Membangun startup bukan sekadar perkara menciptakan traction dan mendulang pengguna sebanyak-banyaknya. Startup sejatinya kental dengan kultur bertahan lewat konsep “fail fast, learn fast”.
Lalu, apa jadinya kalau bisnis startup yang Anda kembangkan tidak kunjung mendapatkan traction yang diharapkan? Salah satu jawabannya adalah pivot.
Mengubah model bisnis, bertransisi ke layanan berbeda, atau disebut pivot bukan lagi cara baru dalam industri startup. Beberapa startup di Indonesia sudah melakukan ini, mulai dari pivot 100 persen dengan mengganti brand perusahaan dan platform sampai mengubah jenis layanannya.
Saat Anda memutuskan untuk pivot, banyak pertanyaan yang akan muncul. Dimulai dari apa saja yang perlu dipersiapkan, hal-hal yang perlu dihindari, hingga bagaimana mengawalinya.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, DailySocial merangkum berbagai tips dan strategi untuk pivot berdasarkan hasil wawancara kami dengan Kata.ai (pivot 2016), Akseleran (pivot 2017), dan Moselo (pivot 2018).
Sebagai catatan, tips ini tidak disusun berdasarkan urutan langkah yang harus dilakukan pertama kali.
Berkomunikasi dengan stakeholder
Semua sepakat bahwa startup wajib berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan apabila ingin melakukan pivot. Tentu yang utama adalah para investor dan tim di perusahaan.
Menurut Co-founder dan CEO Kata.ai Irzan Raditya, komunikasi menjadi penting untuk memberikan pemahaman dan kesiapan terhadap investor dan tim. Bahkan sebaiknya ada waktu jeda antara membuat rencana dan memulai pivot kepada karyawan.
“Do the right communication, terutama investor to make sure you get the support from the shareholder to support and give clear understanding why you pivot,” papar Irzan.
Sementara bagi CEO Moselo Richard Fang, sebaiknya startup menghindari komunikasi satu arah tentang alasan dan tujuan pivot. Artinya, setiap karyawan berhak untuk menyampaikan perspektif dan concern mereka terhadap pivot ini.
Rencana bisnis yang jelas dan berkelanjutan
Melakukan transisi bisnis merupakan langkah besar yang sangat membutuhkan komitmen penuh, baik dari organisasi maupun pemangku kepentingan lainnya.
Kembali lagi, bagi Irzan, sebelum bertemu investor, startup idealnya merencanakan bisnis secara jelas dan berkelanjutan untuk memastikan model bisnis baru ini dapat bertahan di masa depan.
“Kami riset dulu sebelum bertemu investor. [Setelah itu], kami justru dibantu oleh salah satu investor kami untuk menggarap arah strateginya. Perlu ditekankan bahwa ketika bertemu investor, rencana yang kami miliki harus clear dan punya opsi mau pivot ke mana,” ungkap Irzan.
Sebagai gambaran, Kata.ai yang sebelumnya bernama Yesboss di 2015, menawarkan layanan asisten virtual pribadi dengan konsep conversational commerce. Dalam perjalanannya, model bisnis ini dinilai kurang scalable dan memberikan impact luas.
Maka itu, perusahaan kemudian memanuver bisnisnya di tahun berikutnya dengan menjadi enabler Artificial Intelligence (AI) yang fokus pada teknologi Natural Language Processing (NLP).
Product-market fit menjadi fundamental
Alasan yang paling sering kami temui kala mewawancarai startup yang pivot: produk dan layanan tidak berkembang, atau pertumbuhan traction-nya lambat.
Hal di atas menjadi pelajaran berharga bagi Akseleran bahwa product-market-fit merupakan poin yang sangat fundamental terhadap kelangsungan bisnis startup.
Akseleran memulai bisnisnya sebagai solusi penyalur pinjaman ke UKM dalam bentuk penyertaan ekuitas. Setelah enam bulan dirilis, Akseleran memutuskan pivot menjadi P2P lending karena lambatnya pertumbuhan penyaluran pinjaman. Setelah pivot, Akseleran tetap bertahan pada target pasar yang sama, yaitu UKM.
Co-founder dan CEO Akseleran Ivan Nikolas Tambunan mengungkap bahwa ternyata pasar Indonesia reseptif terhadap pendanaan berbasis ekuitas. Dengan lambatnya penyaluran pinjaman di awal, ini membuat produk Akseleran menjadi kurang scalable dan tidak market-fit.
