Pejabat baru perlu mempercepat implementasi OSS (Online Single Submission) dan relaksasi pajak agar lebih menarik minat investor

Warisan Pekerjaan Lama Buat Menteri Baru Terkait Startup dan Ekonomi Digital

Perubahan kabinet yang rutin terjadi tiap lima tahun sekali di Indonesia merupakan dinamika biasa dalam proses politik yang berujung pada bagaimana visi Presiden mewujudkan tujuan politiknya.

Tantangan di tiap periode jabatan selalu berubah. Banyak faktor eksternal dan internal di berbagai sisi yang selalu terjadi. Baik itu kondisi ekonomi yang selalu dinamis, pun demikian sosial, politik, teknologi, juga perilaku masyarakatnya.

Menghadapi kondisi demikian, perlu tokoh-tokoh berbeda yang punya kapasitas dan kemampuan yang sesuai untuk menghadapi tantangan tersebut. Presiden punya kepercayaan pada menteri yang ia tunjuk untuk menyelesaikannya.

Tidak ada visi menteri, yang ada hanya visi Presiden dan Wakil Presiden. Begitu tukas Presiden yang kembali ia ulang saat Sidang Kabinet Paripurna, pekan lalu. Sebelumnya pernyataan ini ia utarakan sesaat mengumumkan kabinet Indonesia Maju.

Bicara ekonomi digital, Presiden begitu ambisius untuk mengembangkan Indonesia sebagai macan baru Asia sejak pertama kali memimpin di periode sebelumnya. Di periode kedua sekarang, arah kebijakannya ke ekonomi digital dipertajam dengan merekrut orang-orang profesional di bidangnya yakni Nadiem Makarim, Wishnutama, dan Erick Tohir.

Lahirnya lima unicorn dari Indonesia, sejak Joko Widodo memimpin, membuktikan bahwa memang sudah saatnya pemerintah untuk lebih serius mengembangkan ekonomi digital yang menyimpan potensi besar. Makanya pemerintah perlu mendorong investasi sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi.

Solusi yang paling dasar dari situ adalah mempermudah pembuatan izin usaha. Pada Juli 2019, pemerintah merilis sistem OSS (Online Single Submission) yang sebelumnya dilakukan melalui PTSP (Perizinan Terpadu Satu Pintu).

Itikadnya sungguh mulia karena menggabungkan seluruh proses izin ke dalam satu platform. Impiannya untuk proses perizinan usaha baru bisa selesai satu jam saja. Sayang, praktiknya belum bisa sampai di tahap itu.

Indonesia adalah negara dengan sistem desentralisasi atau otonomi daerah. Kuasa pemerintah daerah masih begitu kental sejak reformasi. Alhasil, OSS belum sinkron dengan perizinan di level daerah, khususnya izin wilayah. Padahal seharusnya OSS ini bisa menghubungkan kementerian/lembaga dan daerah di seluruh Indonesia.

Posisi EODB masih di belakang

Dampaknya, Indonesia masih termasuk ke dalam peringkat terbelakang dibanding negara tetangga untuk kemudahaan berbisnis (ease of doing business / EODB) yang dirilis Bank Dunia. Indonesia ada di peringkat ke-73, tidak berubah baik untuk peringkat di 2019 maupun tahun 2020. Peringkat ini terpaut jauh dari yang ditargetkan Presiden yaitu ke-40.

Di tingkat Asia Tenggara, Indonesia masih di bawah Singapura (2), Malaysia (12), Vietnam (70), Thailand (21), dan Brunei Darussalam (66). Bila dibandingkan tiga tahun lalu tentu ada peningkatan. Saat itu Indonesia masih menempati posisi ke-114.

Peneliti INDEF Bhima Yudhistira mencontohkan, untuk mengurus dokumen ekspor-impor butuh 61 hari dan border compliance sebanyak 53,3 hari. Pengusaha di Indonesia perlu meluangkan waktu 207 jam per tahun untuk memenuhi administrasi perpajakan jika dibandingkan Malaysia, misalnya, yang hanya 118 jam.

Menurutnya, kuasa ini ada di tangan BKPM. Meskipun demikian, BKPM tidak bisa bermain sendiri karena harus di-backup oleh Kementerian Koordinator yang tepat.

“Sayangnya, aneh bin ajaib ada angin apa urusan investasi kini di bawah Kemenko Maritim dan Investasi. Seperti dipaksakan sehingga fungsi koordinasi justru kurang nyambung dengan kebutuhan penguatan BKPM,” kata Bhima.

