B2B Jadi Skema Bisnis Paling Ideal untuk Startup Hardware di Indonesia

Igloohome adalah startup asal Singapura. Pengembang produk “smart access system”, yakni pengunci pintu dan gembok yang dilengkapi dengan komponen teknologi. Saat ini mereka telah terapkan solusinya bersama mitra proptech dan OTA seperti Airbnb, BookingSync, Zip Rent dan lain-lain. Tujuannya memudahkan pemilik properti mengelola akses “kunci” ke pelanggannya secara digital.

Di Indonesia ada Sugar Technology, startup yang kembangkan perangkat serupa. Disebut dengan “smart padlock”, pengguna dapat membuka gembok pintu menggunakan sidik jari yang sudah didaftarkan. Sejauh ini target pasarnya masih untuk kebutuhan gaya hidup pengguna umum, kendati tidak menutup kemungkinan jalinan kemitraan B2B.

Yang terbaru ada Zulu, startup (yang awalnya non-teknologi) pengembang helm yang sekitar setahun lalu mendapatkan pendanaan dari decacorn Gojek. Sebagai perwujudan inovasi produk, helm besutannya dilengkapi konektivitas bluetooth untuk terhubung dengan ponsel pintar. Helm pintar ini bisa diutilisasikan untuk kebutuhan menelepon, menerima notifikasi suara, hingga memberikan perintah ke Google Assistance.

Perjuangan sulit merangkul konsumen

Menjalani bisnis hardware bukan perkara mudah yang diamini startup-startup dari berbagai negara. Pada Juli 2017 lalu, Jawbone pengembang perangkat headset, fitness tracker dan wireless speaker kolaps setelah 10 tahun beroperasi, padahal sebelumnya berhasil membukukan pendanaan US$930 juta. Kegagalannya ditopang minimnya market share dari produk-produk yang dijual. Mereka memasarkan produk secara langsung ke konsumen, dengan gimmick sebagai perangkat penunjang gaya hidup masa kini.

Terdapat beberapa alasan terkait kegagalan tersebut. Dari kurangnya permintaan konsumen, burning rate yang tinggi, menurunnya antusiasme setelah proses penggalangan dana awal (untuk startup yang debut dengan crowdfunding), hingga kesalahan strategi produk.

Sayangnya hal senada juga dialami beberapa well-funded startup lain. Dari catatan CB Insight, berikut tujuh startup di vertikal hardware yang tidak berhasil mempertahankan pertumbuhan bisnis:

Startup Hardware Gagal

CB Insight juga mendata ada lebih dari 400 startup hardware gagal, sebagian besar menyasar kalangan konsumer.

Di lain sisi, investasi untuk startup hardware sebenarnya masih mengalir dengan baik. Selain dari investor, startup juga bisa melakukan penggalangan dana melalui platform crowdfunding seperti Kickstarter atau IndieGogo, menjaring dana langsung dari konsumen sekaligus mendapatkan pengguna awal. Partisipasi yang tinggi dalam program-program tersebut turut meningkatkan antusiasme founder startup hardware mencoba peruntungan.

Berbekal pada tren yang ada, diakui produk berbasis software memiliki skalabilitas yang lebih cepat, dengan lifecycle yang lebih dinamis pula, dibandingkan dengan produk hardware. Namun bukan berarti mustahil bagi pengembang handset untuk bisa meraup sukses. Faktanya beberapa prestasi bisnis besar melibatkan produsen hardware yang tengah dalam tahap pertumbuhan.

Beats, Nest, Oculus Rift dan beberapa nama produsen lainnya berhasil “exit” melalui akuisisi atau pencatatan saham. Kendati jumlahnya tidak banyak, satu dekade terakhir baru sekitar 17 startup hardware yang berhasil IPO. Sementara ada puluhan startup per tahun yang berhasil diakuisisi atau mendapatkan dukungan dari perusahaan teknologi yang lebih besar.