Ivan juga menambahkan, apabila produk yang dikembangkan belum tervalidasi di pasar saat menjalankan proses pivot, sebaiknya startup menahan diri untuk tidak menambah SDM baru.
“Sejak awal, kita harus kasih informasi penuh tentang roadmap produk dan model bisnisnya. Jadi mereka paham akan perubahan yang dilakukan. Nah, untuk memudahkan motivasi dan supaya tetap satu arah, baiknya [timnya] start small saja,” tuturnya.
Fokus pada target pasar, bukan fitur
Poin lain yang patut menjadi catatan bagi siapapun yang sedang membangun startup adalah betapa pentingnya fokus terhadap apa yang dibutuhkan pasar, bukan apa yang diinginkan perusahaan.
Tak peduli seberapa keren atau canggihnya sebuah produk atau layanan, hal tersebut akan percuma jika konsumen enggan menggunakannya.
Pengalaman ini dialami oleh Moselo yang awalnya merupakan startup penyedia chat commerce untuk produk kreatif. Richard Fang menilai hal ini umumnya acapkali terjadi pada startup-startup yang baru merintis.
Ia mengaku bahwa awalnya pihaknya terlalu fokus pada pengembangan fitur sehingga melupakan target yang ingin dituju. Ketika ingin pivot menjadi marketplace yang menawarkan produk kreatif, perusahaan akhirnya mulai fokus untuk mengenali target pasar lebih dalam.
Di samping itu, ujarnya, pivot yang dilakukan sejak Agustus-Desember 2018 ini justru akan membuat perusahaan menjadi lebih relevan terhadap konsumen dan bisnis dapat profitable.
“Maka yang kami lakukan [saat pivot] adalah mempertajam target audience Moselo. Dari data yang kami himpun, kami mencari solusi yang sesuai buat mereka. Kenali juga pain-point dari target karena ini dapat menjadi sumber pendapatan bagi bisnis,” ungkap Richard.
Mengukur batasan keberhasilan pivot
Jangan tanya berapa banyak startup yang gagal melakukan pivot. Banyak.
Nah, sebagai pelaku startup, penting sekali mengetahui sampai mana batasan kita untuk memastikan bahwa pivot yang dijalankan berhasil atau sebaliknya.
Dari wawancara kami dengan ketiga startup di atas, masing-masing mengandalkan parameter untuk mengukur keberhasilan pivot ini. Umumnya yang menjadi parameter adalah jumlah pengguna atau Gross Merchandise Value/Volume (GMV).
Untuk Kata.ai, Irzan mengungkap bahwa pasca pivot di 2016 lalu, perusahaan telah mengalami pertumbuhan bisnis tiga hingga lima kali lipat, bahkan sudah mengantongi untung di 2019. Selain itu, Kata.ai juga telah memiliki pelanggan korporasi dari perusahaan berskala besar.
”Bicara startup, bicara surviving. Kami punya data dan lihat parameter apa yang bisa ditingkatkan. Sebagai startup conversational AI, kami lihat engagement user-nya. Dulu cuma puluhan ribu pengguna, sekarang jutaan. Pendapatan juga naik,” ungkapnya.
Sementara Moselo sejak awal melakukan pivot untuk mendapatkan traction yang signifikan. Maka itu, jumlah transaksi, jumlah pelanggan, dan GMV akan menjadi paratemer utama.
“Sejak pivot, kami telah mengantongi pertumbuhan GMV sebesar 320 persen dengan jumlah pengguna mencapai 50 ribu. Kami terus track parameternya agar tahu apakah inisiatif ini berhasil atau gagal,” ujar Richard.
Senada dengan Moselo, Akseleran memvalidasi aksi pivot ini dengan traction. Berdasarkan data perusahaan, Akseleran hanya mampu menyalurkan Rp2 miliar pendanaan saat masih menjadi platform pinjaman berbasis ekuitas.
“Agar punya product-market fit, kami memvalidasinya dengan traction. Setelah berubah menjadi P2P lending, kami menyalurkan lebih dari Rp1 miliar di bulan pertama. Kemudian meningkat menjadi Rp30 miliar dalam enam bulan. Ini memvalidasi apakah pivot berjalan baik atau tidak.” Kata Ivan.