Pasar yang terus tumbuh dan celah regulasi ialah kombinasi yang bisa membuat imbauan OJK agar FP2PL tak berkantor di Central Park dan Pluit jadi sia-sia

Yang Tak Terkatakan dari Imbauan OJK Soal “Fintech Lending” Ilegal

Fintech, terutama peer to peer lending (FP2PL), memang masih naik daun di Indonesia. Namun pertumbuhan industri ini juga turut dinikmati pelaku fintech lending ilegal. Meski penegak hukum dan otoritas berwenang mengejar, FP2PL ilegal ini dapat bertahan dan berlipat ganda.

Penindakan terhadap praktik ilegal tersebut paling anyar terjadi pada 20 Desember 2019 lalu. Sebuah operasi oleh Polres Metro Jakarta Utara mengungkap praktik culas kantor peminjaman online (pinjol) bernama PT Vega Data dan PT Barracuda Fintech di wilayah Penjaringan, Jakarta Utara, tepatnya di Mal Pluit Village. Polisi menetapkan 5 tersangka dari total 76 karyawan saat penggrebekan itu.

Salah satu imbas penggrebekan terhadap fintech lending tak berizin itu adalah surat imbauan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam surat itu, OJK mengimbau fintech berizin untuk menghindari kawasan Pluit dan Central Park di Jakarta Barat sebagai tempat mereka berkantor.

OJK menyebut ada indikasi pelaku fintech ilegal tadi beroperasi dalam bentuk sindikat sehingga mereka cenderung bergerak dari lokasi yang sama. Imbauan untuk tidak berkantor di dua tempat tadi, menurut OJK, menjadi bagian dari upaya pencegahan.

“Mengingat fintech ilegal dapat beroperasi seperti siluman dalam melakukan intimidasi kepada pengguna, dan dalam rangka perlindungan bagi masyarakat secara luas, maka langkah pencegahan sangat diperlukan, sekaligus untuk menjaga kualitas dan reputasi fintech lending terdaftar dan atau berizin OJK,” ucap Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology OJK Hendrikus Passagi kepada DailySocial.

Kendati demikian, perlu dipahami bahwa upaya pemberantasan FP2PL ilegal tak sekali ini terjadi. Operasi serupa sudah dilakukan beberapa kali sebelumnya. Ada sejumlah faktor yang memungkinkan FP2PL tak berizin tetap bermunculan dan menjerat nasabah baru.

Pasar yang besar

Bisnis pinjam-meminjam tumbuh dengan mantap setiap tahun. Pada 2017 saja, lending berkontribusi 15 persen dari total transaksi fintech di Indonesia. Indikator lainnya adalah nominal uang yang disalurkan kepada nasabah terus meningkat.

Data OJK sepanjang 2019 menunjukkan total pinjaman yang sudah disalurkan oleh fintech lending mencapai Rp68 triliun. Angka itu tumbuh 200% dari sekitar Rp22,66 triliun pada tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini terbilang sangat pesat.

Maka tak heran pelaku bisnisnya terus bertambah, baik yang legal maupun ilegal. OJK menyebut jumlah perusahaan fintech lending yang terdaftar hingga Desember kemarin berjumlah 25 perusahaan, sedangkan yang ilegal jumlahnya mencapai ribuan.

Mengenai fintech lending ilegal itu, platform yang mereka gunakan cukup beragam. Ada yang operasinya berbasis aplikasi, situs web, atau sekadar SMS blast yang berlanjut via aplikasi pesan instan seperti WhatsApp. Kementerian Komunikasi dan Informatika, sebagai bagian dari Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi bentukan OJK, mengklaim sudah 4.020 fintech ilegal mereka blokir sepanjang dua tahun terakhir.

Masih Ada Celah

Melihat upaya pemerintah dalam membasmi fintech ilegal ini serupa menghabisi cendawan di musim hujan. Penindakan tak henti-henti terjadi karena masih ada celah yang dapat dimanfaatkan para pelanggar hukum tersebut.

Celah paling besar adalah ketiadaan payung hukum yang dapat mencegah lahirnya pinjol nakal. Hendrikus mengakui absennya peraturan tersebut jadi alasan utama maraknya fintech lending ilegal.

Lubang lain yang mungkin terlewatkan oleh otoritas pengawas, terutama oleh sistem Kemenkominfo, adalah penggunaan fitur SMS untuk mengakali pengawasan darri sistem pemerintah maupun penyedia sistem operasi. Dikutip dari Kompas, kantor layanan fintech yang di Pluit yang digrebek polisi memanfaatkan SMS berantai secara acak. Dari SMS itu, calon korban akan digiring ke sebuah situs via tautan yang tertera di dalamnya. Mereka nantinya akan dimintai sejumlah data untuk memproses pinjaman seperti Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, hingga Nomor Pokok Wajib Pajak.

Di sisi lain, melarang suatu kawasan sebagai tempat fintech lending beroperasi justru bisa tidak beralasan. Melihat betapa dinamisnya pergerakan sindikat pinjol ilegal, tempat hanyalah tempat. Dengan kondisi pasar yang tengah bergairah dan berbagai celah yang ada, mereka bisa hidup di mana saja.

Harapan untuk Perbaikan

Selain berharap munculnya undang-undang yang dapat menghukum penyelenggara fintech lending tak berizin, ada satu rencana pemerintah yang dapat diharapkan jika nanti sudah direalisasi.

Kominfo, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), dan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil saat ini sedang menggodok pembaruan registrasi pelanggan seluler prabayar. Rencana ini nantinya memungkinkan operator seluler memakai mekanisme know your customer seperti halnya di perbankan.

Mekanisme ini akan melibatkan teknologi biometrik untuk memastikan identitas pemilik nomor prabayar tadi benar-benar valid. Sebaliknya, jika data yang diberikan pelanggan tidak cocok dengan data yang terekam di sistem Dukcapil, maka ada sanksi yang menunggu.

“Misalnya dengan face recognition technology, finger print, atau iris recognition. Dengan catatan, operator bertanggung jawab penuh terhadap validitas pelanggannya. Jadi dengan cara ini, diharapkan tidak akan terjadi lagi penyalahgunaan data orang lain untuk melakukan registrasi pelanggan prabayar,” ucap anggota BRTI I Ketut Prihadi.

Pada dasarnya rancangan peraturan baru itu akan menambal kegagalan kebijakan registrasi prabayar yang sebelumnya disebut akan mengatasi SMS/telepon spam. Selebihnya, belum diketahui kapan kebijakan baru itu dapat diterapkan. Maka jangan lagi heran selama kebijakan yang diputuskan untuk melindungi industri dari penyelenggara tak berizin ini masih nol, kisah-kisah penggrebekan kantor pinjol ilegal yang beromset puluhan miliar seperti di Pluit tadi akan kembali terjadi.