Keberhasilan meraih gelar juara Capcom Pro Tour 2019 Asia Premier tentu merupakan sebuah kebanggaan besar bagi Yusuke Momochi, pemain Street Fighter profesional Jepang yang sudah berkarier selama satu dekade. Akan tetapi kebanggaan itu harus tercoreng oleh sebuah kontroversi. Momochi seharusnya berhak atas uang hadiah senilai 5.000.000 Yen (sekitar Rp650.000.000), tapi ternyata hadiah itu tidak ia dapatkan.
Mengapa bisa demikian? Ini ada kaitannya dengan peraturan pemerintah Jepang yang sebetulnya sudah lama menjadi momok bagi industri esports negeri sakura itu. Bila Anda belum tahu, Jepang adalah negara di mana perjudian merupakan hal yang legal, namun diatur dalam peraturan yang ketat. Salah satunya, bila ada sebuah kompetisi/permainan yang menarik uang pendaftaran, kompetisi itu hanya boleh memberikan uang hadiah senilai maksimal 100.000 Yen pada pesertanya.
Kompetisi esports, termasuk fighting game, rupanya masuk ke dalam kategori tersebut dan diperlakukan sama seperti kegiatan perjudian. Akibatnya, Momochi pun hanya boleh mengambil 100.000 Yen (sekitar Rp13 juta) dari hadiah CPT 2019 Asia Premier. Hadiah ini masih dipotong lagi karena Momochi memperoleh barang berupa monitor dari salah satu sponsor acara. Total uang yang dibawa pulang oleh Momochi akhirnya hanya sebesar 60.200 Yen, atau sekitar Rp7,8 juta saja. Padahal ini adalah turnamen level internasional, bahkan merupakan salah satu turnamen tingkat tertinggi dalam Capcom Pro Tour yaitu tingkatan Super Premier.
Jepang sebetulnya sudah memiliki cara untuk mengatasi masalah peraturan tersebut. Sejak tahun 2018, asosiasi JeSU (Japan eSports Union) telah berdiri, dan mereka menyediakan sistem lisensi untuk para atlet esports alias pro gamer. Para pro gamer pemegang lisensi JeSU mendapat pengecualian terhadap aturan tadi, sehingga mereka bisa mendapat uang hadiah secara penuh.
Akan tetapi Momochi menolak untuk meminta lisensi pro gamer dari JeSU. Ini bukan berarti Momochi sama sekali anti terhadap sistem lisensi. Hanya saja, ia tidak setuju bila definisi “pro gamer” itu harus ditentukan oleh segelintir orang dalam organisasi eksklusif, yang bahkan baru dibentuk dan tidak melibatkan tokoh-tokoh esports di komunitas akar rumput. Ia juga bertanya-tanya, apakah ini artinya seorang pemain yang tidak punya lisensi—meskipun ia sudah lama aktif di komunitas—tidak bisa disebut pro gamer?
Berikut kutipan dari Momochi yang diterjemahkan oleh Andrew “Jiyuna” Fidelis dalam blog miliknya:
“Hal yang disebut ‘games’ di Jepang telah tumbuh besar berkat inisiatif seluruh komunitas yang tersebar di seluruh negeri. Dengan dukungan komunitas-komunitas itu, kita dapat bertanding dan bekerja sebagai pro gamer, tapi saya rasa bahkan fakta bahwa kita diakui sebagai profesional itu adalah karena kekuatan ‘komunitas’ dan ‘seluruh pemain’.
Oleh karena itu, mengabaikan mereka yang satu demi satu telah membangun nilai-nilai ‘pro gamer’ di Jepang, menentukan suatu sistem lisensi di dalam ruangan tertutup, kemudian tiba-tiba muncul dan membuat pengumuman untuk komunitas dan para pemain… saya rasa cara kerja seperti ini sama sekali tidak jujur, dan sulit untuk merasakan keterikatan kepada game ataupun orang-orang yang terlibat di dalamnya.”
Here’s an article I translated from two years ago where Momochi shares his thoughts on the Pro License System (the cause of this) and the state of Esports in Japan. Worth a read if you have any interest in the scene.https://t.co/2kzgYGPt1E
— J I Y U N A (@jiyunaJP) September 16, 2019
Momochi sama sekali tidak menentang pergeseran fighting game menjadi bisnis, malah menurutnya hal ini perlu supaya fighting game tidak menghilang. Namun ia ingin agar sistem ataupun lisensi yang ada benar-benar dibuat untuk kepentingan para pemain dan komunitas.
Momochi ingin ada suatu struktur atau sistem yang memungkinkan para organizer maupun pemain mendapat kompensasi layak atas usaha mereka, dan ia merasa bahwa sistem lisensi itu haruslah sesuatu yang disetujui oleh para pemain. Proses pemberiannya, termasuk pendefinisian apa itu “pro gamer”, harus melibatkan diskusi dengan komunitas. Dan pada akhirnya, tujuan dari sistem itu haruslah demi kemajuan ekosistem game itu sendiri.
Untuk mewujudkan hal itu, Momochi siap melakukan perlawanan. Dan kini, dengan menjadi juara CPT 2019 Asia Premier, ia telah mendapatkan panggung yang sangat besar untuk menyuarakan protesnya. Semoga saja ke depannya ada jalan tengah yang bisa diambil, dan komunitas gamer Jepang bisa bekerja sama dengan JeSU untuk membuat ekosistem esports di sana semakin kuat.