Fintech tetap menjadi sektor primadona sepanjang tahun ini. Dalam pemberitaan DailySocial, tercatat ada 91 investasi yang diumumkan dengan rincian 32 startup mendapat investasi tahap awal (seed), 29 startup dapat seri A, dan 9 startup dapat seri B. Sektor startup yang paling banyak menerima investasi adalah fintech sebanyak 29 startup, 14 startup e-commerce, dan 9 startup media, sisanya adalah sektor lainnya.
Karena menjadi primadona, pergerakan isu seputar fintech pun sangat dinamis membuat pemahaman inovasi membelakangi regulasi sering terjadi. Mau tak mau, dua otoritas yang mengurusi sektor ini, seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan melakukan banyak gebrakan untuk mengawal perkembangan fintech dengan meluncurkan kebijakan baru.
Ditambah setidaknya dalam seminggu selalu ada pemberitaan seputar fintech entah itu mengenai peluncuran startup fintech baru, penambahan fitur, kerja sama bisnis, akuisisi perusahaan, bahkan ada juga yang gulung tikar.
DailySocial mengompilasi rangkuman pemberitaan menarik seputar fintech yang terjadi sepanjang tahun ini. Berikut tulisannya:
Regulasi
Kendati teknologi berjalan sangat dinamis, akan tetapi selalu ada payung hukum di atasnya. Sepanjang tahun ini BI masih disibukkan dengan regulasi seputar sistem pembayaran, sementara OJK masih fokus membuat aturan turunan dari POJK No 77/2016 tentang p2p lending.
BI kian ketat dalam memberi izin lisensi uang elektronik, lantaran kini pengajuan tidak hanya dari perusahaan berbasis keuangan saja, tapi bisa dari perusahaan non keuangan seperti layanan e-commerce. Hal ini terjadi pada BukaDompet (Bukalapak), Tokopedia (TokoCash), ShopeePay (Shopee), dan PayTren yang sampai berita ini diturunkan belum menerima restu dari bank sentral sejak September 2017.
GrabPay (Grab) pun sempat terkena penangguhan, sampai akhirnya sembari menunggu izin keluar, mereka memanfaatkan lisensi yang sudah dimiliki OVO untuk melakukan kerja sama (Desember 2017).
Tidak hanya soal pemberian izin lisensi, BI juga mengeluarkan kebijakan baru bahwa seluruh pemain fintech yang bermain di ranah sistem pembayaran kini harus terdaftar di BI. Setidaknya ada empat kriteria jenis usaha yang wajib mendaftar, yakni uang elektronik, alat pembayaran menggunakan kartu (kartu ATM, debet, dan kredit), penyelenggara transfer dana, dan penyelenggara pemrosesan transaksi pembayaran (di dalamnya terdapat payment gateway, dompet elektronik, dan penyelenggara switching).
Soal bitcoin, BI makin matang melarangnya untuk digunakan sebagai alat transaksi di Indonesia. Tentunya, pelarangan ini belum berlaku untuk orang-orang yang memanfaatkan bitcoin sebagai produk investasi. Hanya saja, BI tidak ingin menanggung segala risikonya bila terjadi suatu masalah.
Meski terkesan melarang bitcoin, tapi BI mengaku tidak sepenuhnya anti terhadap teknologi bitcoin yang menjadi dasar beroperasinya cryptocurrency. BI malah sedang berencana untuk melakukan uji coba teknologi tersebut pada tahun depan (Oktober 2017).
Sementara itu, BI juga meresmikan gerbang pembayaran nasional (GPN) (Desember 2017). Sistem ini membuat semua transaksi dalam negeri harus di-routing dalam negeri, menggeser peranan perusahaan switching dari luar negeri seperti Visa dan Mastercard. GPN juga didorong untuk mengefisienkan beban transaksi yang dibebankan ke konsumen dan pelaku usaha.
Inovasi bisnis
Dari segi inovasi bisnis, karena semakin banyak pemain yang mulai melirik sektor ini maka kompetisinya pun makin sengit. Inovasi semakin dituntut dalam hal ini. Pemain e-commerce skala besar seperti Bukalapak dan Tokopedia berlomba-lomba menghadirkan produk berbasis fintech dalam platformnya.
Tokopedia, misalnya banyak melakukan kerja sama dengan pemain fintech untuk pinjaman modal, pinjaman online, kartu kredit hingga asuransi (Januari 2017). Bukalapak tak mau kalah, di bulan yang sama, perusahaan ini menghadirkan terobosan yang bisa dikatakan sangat menarik karena menghadirkan BukaReksa, untuk dorong penggunanya berinvestasi di reksa dana.
Tidak berhenti di situ, Bukalapak juga meluncurkan layanan BukaEmas untuk dorong investasi emas. Mereka bekerja sama dengan IndoGold sebagai mitra eksklusif (Juni 2017). Kehadiran BukaEmas, mendorong pemain lainnya seperti Orori menghadirkan layanan serupa e-mas (September 2017), dan aplikasi jual beli emas berbasis syariah Tamasia juga meluncur (Oktober 2017).
Pelaku usaha lainnya, Bank DBS meluncurkan aplikasi perbankan online Digibank yang dikhususkan menyasar kalangan millenial sebagai nasabahnya (Agustus 2017). Digibank hampir mirip dengan aplikasi perbankan yang dibuat BTPN (Jenius).
Bank Commonwealth meresmikan platform perbankan onboarding Tyme Digital (Agustus 2017) untuk pembukaan rekening dan kantor digital sebagai bentuk komitmen untuk bertransformasi ke digital (Oktober 2017).
