Pemain digital di sektor pembayaran, Ovo, tengah menjadi perbincangan dalam ekosistem digital negara ini. Selama beberapa tahun terakhir, perusahaan telah berkembang sangat pesat serta menciptakan berbagai terobosan: seperti mengakuisisi platform pinjaman Taralite dan investasi online Bareksa, berinvestasi di dua startup teknologi, dan meluncurkan fitur PayLater.
Belum lama ini, Ovo mencuri perhatian ketika mantan menkominfo Indonesia, Rudiantara, mengumumkan bahwa perusahaan berhasil memasuki jajaran “unicorn” dengan valuasi senilai US$ 1 miliar. Berdasarkan Fintech Report Indonesia 2019 yang dikeluarkan oleh DailySocial, Ovo menjadi e-wallet yang paling populer di Indonesia dan menempati posisi kedua sebagai dompet digital yang paling sering digunakan di negara ini.
Pohon yang tinggi tentunya akan diterpa angin yang kencang, seperti Ovo yang tengah menjadi sorotan media dalam beberapa bulan terakhir mengenai isu merger dengan kompetitor mereka, Dana, yang juga didukung Ant Financial. Belum lama ini, perusahaan induknya, Lippo Group, dilaporkan menjual 70% sahamnya di Ovo terkait pengeluaran besar beberapa waktu terakhir.
Menanggapi rumor tersebut, CEO Ovo Jason Thompson mencoba tetap netral dan menyampaikan bahwa ia tidak terlalu memikirkan spekulasi pasar dan ingin fokus pada pengembangan bisnis ke depan. Dengan persaingan yang dinamis di lanskap fintech Indonesia saat ini, besar kemungkinan Ovo akan muncul lebih banyak di portal berita lokal dan internasional nantinya.
KrASIA belum lama ini mendapat kesempatan berdiskusi dengan Jason Thompson di acara Wild Digital Conference 2019 di Jakarta, membahas strategi perusahaan ke depannya.
KrASIA (Kr): Menilik kembali semua pencapaian Ovo di tahun ini, menurut Anda posisi perusahaan sekarang ada di stage seperti apa?
Jason Thompson (JT): Pertama, kami merasa tersanjung diakui sebagai unicorn kelima. Seluruh tim sangat antusias, dan penghargaan ini berdampak baik pada bisnis. Hal ini membuktikan investasi eksternal, seberapa cepat pertumbuhan fintech di Indonesia dan kami sebagai satu-satunya unicorn yang mengusung fintech seutuhnya, tetapi jujur saja, kami merasa bahwa masih di tahap awal.
Namun, hal itu juga membawa kami berada dalam banyak tekanan atas harapan yang menjulang dari pencapaian sebelumnya — dari Bank Indonesia, pemerintah, dan yang lebih penting, dari para pelanggan kami. Melihat ke belakang di tahun ini, kami berada di tahun yang sangat sulit tetapi juga sukses. Organisasi ini begitu berkembang, kami menguatkan posisi sebagai platform pembayaran nomor satu di negara ini, begitu pula dengan kehadiran layanan baru, dan kami memiliki tahun yang luar biasa bisa bekerja sama dengan Grab dan Tokopedia.
Kami juga punya beberapa metrik pada umumnya. Pada tahun 2019, ada lebih banyak orang yang bertransaksi dengan platform ini berkat beragam kemitraan dalam ekosistem. Transaksi tahunan kami mencapai 27,7 kali lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Kami berhasil meningkatkan total nilai pembayaran sebesar 18,5 kali dan fasilitas di dalam toko sebesar 6,8 kali. Pengguna aktif bulanan Ovo tumbuh sebanyak 400% per tahun tahun ini.
Saya percaya bahwa inklusi serta “melek” finansial memiliki lima tantangan. Yang pertama adalah untuk membuat orang mendaftar di platform, yang kedua bagi mereka untuk top up, dan yang ketiga adalah mendorong mereka untuk membayar melalui platform ini. Yang keempat dan kelima adalah untuk membuat mereka kembali top up dan akhirnya, kembali membayar melalui aplikasi. Ketika orang mulai menyimpan uang dalam platform Ovo, kami percaya hal ini turut mendorong literasi keuangan untuk tabungan, investasi, dan lainnya.
Kr: Apa yang menjadi fokus Ovo di tahun 2020?
