Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa tak sedikit startup menawarkan gaji yang cukup besar bagi sejumlah bidang keahlian. Software Engineer misalnya adalah jenis pekerjaan yang identik dengan bayaran mahal di startup.
Tak hanya engineer, beberapa talenta di keahlian lain pun tak luput dari iming-iming gaji besar. Semua ini tak lepas dari kombinasi supply-demand sumber daya manusia yang masih berat sebelah dan kultur operasional startup yang menekankan pertumbuhan yang cepat jika dibandingkan dengan perusahaan tradisional.
Belakangan ada masalah yang terlihat dari kebiasaan startup memberi gaji selangit kepada karyawannya. Pertama, ketika sumber pendanaan mengering, pemutusan hubungan kerja bisa terjadi dengan cepat. Kedua, gaji tinggi mereka di tempat sebelumnya dapat menyulitkan perusahaan-perusahaan untuk merekrut talenta tadi karena dianggap jauh di atas rata-rata yang mereka sanggupi.
Belum lama startup hotel bujet, OYO, masuk ke dalam pembicaraan ini setelah memecat ribuan karyawan mereka di India, Tiongkok, juga di Amerika Serikat. Pengumuman resmi serupa memang belum terdengar dari operasional mereka di Indonesia. Meski demikian desas-desus mengenai hal itu sudah berkeliaran di media sosial.
Kami berbicara dengan beberapa orang dari kantor headhunter untuk mengetahui lebih jauh apakah benar startup pantas “disalahkan” atas label SDM yang terlalu mahal sehingga dianggap “merusak harga”.
Kelangkaan sumberdaya
David Wongso yang bekerja sebagai Managing Director Transearch International, sebuah perusahaan rekrutmen sumber daya manusia, mengatakan pertama-tama yang harus dipahami adalah ketersediaan SDM belum mengimbangi jumlah startup yang terus bertambah di Indonesia setidaknya hingga 2030 nanti. Tak hanya startup, gelombang perusahaan konvensional mendigitalisasi bisnis mereka juga menambah jomplangnya neraca permintaan dan suplai talenta digital.
Faktor lain yang ditemukan David adalah struktur ramping startup kerap kali menyebabkan sejumlah personel mengalami lompatan yang relatif lebih cepat dari level manajemen junior ke manajemen senior. Maka, menurut David, tak mengherankan gap yang sedemikian besar itu menyebabkan remunerasi bagi sejumlah SDM jadi membengkak.
“Sebagian dari mereka mendapatkan leapfrog promosi melompati jenjang middle management ke senior management,” ujar David kepada DailySocial.
Rendi–bukan nama sebenarnya–merupakan alumni Gojek dengan keahlian di bidang pemasaran. Status alumni Gojek berhasil memuluskan jalannya bergabung ke startup lain. Meski tidak persis seperti yang diutarakan David, Rendi berhasil melompati manajemen level menengah saat pindah ke startup lain.
Rendi mengamini kebiasaan startup yang rela menggelontorkan uang yang cukup besar untuk remunerasi SDM yang diinginkan. Meskipun demikian, hal itu tak berlaku di semua level dan tempat. Menurut Rendi, di tempat ia bekerja sebelumnya remunerasi fantastis hanya terjadi di level manajemen senior, namun tidak di level junior dan menengah.
“Misal ya entry level marketing yang masih kategori strategic, itu offering-nya lumayan rendah. Tapi marketing yang misal Head atau VP atau apapun bisa gede banget karena kebanyakan hijack dari perusahaan besar,” ucap Rendi.
Tuntutan tinggi
Cerita lain datang dari Haryotomo Wiryasono yang bekerja sebagai konsultan senior di Glints, sebuah platform rekrutmen. Haryo mengaku istilah overpaid untuk para talent asal startup masih bisa diperdebatkan.
Menurut Haryo, tuntutan dan beban kerja personel startup menjadi penyebab utama bayaran yang mereka terima jadi sangat tinggi. Tekanan investor untuk mencapai target pertumbuhan dan dampak yang diincar berujung pada kerja ekstra para punggawa startup. Ini berbeda dengan model bisnis perusahaan konvensional yang menitikberatkan profit dan keberlangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang meski hasilnya pertumbuhan mereka lebih lambat.
“Mereka tidak punya privilese seperti perusahaan konvensional. Sementara kita tahu salah satu startup yang kita kenal paling tua, seperti Facebook, itu umurnya masih belasan tahun tapi dampaknya sudah besar banget,” jelasnya.
Ketiga orang di atas mengakui bahwa kultur startup berpengaruh terhadap iklim tenaga kerja. Haryo mengaku mendapat cerita dari kliennya bahwa label harga tenaga kerja dari startup terlampau mahal. Rendi di tempat barunya beberapa kali gagal mendaratkan talenta dari startup ternama karena standar gajinya yang berbeda cukup jauh.
Namun David yang sudah lama bekerja di sektor rekrutmen SDM berujar label harga mahal tak selalu manis. Label harga mahal akan jadi beban bagi si pekerja ketika mereka tak mampu memenuhi ekspektasi dari label harga mereka. Pada akhirnya gaji selangit bagi talenta digital yang pernah bekerja di startup dapat terjustifikasi jika berhasil membawa keahlian mereka yang sejatinya kian dibutuhkan banyak perusahaan.
“Tentunya talenta digital yang terseleksi dan gugur dari startup, ketika mereka kembali bekerja di perusahaan besar, harus bisa beradaptasi dengan budaya yang unik dari perusahaan. Bila mereka overpaid dan tidak memiliki kemampuan leadership dan manajerial, maka akan menjadi kendala bagi mereka,” pungkas David.