Tahun 2020 akan menjadi tahun yang ketat bagi konsumen dan startup.

Kenaikan Biaya Hidup Akan Berdampak ke Sejumlah Vertikal Industri Startup

Pemerintah memberikan ‘hadiah’ berupa kenaikan tarif dan harga sejumlah barang dan jasa selepas pergantian tahun baru kemarin. Masyarakat luas, terutama mereka yang berpenghasilan menengah ke bawah tentu yang paling terdampak akibat kebijakan itu.

Kenaikan tarif dan jasa ini turut menjadi perhatian para penyedia layanan digital di Indonesia. Pertanyaannya adalah seberapa jauh peningkatan biaya hidup tersebut berpengaruh terhadap bisnis dan pelanggan mereka.

Tarif dan harga yang mengalami kenaikan

Iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah komponen yang paling ramai dibicarakan. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019, iuran BPJS Kesehatan naik sekitar 65% – 115% untuk tiga kelas berbeda.

Kenaikan cukai rokok juga jadi catatan penting untuk sebagian masyarakat Indonesia. Dengan jumlah perokok mencapai 65,19 juta orang, kenaikan cukai produk rokok rata-rata 21,55% merupakan tekanan bagi para perokok yang mayoritas berasal dari kelas menengah.

Di sektor perhubungan, tarif sejumlah ruas tol pada tahun ini juga naik. Tol Jakarta-Cikampek, Surabaya-Gempol, Belawan-Medan-Tanjung Morawa, adalah adalah contoh ruas tol yang mengalami kenaikan tarif. Gempuran kenaikan harga ini masih disusul dengan rencana pemerintah mencabut subsidi elpiji 3 kg. Pencabutan subsidi ini memang masih dalam pembicaraan, namun jika akhirnya terjadi diperkirakan harga per tabung mencapai Rp35.000 sesuai harga pasar.

Terlepas dari itu semua, masih ada situasi ekonomi global yang diperkirakan akan tertekan sepanjang 2020 ini. Perang dagang antara Amerika Serikat-Tiongkok yang berlarut-larut dan resesi global merupakan ancaman eksternal bagi perekonomian dalam negeri.

Pengaruh terhadap penyedia layanan digital

Bima Yudhistira, ekonom INDEF, mengamini bahwa tahun ini akan menjadi tahun yang sulit bagi pemilik layanan digital. Hal pertama yang menjadi sorotan Bima adalah aliran pendanaan bagi perusahaan teknologi akan terganggu mengingat kebanyakan institusi pendanaan berasal dari Amerika Serikat, Eropa, Tiongkok, dan Jepang, di mana efek resesi global diperkirakan mengguncang lebih hebat ketimbang di Indonesia.

Sementara dari aspek permintaan, kenaikan harga sejumlah barang dan jasa akan membuat masyarakat berpikir dua kali dalam membelanjakan uangnya. “Maka 2020 mungkin mereka akan lebih banyak ikat pinggang karena kenaikan biaya hidup tidak disertai kenaikan pendapatan yang signifikan jadi menurut saya demand tidak akan setinggi tahun-tahun sebelumnya,” ucap Bima.

Situasi seperti ini yang nantinya mendorong para investor di ekosistem digital lebih awas terhadap dana yang mereka kucurkan. Bima meyakini “kontes bakar uang” yang kerap dilakukan oleh platform on demand, seperti Gojek dan Grab, e-commerce, online travel application (OTA), dan peer-to-peer lending akan jauh berkurang di tahun ini.

Head of Strategist MDI Ventures Aldi Adrian punya penilaian agak berbeda. Aldi menilai pelambatan ekonomi yang terjadi secara global tak berpengaruh pada ekosistem bisnis digital dalam negeri. Aldi justru melihat apa yang terjadi pada WeWork dan Uber sebagai faktor yang akan lebih banyak memengaruhi bisnis startup terutama dalam hal akuisisi pelanggan baru dengan potongan harga gila-gilaan.

“Sentimen luar, terutama dari US seperti WeWork dan Uber, jauh lebih besar. Itu jadi pertanda mereka harus ganti metode dan tidak bisa bergantung banyak dengan diskon, tapi harus punya strategi yang lebih sustain, harus lebih positif, bisnis yang bisa cashcow,” tegas Aldi.

Lebih dari itu Aldi memperkirakan akan ada jenis startup yang dapat tumbuh baik di tahun yang sulit ini. Ia menyebut startup yang masuk di kategori software as a service (SaaS), e-commerce B2B2C, dan social commerce.

Keadaan ini menuntut konsumen, terutama mereka yang lama dimanjakan  potongan harga, untuk menggunakan uangnya lebih bijak. Bank Indonesia (BI) sendiri memperkirakan inflasi tahun ini akan meningkat menjadi sekitar 3,1%, naik dengan komponen harga pangan yang diprediksi akan paling bergejolak. Gabungan antara situasi ekonomi dengan tuntutan metode baru menghasilkan satu kesimpulan bahwa penyedia layanan digital akan lebih rasional.

“Tahun 2019 itu inflasinya rendah karena tidak ada kenaikan biaya hidup. sedangkan tahun ini langsung naik banyak sekali sehingga orang jadi berpikir dua kali agar bisa berhemat,” pungkas Bima.