JT: Tiga area fokus pada tahun 2020 menurut saya akan terkait dengan percepatan pertumbuhan untuk pinjaman, sebagian besar akan berfokus pada pedagang serta lainnya untuk pinjaman konsumen. Prioritas kedua adalah bersama Bareksa untuk mengeksekusi e-investasi.
Saya pikir kita bisa belajar dari kisah sukses China dengan pemain investasi digital seperti Yu’e Bao dan melihat bagaimana kita bisa mengeksekusi hal serupa di Indonesia. Selanjutnya, fokus pada asuransi melalui kemitraan dengan Prudential. Kami masih mengembangkan produk asuransi dan berharap untuk bisa segera dirilis tahun depan. Jadi, kami mulai beralih dari pembayaran ke layanan keuangan ini di tahun ini dan tahun depan.
Seperti halnya pembayaran, kami akan menerapkan ekosistem terbuka untuk layanan keuangan. Misalnya, untuk peminjaman, kami memiliki pinjaman konsumen dengan Tokopedia melalui fitur PayLater. Terdapat juga Ovo Dana Tara, pinjaman modal khusus untuk pedagang kami, lalu Ovo Talangan Siaga, pinjaman jangka pendek khusus untuk mitra dan agen Grab. Hal tersebuth adalah gabungan dari pedagang dan agen pinjaman konsumen, dan kami akan mulai mengembangkan ini tahun depan.
Kr: Bagaimana Anda memposisikan Ovo di antara para kompetitor dompet digital di Indonesia?
JT: Persaingan terbesar kami masih dengan uang tunai karena pembayaran e-money saat ini hanya mencapai 2,3% [dari total pembayaran] di Indonesia, jadi saya tidak berpikir bahwa pasar [dompet digital] sangat padat. Meskipun banyak orang ingin memasuki pasar ini dengan meluncurkan platform e-wallet, sulit untuk mempertahankannya di Indonesia kecuali Anda memiliki model kemitraan dan bisnis yang tepat.
Fokus kami adalah untuk mencapai sustainability, dan itulah sebabnya kami berinvestasi lebih banyak dalam layanan keuangan karena kami percaya ini adalah jalan yang tepat menuju kedewasaan dan sustainability dalam jangka panjang. Kami percaya bahwa selama kami melayani mitra, pedagang, dan pelanggan kami dengan baik, kami bisa berhasil di pasar ini.
Kr: Memasuki tahun ketiga, apakah menurut Anda strategi bakar uang seperti cashback atau promosi masih relevant?
JT: Menurut saya cashback itu penting sebagai stimulus pada suatu titik, tetapi tidak untuk berkelanjutan. Hal ini seperti masalah fisika; jika Anda akan memindahkan objek besar, Anda harus memiliki energi dalam jumlah besar di awal, tetapi begitu Anda mendapatkan momentum, maka energi tersebut bisa dikurangi. Dalam hal pembayaran, energi berasal dari subsidi.Kami memiliki peta yang jelas menuju sustainabilty dan profitability, dan kami akan mengurangi [operasi bakar uang] ini secara signifikan di tahun depan. Bukan hanya kita, saya percaya bahwa rekan-rekan sejawat juga berinvestasi dengan cara yang sama untuk membangun bisnis mereka. Jadi, cashback atau promosi masih menjadi hal penting, tetapi pelaksanaannya harus rasional dan harus ada jalur koreksi subsidi.
Kr: Apa yang menjadi dasar kerjasama Ovo dengan Grab saat ini, mengingat Ovo bukan lagi satu-satunya opsi pembayaran dalam ekosistem Grab?
JT: Kami adalah organisasi independen, jadi hubungan kami dengan Grab, begitu pula Tokopedia, sebagian besar terfokus pada eksekusi. Tim kami telah menghabiskan banyak waktu untuk berpikir dan merencanakan hal yang bisa kita lakukan dengan Grab atau Tokopedia. Kita harus melayani mereka dengan cara terbaik walaupun tidak berada dalam kontrak eksklusif.
Saat ini, Grab memiliki LinkAja dalam ekosistem dan Tokopedia memiliki banyak opsi pembayaran. Kami tidak dalam posisi istimewa dengan mitra kami, kami harus bekerja keras, jika tidak, kami akan kehilangan posisi kami karena kemitraan didasarkan pada pertukaran nilai. Kami tidak percaya pada eksklusivitas karena hal itu juga tidak baik untuk pasar dan konsumen.