Aturan modal ventura kurang ramah startup teknologi

Rendahnya peringkat ini, menurut kacamata investor kurang tertarik masuk ke Indonesia ketika harus berurusan dengan perdagangan lintas batas dan pembayaran pajak.

Tren investasi ke sektor digital pada 2020 akan terus berlanjut untuk startup lokal. Akan tetapi, bila indikator EODB saja mandeg, kekhawatiran yang terbesar adalah berkurangnya channel penerimaan pajak buat negara.

Contoh terdekat yang bisa diambil adalah kehadiran pemain modal ventura (VC) asing ke Indonesia, namun tidak berizin sebagai modal ventura di bawah OJK. Sebagian dari mereka malah tidak berbadan hukum lokal.

Managing Partner Ideosource Edward Chamdani pernah mengatakan kepada DailySocial bahwa Ideosource belum memiliki izin PMV karena regulasi dirasa memberatkan. Mereka harus menyetor modal minimal Rp50 miliar untuk memproses perizinan menurut POJK No.34 Tahun 2015.

Aturan ini kurang sesuai dengan pola pemain VC yang kebanyakan bermain di startup teknologi, karena kebanyakan dari mereka menggalang dana dari investor eksternal.

“Jadi PMV license sangat memberatkan dari sisi persyaratan, namun dana ventura sesuai dengan pola VC tech. Kebanyakan VC tech polanya bukan setor modal, tapi menggalang dana dari investor eksternal.”

OJK mencatat jumlah PMV yang mengantongi izin ada 65 perusahaan per Oktober 2019, sementara anggota di Amvesindo ada 75 perusahaan. MCI dan CCV termasuk ke dalam daftar OJK. Sedangkan, MDI dengan nama badan hukum PT Metra Digital Investama, tidak termasuk di dalamnya.

Kejadian di lapangan ini tidak sepenuhnya salah karena seluruh investasi yang diterima startup lokal harus melapor ke BKPM untuk didata sebagai investasi PMA. Masalahnya, mengapa investornya belum sepenuhnya taat dengan aturan pemerintah?. Jawabannya adalah besarnya pajak yang harus mereka bayarkan ke negara.

Maka, perlu insentif yang menarik di sini. Edward yang juga menjabat di Amvesindo menerangkan pengenaan pajak penghasilan (PPh) yang besar masih jadi tantangan terbesar untuk investor lokal untuk kompetisi dengan pemodal asing.

PMK No.48 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penyertaan Modal Perusahaan Modal Ventura pada Perusahaan Mikro, Kecil, dan Menengah dianggap belum ramah mengakomodir aturan tentang pajak capital gain.

Penerapan pajak capital gain buat PMV itu mencapai 25% dari kenaikan nilai ekuitas, sementara bagi investor perorangan 30%. Besarnya angka ini membuat investor asing selama ini lebih memilih untuk menyalurkan modalnya melalui PMA, ketimbang kolaborasi dengan PMV lokal.

Padahal, menurutnya, sebetulnya banyak pemain PMV lokal yang tertarik untuk berpartisipasi dengan investor asing untuk bentuk pendanaan baru. Salah satunya yang cukup besar adalah komitmen Softbank untuk menyuntik $2 miliar kepada Grab.

“Kalau mereka [Softbank] masuk full $2 miliar sebagai PMA, langsung ke Grab sebetulnya tidak ada salahnya, tetapi itu jadi peluang yang mesti ditangkap IKNB OJK untuk menawarkan struktur dana ventura yang melibatkan investor lokal juga,” terangnya dikutip dari Bisnis.com.

Solusi untuk keluar dari masalah ini adalah mengubah UU, padahal kita tahu tidak mudah jika tidak ada yang mengajukannya ke prolegnas.

Lain-lain

Ini baru urusan investasi, belum bicara soal perusahaan teknologi global yang membuka kantor di Indonesia. Pemerintah di negara manapun sedang bersatu padu mencari cara memajaki raksasa teknologi. Google, Facebook, Amazon, Apple, Netflix juga termasuk dalam incaran.

Banyak cara buat para raksasa teknologi tersebut mengelabui pemerintah di tiap negara untuk bebas bayar pajak. Sekecil apapun persentase pajak yang harus mereka bayar, nilainya akan sangat besar karena begitu raksasa pemasukannya. DailySocial pernah membahas hal ini dan tak kalah serunya.

Warisan pekerjaan rumah ini patut menjadi perhatian para menteri baru. Perlu ada revolusi relaksasi aturan untuk meningkatkan gairah investor untuk tertib dengan aturan main di Indonesia, agar setiap investasi yang masuk tetap berkualitas dan tetap menjunjung keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.