B2B jadi skema bisnis ideal

Sejauh ini ada beberapa model bisnis utama yang dilakoni startup yang menghasilkan produk hardware. Pertama B2C, menjajakan hasil kreasinya ke kalangan konsumen secara umum. Kemudian yang kedua ada B2B, bekerja sama –baik secara parsial maupun penuh—memproduksi produk untuk perusahaan mitra. Namun tak sedikit juga yang melakukan pendekatan B2B2C, dengan varian produk yang berbeda-beda.

Di tengah tingginya tingkat kegagalan startup yang menjual produknya ke konsumen –dalam konteks startup (berbasis teknologi) baru—model bisnis B2B menjadi menarik untuk didalami. Dari kemitraan strategis tersebut, produk hardware dapat disandingkan dengan potensi pangsa pasar pada vertikal bisnis startup digital yang tengah berkembang, tak terkecuali di Indonesia.

Misalnya untuk sektor properti. Berdasarkan data Property Affordability Sentiment Index H1 2019, harga yang sangat mahal menjadikan masyarakat Indonesia lebih banyak yang memilih tinggal di rumah sewa. Bahkan menurut survei Indonesia Property Watch 2018, hampir separuh dari milenial di Jakarta memilih tinggal di indekos.

Melihat peluang tersebut, YukStay digandeng jadi mitra strategis Igloohome di Indonesia untuk mengaplikasikan produknya di beberapa properti kelolaannya. Seperti diketahui, YukStay sajikan layanan hospitality untuk penyewaan apartemen dan indekos. Tidak hanya sajikan listing, mereka turut bantu pemilik properti lakukan manajemen. Saat ini telah mencakup Jabodetabek dan Surabaya.

Sementara untuk ride hailing, menurut data internal Gojek, per semester 1/2019 mereka telah memiliki 2 juta mitra pengemudi. Hal ini menjadi berkah bagi Zulu yang dipinang jadi rekanan strategis untuk mengakomodasi kebutuhan perlengkapan mengemudi utama para mitra – terdiri dari helm dan jaket pelindung.

Perusahaan-perusahaan lain yang awalnya B2C pun akhirnya mengadopsi B2B melalui akuisisinya oleh pemain besar. Sebut saja handset Oculus Rift yang kini jadi produk eksklusif Facebook, Nest yang dioptimalkan dan dipasarkan dengan teknologi Google, atau Beats yang jadi produk yang di-endorse Apple.

Masih terus bermunculan

UMG Idealab jadi salah satu pemodal ventura yang cukup aktif mendukung startup hardware, baik berinvestasi atau bertindak sebagai venture builder. Dua produk hardware yang tengah disiapkan adalah speaker pintar Widya Wicara dan drone passenger bernama Frogs. Cukup ambisius ingin menjadikan drone sebagai kendaraan taksi penumpang, kini produk tersebut terus dimatangkan di salah satu pusat R&D yang terdapat di Yogyakarta.

Drone-Passanger yang dikembangkan tim UMG Idealab di Yogyakarta / UMG Idealab
Drone-Passanger yang dikembangkan tim UMG Idealab di Yogyakarta / UMG Idealab

Widya Wicara sendiri didesain menjadi perangkat gaya hidup. Dibekali dengan perintah berbasis suara, diharapkan perangkat ini bisa menjadi asisten personal untuk melakukan beberapa tugas, seperti sebagai pengingat. Asisten pintar berbasis speaker ini memang jadi perangkat gaya hidup yang layak diperhitungkan. Popularitasnya meningkat sejak tahun 2018, dibarengi kematangan teknologi Natural Language Processing (NLP) yang makin pintar mengenali bahasa manusia.

Sementara produk yang sudah mulai populer contohnya eFishery, manfaatkan IoT untuk membantu pebisnis tambak udang dan ikan dalam menabur pakan secara otomatis. Ada juga Jala yang juga sasar sektor perikanan dengan produk berbasis IoT. Keduanya menerapkan model bisnis B2B dan sejauh ini tampak diterima konsumennya dengan baik.