik? Yang diregulasi justru dari sudut pemain konvensional.

Bentuknya banyak hal, mulai dari penyelenggaraan badan khusus untuk mengedukasi mereka (penyedia jasa konvensional), atau menyediakan sebuah sub-sistem yang lebih terakomodasi sehingga mereka tidak enggan untuk beralih ke sistem modern. Faktanya dari sisi pendapatan pun lebih menjamin dengan sistem online, di sisi lain sistem yang diberikan lebih tertata dan transparan baik bagi para driver ataupun konsumen.

Diperlukan keseriusan dalam menyelesaikan masalah ini. Bagai bola salju yang terus berputar, isu pro-kontra layanan transportasi online akan semakin membesar tanpa penyelesaian, lebih tepatnya capaian kesepakatan antar pihak yang saling berkepentingan. Jika hanya ditenggelamkan seperti yang sudah-sudah, masalah itu akan kembali muncul kapan pun ia mau, karena yang ditenggelamkan, tetap bisa kembali mengapung.