Kr: Tahun ini Ovo telah berinvestasi di dua startup, satu dari industri new retail Warung Pintar dan satu lagi platform ad-tech StickEarn. Apakah investasi kini menjadi bagian dari strategi Anda ke depan?
JT: Hal ini tentu menjadi langkah yang sangat strategis, meskipun nilainya relatif rendah. Untuk StickEarn, kami percaya bahwa melibatkan konsumen melalui pemasaran interaktif sangat penting, sehingga menjadikan pertukaran nilai antar perusahaan ini sangat erat. StickEarn melakukan hal-hal besar dan semua menuju keberhasilan di Indonesia.
Adapun Warung Pintar, keberadaan mereka sangat penting karena sebelumnya tidak ada yang memperhatikan segmen warung atau kios sebelumnya. Ketika pertama kali datang ke Indonesia, saya segera menyadari bahwa warung adalah pusat budaya Indonesia, tetapi tidak ada yang benar-benar peduli akan hal ini.
Warung Pintar mempelajari masalah mereka dan berpikir tentang bagaimana bisa membawa model yang berbeda untuk warung sehingga mereka dapat melayani lebih banyak di masyarakat. Mereka menempatkan pada setiap warung dukungan digital dan infrastruktur termasuk pembayaran, saya pun sangat senang dengan kerjasama ini.
Investasi di kedua perusahaan ini melibatkan tujuan spesifik. Melibatkan cara kerja yang sangat strategis untuk mendorong inklusi keuangan, tetapi bukan berarti kami akan berinvestasi di lebih dari lima atau bahkan sepuluh perusahaan nantinya, karena kami bukan platform wirausaha. Misi kami adalah melayani pasar, dan salah satu caranya adalah dengan membangun kemitraan strategis dengan organisasi lain dan melihat bagaimana kami dapat bertukar dan memaksimalkan nilai-nilai yang ada.
Kr: Ovo sedang menghadapi banyak rumor di tahun ini, salah satu yang mencuri perhatian adalah isu merger dengan platform Dana. Bagaimana Anda menanggapi hal ini?
JT: Saya hanya bisa mengatakan bahwa saya tidak terlalu memikirkan spekulasi yang beredar di luar. Lanskap fintech sangat dinamis, saya rasa banyak yang suka berspekulasi tentang pemain fintech sama seperti yang terjadi dalam dunia sepakbola, Anda tahu, setiap musim penggemar sepakbola akan memprediksi klub mana yang akan membeli pemain mana, dan seterusnya [tertawa].
Apa yang akan terjadi pada tahun 2020 adalah pasar akan mulai goyang. Kehilangan beberapa pemain bisa terjadi akibat lingkungan investasi global berubah dengan cepat, dan jika belum memiliki strategi bisnis yang jelas, akan menjadi tahun yang sulit bagi mereka. Jadi, kami fokus pada eksekusi serta pengawasan pasar, yang bisa memakan waktu 18 jam sehari dalam hidup saya sehingga tidak memiliki kapasitas untuk hal lain.
Kr: Apakah ada rencana untuk penggalangan dana dalam waktu dekat?
JT: Ada kemungkinan kami akan menggalang dana di semester pertama tahun depan. Saat ini masih dalam proses penjajakan, namun belum ada pernyataan resmi dari investor potensial atau timeline pastinya.
Kr: Bagaimana Anda melihat lanskap bisnis pembayaran mobile di Indonesia sekarang?
JT: Secara global, Indonesia tengah menjadi pusat bisnis fintech saat ini. Tiongkok, pada skala besar, sulit untuk disentuh karena sudah ada terlalu banyak pemain dominan seiring Ant Financial yang saat ini memimpin [pasar].
Saya melihat adanya revolusi fintech yang sedang terjadi di sini dan semakin banyak organisasi mencoba datang ke Indonesia, baik secara legal maupun ilegal. Kita harus memastikan bahwa kita melindungi ekosistem, ekonomi, dan pendapatan domestik. Regulasi menjadi kunci untuk memastikan bisnis dan ekosistem yang sehat, dan saya pikir Bank Indonesia telah melaksanakannya dengan baik dan sejauh ini mendukung setiap prosesnya. Saya percaya fintech di Indonesia sudah matang dan akan mencapai inflection point dalam tiga hingga lima tahun.
–
Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial