Ekonomi syariah dan industri halal dianggap menjadi alternatif pendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Perusahaan digital punya peluang besar berperan

Pasar Syariah Makin Diminati, Waktunya Startup Isi Peluang

Ekonomi syariah adalah salah satu topik dalam debat pilpres terakhir pada April lalu. Terlepas dari jawaban para peserta, dipilihnya topik itu ke dalam debat capres tersebut menandakan ekonomi syariah dan derivasinya makin mendapat tempat di perekonomian negara.

Kini, setelah Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, geliat ekonomi syariah kian terlihat. Salah satunya tercermin dari sejumlah perusahaan digital yang menjajal peruntungan di ekonomi berasas nilai-nilai Islam ini.

Indikator pertama dapat dilihat ketika Tokopedia dan Shopee bertandang ke kantor Wapres Ma’ruf Amin pada November lalu. Komisaris Utama Agus Martowardojo dan Vice Chairman Leontinus Alpha Edison yang mewakili Tokopedia ke kantor Ma’ruf datang lebih dulu. Selang dua pekan kemudian, Shopee melakukan kunjungan serupa dengan memboyong petinggi mereka menemui Ma’ruf yang merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan figur penting industri keuangan syariah dalam negeri.

Kunjungan kedua raksasa e-commerce itu bisa dikatakan ronde baru kompetisi mereka di pasar syariah. Tokopedia dengan fitur Tokopedia Salam, sementara Shopee dengan Shopee Barokah.

Indikator lain adalah masuknya sejumlah investor konvensional ke dalam bisnis berbasis syariah. Ini dapat dilacak dari investasi Golden Gate Ventures, Agaeti Ventures, dan RHL Ventures kepada Alami, startup fintech lokal bernapas syariah. Kemunculan sejumlah startup baru yang fokus menyediakan layanan produk syariah ataupun startup yang memperluas jangkauannya ke pasar syariah turut menandai ramainya minat terhadap pasar syariah di Indonesia, sebut saja seperti Qazwa, Waqara, Investree, LinkAja, dan Akulaku.

Kian besarnya minat perusahaan digital merambah pasar syariah ini menandakan satu hal yang jelas: ada potensi besar yang menunggu digarap. Jumlahnya pun jelas tak kecil mengingat Indonesia adalah negara dengan populasi muslim terbesar di dunia.

State of Global Islamic Economy Report 2019/2020 mencatat skor Indonesia di angka 49, bertengger di peringkat ke-5 dari 73 negara. Skor itu dihitung dari sejumlah sektor seperti keuangan syariah, makanan halal, wisata ramah muslim, fesyen, media dan rekreasi, serta farmasi & kosmetik. Makanan halal dan keuangan syariah merupakan dua sektor terbesar yang berkontribusi dalam penilaian ini.

Laporan itu menunjukkan secara keseluruhan pasar syariah di Indonesia berkembang cukup signifikan, dari peringkat 10 pada tahun lalu menjadi peringkat 5 tahun ini. Faktor terbesar disebut karena negara kini punya cetak biru pengembangan ekonomi syariah dan sejumlah inisiatif segar seperti Halal Park yang sudah diresmikan sejak beberapa bulan silam.

Dari keenam sektor dalam laporan itu, Indonesia masuk 10 besar di 3 sektor yakni peringkat ke-5 di sektor keuangan syariah, peringkat ke-4 untuk tujuan wisata ramah muslim, dan nomor 3 dalam sektor fesyen. Konsumsi produk halal atau syariah di Indonesia memang begitu besar hampir di segala sektor, terutama di sektor makanan halal. Indonesia tercatat sebagai negara dengan nilai konsumsi makanan halal sebesar US$173 miliar (Rp2.400 triliun) atau yang terbesar di seluruh dunia.

Sementara di institusi keuangan syariah, Indonesia tampak sudah berada di jalan yang tepat. Aset keuangan syariah Indonesia terpantau berada di peringkat ketujuh dengan nilai US$86 miliar atau Rp1.200 triliun. Angka itu diprediksi akan terus tumbuh seiring penerapan Master Plan Ekonomi Syariah 2019-2024.

Para Pelaku

Ada beberapa pemain startup di Indonesia yang merambah pasar syariah dan produk halal. Pada umumnya mereka terbagi dua yakni mereka yang sedari awal berdiri menyediakan produk yang dibutuhkan muslim serta mereka yang memperluas layanannya.

Kendati begitu jumlah mereka ini ternyata tak begitu banyak. Beberapa dari mereka adalah Ammana, Alami, Dana Syariah, Qazwa, Duha Syariah, Syarfi, Bsalam, GoHalalGo, Waqara, Umra.id, Hijup, dan Hijabenka. Patut dicermati hampir semua nama tersebut hanya terbagi ke dua jenis layanan: fintech syariah dan marketplace umrah. Adapun dari sisi investor, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat per Oktober 2019 setidaknya sudah ada 6 perusahaan modal ventura yang terdaftar beroperasi. Ma’ruf sendiri sempat mengklaim fintech syariah di Indonesia mencapai 31 buah, lebih banyak dari negara mana pun.

Di pihak lain ada beberapa startup konvensional yang mencoba peruntungan ke bisnis syariah. Beberapa dari mereka adalah Bukalapak, Tokopedia, Shopee, LinkAja, hingga Investree. Ambil contoh Tokopedia melalui Tokopedia Salam. Ekspansi yang mereka lakukan cukup agresif. Lewat fitur itu mereka menjelma sebagai marketplace bagi agen travel ibadah umrah hingga perlengkapan penunjang ibadah umat Islam lainnya. Selain itu, Tokopedia mengklaim pihaknya menyediakan sekitar 21 juta lebih produk halal di platform mereka.

Kesempatan Masih Luas

Merujuk pada pelaku bisnis syariah yang relatif masih sedikit tersebut, peluang ekonomi jenis ini untuk tumbuh jelas besar. Dengan menyandarkan laporan State of Global Islamic Economy di atas, Indonesia punya kesempatan untuk memperlebar kapasitas bisnis syariah di berbagai sektor.

Dalam produk halal misalnya, ada sejumlah sub-sektor yang dapat menjadi perhatian pelaku usaha lokal seperti produk e-commerce bersertifikat halal, ritel berkonsep halal, atau teknologi makanan yang halal. Jangan lupa, uang yang beredar secara global dalam bisnis makanan halal ini akan mencapai US$2 triliun atau sekitar Rp28.000 triliun pada 2024 nanti. Dan Indonesia tercatat bukan sebagai 10 besar produsen makanan halal, melainkan sebagai pasar terbesar di dunia.

Peluang yang sama juga ada di sektor pariwisata halal, keuangan syariah, busana islami, dan media & rekreasi. Khusus di pariwisata dan keuangan, pelaku startup dapat melirik ini lebih jauh. Pasalnya pariwista sudah difasilitasi pemeritah lewat kawasan wisata halal. Sedangkan keuangan syariah dapat dibilang pemerintah kini sudah menjadikannya sebagai alternatif untuk menyokong pertumbuhan ekonomi negara. Porsi kontribusi keuangan syariah terhadap keuangan perekonomian nasional sendiri masih di angka 8,73 persen. Itu artinya masih ada ruang besar untuk tumbuh dan menjelma menjadi mesin alternatif pendorong pertumbuhan ekonomi.

Sebelum melangkah ke sana, Indonesia masih punya sejumlah pekerjaan rumah yang cukup besar. Pengamat ekonomi syariah STIE SEBI, Azis Setiawan, mengatakan cetak biru ekonomi syariah dan industri halal yang dibuat oleh pemerintah belum terpenuhi tujuannya.

“Saya kira blueprint yang ada harus dipertajam lagi dan yang dapat menerjemahkan itu para lembaga pemerintah terkait,” ucap Azis kepada DailySocial.

Perusahaan digital yang bergerak di ekonomi syariah pun menurut Azis belum benar-benar mengisi potensi pasar di Indonesia. Minimnya pengetahuan publik terhadap produk syariah dan industri halal menjadi satu alasan, namun ia menggarisbawahi bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

“Ambil contoh pariwisata halal. Di sana kan ada soal penginapan syariah, kuliner halal, kebutuhannya banyak. Perspektifnya juga harus secara global karena yang datang kan dari berbagai negara,” imbuhnya.

Azis yakin pemerintah mampu menjadikan ekonomi syariah sebagai alternatif pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hanya saja, ia menyarankan pemerintah sebagai pemegang penuh kebijakan harus lebih cepat mengimplementasi perencanaan dan responsif terhadap perkembangan yang ada seperti halnya Malaysia jika tak ingin tertinggal lagi.

“Mungkin kita sudah ketinggalan dengan Malaysia sekitar satu atau dua dekade untuk ekonomi syariah ini,” pungkasnya.