Masih berkaitan dengan inovasi bisnis, Salim Group merealisasikan komitmen untuk membangun bank digital dengan mengakuisisi 55% saham Bank Ina Perdana (Mei 2017). Grup konglomerasi ini ingin memfokuskan Bank Ina ke layanan e-payment untuk bisnis online.
Masih di dunia perbankan, bank besar berlomba-lomba menggaet startup fintech salah satunya dengan mendirikan modal ventura. BCA mendirikan Central Capital Ventura dengan menyuntikkan modal awal Rp200 miliar (Januari 2017), BRI tak mau kalah. Bank pelat merah ini akuisisi Bahana Artha Ventura (Oktober 2017).
Sementara, BNI mengaku masih mengkaji apakah ingin akuisisi atau organik jadi kemungkinannya akan diumumkan pada tahun depan. Bank Mandiri dengan Mandiri Capital-nya sejauh ini telah menyuntikkan ke tujuh startup fintech, di antaranya Moka, Amartha, PrivyID, dan Cashlez.
Gejolak bisnis
Di tengah perebutan lisensi uang elektronik, Indosat Ooredoo justru memilih untuk mundur dari fintech dan mengalihkan lisensi Dompetku untuk dialihkan ke PayPro (April 2017). Dompetku jadi satu dari sekian banyak produk digital yang satu per satu ditutup Indosat sampai akhirnya menutup penuh dan memilih kembali ke titah sebagai operator telekomunikasi (Juni 2017).
Operator lainnya memilih langkah yang sama, XL Axiata memilih untuk menjual Elevenia ke Salim Group. Sementara XL Tunai hingga kini masih tetap beroperasi. Telkomsel sedikit berbeda, tetap menjalankan produk digital dan layanan e-money T-Cash.
Malah hingga kini, T-Cash terus unjuk gigi sampai akhirnya Telkomsel memilih untuk memisahkan divisi T-Cash jadi perusahaan tersendiri. Serta, bakal memilih untuk jadi platform agnostik yang bisa dimanfaatkan di luar pengguna Telkomsel (Desember 2017).
Masih soal lisensi e-money, saking pentingnya lisensi ini membuat Emtek Group mengakuisisi dua perusahaan e-money Doku dan Espay (Mei 2017). Sambil mengembangkan bisnis fintech, Emtek juga mengakuisisi sebagian saham Bareksa lewat pemegang saham dari Doku (April 2017).
Di bulan yang sama, Emtek juga bekerja sama dengan Ant Financial mendirikan perusahaan patungan untuk mengerjakan produk DANA hasil implementasi dari Alipay di Indonesia. DANA sudah hadir secara eksklusif di platform messaging BBM.
Setelah drama ditangguhkannya GrabPay oleh BI, Grab pun tidak mau diam begitu saja. Dengan memanfaatkan lisensi yang dimiliki sister company, OVO, akhirnya GrabPay kembali berfungsi.
Komitmen Grab yang ingin mengembangkan GrabPay, terlihat dengan mengakuisisi penuh Kudo, rumor ini sudah beredar sejak Februari 2017, hingga akhirnya resmi diumumkan pada April 2017. Kudo menjadi kendaraan Grab untuk memperoleh lisensi uang elektronik, lantaran secara teknologinya sudah comply dengan persyaratan dari BI.
Di sisi lain, Go-Jek dengan mengakuisisi MV Commerce berhasil melenggang dan ‘asyik’ mengembangkan fungsionalitas uang elektroniknya tersebut dengan menghadirkan banyak fitur dalam aplikasi Go-Jek. Misalnya, menghadirkan Go-Points (Februari 2017) dan Go-Bills (November 2017).
Dengan Go-Pay, Go-Jek ingin membawa layanannya ini lebih jauh, keluar dari ekosistemnya sendiri dan bisa dimanfaatkan untuk semua orang. Inisiasi ini melahirkan tiga akuisisi penuh Go-Jek untuk tiga perusahaan fintech, Midtrans, Kartuku, dan Mapan. Kendati akuisisi ini belum dapat restu dari BI, lantaran Go-Jek belum mengajukan izin akuisisi (Desember 2017).
Baik Grab maupun Go-Jek jadi perusahaan yang cukup sengit dalam hal inovasi. Dengan bantuan modal dari investor dan jaringan dari sister company-nya, membuat keduanya bergerak cepat dalam berinovasi. Padahal, awalnya kedua perusahaan tersebut berbasis aplikasi ride hailing, kini menjelma jadi perusahaan yang bersinggungan dengan dunia keuangan.
Dari sisi startup fintech, UangTeman mengaku akan pivot sepenuhnya menjadi perusahaan p2p lending pasca mengantongi surat tanda terdaftar sebagai pemain p2p lending dari OJK. Pengalihan bisnis ini dimulai pada tahun depan (Desember 2017).
Kinerja industri
P2p lending menjadi salah satu sektor fintech yang paling banyak bermunculan pemain barunya sepanjang tahun ini. Menurut data OJK, hingga Agustus 2017 telah menyalurkan Rp1,44 triliun tumbuh 496,51% secara year-to-date (ytd). Angka ini didapat hasil akumulasi 22 perusahaan p2p lending yang telah mengantongi surat tanda terdaftar.
Penyaluran terbesar masih berasal dari Pulau Jawa dengan porsi 83,2% dan sisanya dari luar Pulau Jawa. Total peminjamnya mencapai 120.174 peminjam, sementara total pemberi pinjamannya mencapai 48.034 pemberi.
Berdasarkan data BI, transaksi uang elektronik volumenya mencapai 600,5 juta transaksi senilai Rp8,76 triliun. Angka ini didapat dari hasil akumulasi 26 perusahaan yang sudah memperoleh lisensi e-money dari BI.
—
Unduh juga laporan perkembangan layanan fintech diĀ Indonesia tahun 2017: klik di sini.