Mengoperasikan platform distribusi digital itu bukanlah pekerjaan mudah. Jangan karena Epic Games Store begitu gampangnya menawarkan sistem bagi hasil yang sangat menguntungkan buat developer, lalu kita berpikir semuanya mudah dijalani.
Steam sebagai pionir telah mendominasi segmen ini sejak lama. Namun dalam setahun terakhir ini, kita juga sudah melihat banyak penantang baru sekaligus. Lalu yang menjadi pertanyaan, mana yang bakal bertahan lama?
Tanpa harus menunggu lama, persaingan ketat di ranah ini sudah memakan korban pertamanya, yakni Razer Game Store. Yang lebih mengejutkan lagi, umur Razer Game Store baru 10 bulan sejak peluncurannya. Kalau yang sebesar Razer saja bisa terkena dampak persaingan ketat, bagaimana dengan yang lain?
Kendati demikian, kita juga harus mempertimbangkan motivasi di balik eksistensi Razer Game Store. Razer sebenarnya tidak bermaksud untuk menyaingi Steam. Platform tersebut lebih ditujukan untuk mendongkrak bisnis utama mereka dengan cara memberikan penawaran-penawaran menarik kepada konsumen yang membeli game di sana.
Penutupan Razer Game Store merupakan bukti bahwa strategi tersebut tidak efektif. 28 Februari adalah tanggal penutupan yang ditunjuk, yang berarti itu merupakan tenggat waktu bagi konsumen untuk mengambil activation key dari game yang pernah mereka beli.
Razer juga belum menyerah dalam bisnis konten. Razer Gold, platform pembayaran virtual garapan mereka, terus berkembang dengan sehat, dan penutupan Razer Game Store pada dasarnya merupakan lampu hijau buat Razer Gold untuk terus bertumbuh ke depannya.
Sumber: PC Gamer.