Beriringan tapi Tidak Sejalan, Tanggapan Terhadap Permenhub Nomor 32 Tahun 2016

Hari Jumat, (23/3), Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi kepada media mengatakan bahwa Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek sudah final. Tidak ada akan dilakukan revisi kembali. Hal ini didukung dengan diadakannya sosialisasi kepada pihak yang terkait hari Minggu kemarin.

Dalam kesempatan tersebut, Budi Karya kembali memaparkan bahwa tujuan peraturan tersebut dirilis untuk membangun kesetaraan agar penyaji jasa transportasi online atau berbasis aplikasi dan taksi konvensional dapat berjalan secara beriringan.

Apakah bisa beriringan seperti yang didambakan?

Salah satu kekhawatiran pemain konvensional adalah pasar yang didominasi layanan transportasi berbasis aplikasi. Kematangan strategi digital dan pendanaan besar menjadi formula instan agar para penyedia jasa transportasi on-demand cepat mendapatkan pangsa pasar.

Di balik kemudahan dan transparansi yang diberikan melalui aplikasi, para penyedia layanan on-demand juga memiliki dukungan pendanaan yang sangat kuat.

Sebut saja startup lokal “Go-Jek” yang kini sudah memiliki valuasi $1,3 miliar dan terakhir mendapatkan dana $550 juta (sekitar 7,3 triliun Rupiah). Para investor percaya pada proses bisnis dan potensi yang dimilikinya.

Tak hanya itu, pemain luar (Grab dan Uber) juga turut menimbrung dengan dekengan pendanaan yang sangat besar. Terakhir dikabarkan Grab meraih pendanaan baru senilai 20 triliun Rupiah yang dipimpin Softbank.

Coba kita bandingkan perolehan dana tersebut dengan anggaran transportasi yang dikucurkan di sektor publik Indonesia saat ini secara umum.

Pembangunan MRT (Mass Rapid Transit) tahap pertama di Jakarta membutuhkan dana Rp24,9 triliun setelah ada kenaikan dari perhitungan sebelumnya. Sementara tahun ini, besaran subsidi (bukan biaya operasional) yang diajukan (bukan disetujui) TransJakarta senilai Rp3,2 triliun.

Keduanya memiliki perbandingan yang sama kuat untuk memberikan solusi terhadap kebutuhan transportasi publik di Indonesia. Tidak untuk dibandingkan secara apple-to-apple, angka tersebut di atas menunjukkan keseriusan dan kekuatan jasa transportasi online.

Konsumen menentukan pilihan akhir

Keberpihakan konsumen pada akhirnya tetap akan berujung pada kenyamanan mereka menggunakan jasa yang ada. Permenhub No 32 Tahun 2016 di media sosial cenderung mendapatkan sentimen negatif. Mengapa layanan transportasi on-demand dipilih? Sederhananya karena mudah digunakan dan relatif lebih murah jika dibandingkan layanan konvensional, meskipun bisa dimengerti karena layanan konvensional mengklaim ada beberapa komponen tarif tambahan yang memberatkan.

Baru saja DailySocial merilis sebuah survei tentang layanan on-demand di Indonesia. Dalam survei tersebut dapat disimpulkan beberapa hal. Secara umum masyarakat bereaksi positif terhadap artinya aplikasi on-demand.

Terkait “gangguan” yang ditimbulkan layanan on-demand, tak sedikit pula yang menyatakan tidak takut bahwa ragam layanan yang muncul akan mengubah sistem dalam kehidupannya sehari-hari, karena tendensinya justru memberikan efisiensi dan efektivitas. Terakhir masyarakat merasa beruntung dengan kehadiran layanan on-demand, karena memunculkan banyak kesempatan untuk bekerja.

On-Demand 1

Di sisi lain, konsumen pun menuntut para penyedia jasa untuk melakukan improvisasi, di sisi teknis ataupun non teknis, mulai dari kejelasan unsur legal, kualitas aplikasi, pilihan pembayaran, variasi kanal pembayaran (dalam hal ini kerja sama dengan bank), hingga perluasan jangkauan layanan.

Berkali-kali sudah dinyatakan bahwa modernisasi adalah sebuah proses yang tak akan berujung. Selalu akan ada pembaruan. Hadirnya layanan on-demand adalah salah satu pembaruan yang hadir di sektor transportasi. Dinamika penolakan layanan on-demand seperti ini memberikan ketidaknyamanan tersendiri soal kestabilan ekonomi, yang bisa berujung ditahannya investasi dari luar negeri.

Menunggu dampak

Pemerintah sudah memastikan peraturan tersebut  akan berlaku mulai awal bulan depan. Poin-poin penting aturan itu meliputi:

  • Pengemudi taksi online harus memakai tanda khusus berupa stiker.
  • Jumlah kendaraan yang beredar harus disesuaikan dengan kebutuhan.
  • Ada batasan tarif atas dan tarif bawah.
  • Akses dashboard perusahaan taksi harus diketahui oleh pemerintah.
  • Penempatan pusat data di Indonesia untuk perusahaan luar yang menyediakan jasa on-demand.

Dalam beberapa hari ke depan, kita lihat bagaimana dampak berlakunya peraturan baru ini terhadap pertumbuhan layanan online di Indonesia, khususnya di sektor transportasi. Jangan sampai kondisi beriringan yang diharapkan pemerintah tidak berjalan.