President Gojek Andre Soelistyo bercerita tentang pentingnya kesehatan mental di dalam startup dan bagaimana para petinggi di dalamnya berkomunikasi

Mengungkit Pentingnya Kesehatan Mental Menurut Kacamata Gojek dan East Ventures

Bekerja di startup teknologi dituntut untuk selalu kreatif dan inovatif, bekerja dengan cepat, dan di saat yang bersamaan harus memikirkan bagaimana bisnis bisa tetap bertahan. Bila burnout, tidak bisa menyeimbangkan antara hidup dan kerja, lambat laun membahayakan bagi diri sendiri, keluarga, maupun perusahaan.

Gangguan kesehatan mental seringkali menjadi topik yang dihindari dan dianggap tabu untuk dibicarakan di kalangan penggiat startup. DailySocial pernah mengangkat topik ini dan mewawancarai sejumlah pekerja startup dan bagaimana work life balance itu harus selalu dijunjung tinggi.

Kali ini mengangkat kembali dengan perspektif dari founder dari startup unicorn dan investor. Pasalnya, di konferensi manapun, tidak ada ada yang mengangkat topik ini.

Setidaknya fakta inilah yang diakui oleh President Gojek Andre Soelistyo, saat menjadi pembicara di perayaan hari jadi East Ventures ke-10 yang dimoderatori oleh Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

“Isu mental health buat founder dalam kepemimpinannya di perusahaan ini tidak pernah ada yang di bahas di konferensi manapun. Padahal kita semua, investor, dan founder harus mulai memikirkan ini,” kata Andre, Senin (7/10).

Dia tidak menceritakan secara spesifik bagaimana dirinya mengatasi permasalahan ini. Namun dia mengaku hal demikian bisa menganggu kejiwaan founder bila tidak ditangani dengan serius.

Dari statistik yang ia kutip, founder itu punya kemungkinan dua kali lebih besar menderita depresi, tiga kali lebih besar untuk substance abuse disorder atau penyalahgunaan zat, dan statistik-statistik lainnya yang menghantui founder.

Kemungkinan buruk ini, menurutnya, sangat wajar terjadi karena founder itu dituntut untuk kreatif. Yang mana, orang kreatif itu punya tendensi sering kesepian. Ketika ada masalah, mereka selalu membebani pikiran tersebut ke diri sendiri ketimbang berbagi cerita ke orang lain, terlebih karyawannya.

“Ingin sekali mendorong bagaimana komunitas startup ini bisa berubah karena hal ini bisa dimulai dari komunitas. Orang terdekat founder itu adalah investor, sehingga perlu dilihat bagaimana investor menangani hal ini.”

Willson setuju, bahwa investor adalah orang terdekat bagi founder. Sejujurnya pekerjaan investor setelah menanamkan dana ke startup, adalah menerima keluh kesah para founder. Dia mengaku dirinya menghabiskan banyak waktu untuk hal yang satu ini.

“Bahkan ada founder kami yang berpikir untuk mau bunuh diri. Ini isu serius karena ketika investasi ke early stage di ekonomi digital, investor itu sebenarnya gak lihat ke ekonominya itu sendiri atau ke teknologi yang dipakai, justru ke orangnya.”

“Jadi filosofi kita adalah merawat orangnya [founder] karena kita berinvestasi ke people,” tambah Willson.

Bentuk komunikasi antar petinggi di Gojek

Selain membahas kesehatan mental, topik lainnya yang turut dibahas adalah bagaimana berkomunikasi dengan masing-masing founder yang membawahi vertikal unit bisnis dari Gojek.

Perlu diketahui, Gojek punya 20 vertikal bisnis dan anak-anak usaha yang sudah diakusisi. Masing-masing founder yang berasal dari startup berbeda dan dikumpulkan dalam satu perusahaan, pasti memiliki gaya kepemimpinan yang beragam.

Akan tetapi, hubungan antara masing-masing founder ini lebih pas disebut sebagai partnership-driven organization, bukan dinasti dengan menempatkan orang dengan posisi tertinggi.

“Aldi [Go-Pay], Ryu [Midtrans], Catherine, dan 20 strong leaders lainnya punya gaya kepemimpinan masing dan kemampuan yang baik dalam mengeksekusi. Mereka semua punya perspektif yang sama, jadi ketika kita fokus ke tujuan dan misi Gojek itu sendiri, ada banyak objektif yang muncul dan akhirnya menghasilkan sinergi satu sama lain.”

Dia mencontohkan, salah satu bentuk sinerginya adalah produk dari Gojek yang memiliki ongkos akuisisi konsumen terendah dari Go-Ride. Ketika mereka dikaitkan dengan produk Go-Food, ada potensi menjadikan mereka sebagai konsumen loyal.

Berikutnya, agar konsumen semakin mudah bertransaksi, disediakan sistem pembayaran dari Gopay. “Semuanya saling berhubungan sehingga konsumen jadi lebih sticky dengan layanan Gojek dan akhirnya banyak bertransaksi di tempat kita. Kira-kira seperti ini tujuannya.”

Sebagai catatan, Gojek tidak termasuk ke dalam portofolio di East Ventures. Ketika ditanya alasannya oleh Andre, Willson menjelaskan bahwa di 2011, dia sempat bertemu dengan Nadiem di Bali untuk menghadiri acara yang dihadiri oleh eks Menlu AS Hillary Clinton.

Namun Willson memutuskan untuk tidak berinvestasi di Gojek karena Gojek sudah dirintis, tapi Nadiem belum bekerja full time. Waktu itu Nadiem masih bekerja di Zalora sebagai Managing Director.

“Hipotesis kita sejak awal itu jelas hanya mau berinvestasi di founder yang bekerja full time. Itu saja alasannya.”

Kendati begitu, Willson mengaku tidak menyesal kehilangan calon unicorn, yang pada akhirnya memang menjadi unicorn di 2017. Menurut dia, investor harus tetap disiplin dengan hipotesis yang sudah dibuat dari awal. Bila tidak disiplin, justru investor akan rugi karena tidak bisa jeli menangkap potensi unicorn.

Missed one or two unicorn tidak apa, asal disiplin dengan hipotesis. Ada istilah tidak ada seorangpun yang bisa berinvestasi ke semua unicorn. Untuk itu, perlu bangun hipotesis dan disiplin menerapkannya, maka akhirnya kamu bisa mendapat banyak atau missed sedikit [kemungkinan menangkap calon unicorn],” pungkas dia.