Intudo Ventures

Intudo Ventures Berbicara tentang Startup Tahap Awal, Kesenjangan, dan Antisipasi Perlambatan Ekonomi

Intudo Ventures merupakan salah satu pemodal ventura yang fokus mendanai startup di Indonesia. Jika melihat porsi pendanaannya, cukup menjangkau seluruh skala, mulai dari tahap awal (early stage) hingga tahap berkembang (later stage). Kami berkesempatan berbincang dengan Founding Partner Eddy Chan, mendiskusikan tren dan isu seputar investasi.

Mengawali perbincangan Eddy kembali menegaskan posisi Intudo, “Kami fokus pada pendanaan tahap awal, khususnya untuk seri A (50%), namun tetap memberikan kesempatan dalam investasi pra-seri A (25%) dan seri B (25%).”

Di pra-seri A tujuannya lebih ke arah eksperimental, mendukung ide dan konsep bisnis baru agar dapat lepas landas. Sementara di seri B dialokasikan kepada startup yang telah berhasil memberikan dampak besar pada masyarakat Indonesia melalui vertikal bisnis tertentu.

“Untuk seri A, inilah ‘bread and butter’ kami, di mana kami menerapkan secara penuh metodologi Intudo, menawarkan tiga pilar utama meliputi in-market distribution, follow-on capital dan talent sourcing.”

Tidak melihat adanya funding gap

Secara kuantitas, pendanaan seed hingga seri A di Indonesia selalu mendomnasi dari tahun ke tahun. Namun kepercayaan investor pada ide-ide baru tak jarang berujung pada kegagalan bisnis memacu sampai ke tahap selanjutnya – sebagian ambruk, lainnya menutup dengan pivot.

Lantas, apakah ini disebabkan karena adanya funding gap atau kesenjangan yang membuat para startup kesulitan untuk menemukan investor later stage?

“Kami tidak melihat adanya gap di pasar ini. Meski dapat diperdebatkan, kenyataannya sekarang ada lebih banyak modal yang tersedia untuk pendiri dibanding waktu-waktu sebelumnya. Di masa awal, semua orang selalu berbicara tentang series A-gap, series B-gap dan seterusnya. Ketika pasar sudah matang seperti sekarang ini, celah-celah ini terisi dengan sendirinya.”

Data terbaru DSResearch mengemukakan, tren pendanaan tahap seri A ke atas terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Menelisik lebih dalam, metrik pertumbuhan dan potensi vertikal bisnis yang digarap menjadi ukuran kunci.

Di luar itu Eddy memaparkan, saat ini makin banyak pendanaan global yang melirik ekosistem di tanah air. Penawaran yang dilakukan oleh dana baru ini mencakup seluruh “kue ventura”, mulai dari investasi awal hingga putaran pra-IPO. Banyak di antaranya bahkan memotong cek yang lebih kecil dan cepat untuk sekadar menguji efektivitasnya, atau sekadar memberikan eksposur pasar baru untuk mitra pendukung.

Menemukan startup tahap awal

Dana kedua Intudo Ventures telah diluncurkan pada Februari 2018, nilainya mencapai US$50 juta dan dipastikan akan fokus untuk mendanai startup di Indonesia. Setiap tahunnya, mereka optimis bisa menutup 4-6 investasi setiap tahun.

“Hampir semua transaksi kami bersumber melalui hubungan langsung (dengan founder) setelah mengenalnya selama bertahun-tahun, atau melalui perkenalan hangat melalui kontak kami yang sangat tepercaya. Inilah sebabnya mengapa dana yang beroperasi di Indonesia harus memiliki akar lokal yang kuat. Pendanaan tahap awal didasarkan pada rasa saling percaya, hubungan pribadi dan reputasi,” ujar Eddy.

Belum ada rencana untuk menggalang dana baru, sementara dana tersebut di atas masih terus diupayakan terserap startup yang tepat. Terbaru Intudo memimpin pendanaan untuk perusahaan film Visinema untuk merealiasikan visinya meningkatkan cakupan bisnis dan ekspansi internasional.

Selain Visinema, beberapa portofolio lainnya termasuk Populix, Ride Jakarta, TaniHub, Kargo, CoHive, dan BeliMobilGue.

Mengenai pilar Intudo Ventures

Poin pertama in-market distribution, adalah soal menghubungkan startup dengan mitra lokal. Pihaknya mengatakan memiliki hubungan baik dengan para konglomerat hingga eksekutif unicorn di Indonesia, termasuk di bidang keuangan, kesehatan, konsumen, pendidikan hingga teknologi. Fokusnya untuk membantu portofolio menangani pengembangan dan strategi bisnis yang fokus pada distribusi, lokalisasi produk dan hubungan dengan pemerintah.

Berikutnya follow-on capital, mengenai upaya membantu startup tahap awal yang sudah didanai untuk mendapatkan putaran lanjutan melalui jaringan global yang dimiliki. Kurang lebih ada 25 venture capital/private equity/hedge funds yang telah bermitra, salah satunya Founders Fund yang berbasis di San Francisco. Kemudian yang ketiga tentang talent sourcing, berupaya membantu startup untuk terhubung dengan alumni dari universitas ternama di Amerika Serikat dalam mengisi posisi kunci di startup.

Perlambatan iklim investasi

Banyak analis yang mengatakan potensi perlambatan iklim investasi di Asia Tenggara. Penyebabnya beragam, dari isu ekonomi global sampai yang spesifik seperti beberapa kasus over-valuation. Eddy tidak menapik adanya potensi tersebut.

“Kami sudah mulai mengantisipasi dan melihat adanya dana yang ditarik kembali; dan investor yang membimbing perusahaan portofolio untuk memprioritaskan profitabilitas – yang mana pendekatan ini yang secara konsisten telah kami anjurkan untuk portofolio kami selama beberapa dekade terakhir.”

Dalam kasus perlambatan, yang kami terus lakukan adalah fokus mempertahankan disiplin kami. Di luar itu sebenarnya ada dampak baik yang secara tidak langsung terasa akibat sulitnya mencairkan dana investasi. Misalnya alih-alih mendirikan startup baru, para calon founder memilih bergabung ke startup yang sudah ada; artinya dapat sedikit menyelesaikan kesenjangan talenta.

“Tim pendiri kami telah berinvestasi di banyak startup Indonesia, Silicon Valley dan Asia Utara sejak 1990-an. Hal ini memungkinkan kami untuk mengumpulkan pengalaman yang sangat berharga melalui berbagai siklus investasi, termasuk crash dot-com di tahun 2000 dan krisis keuangan global di tahun 2008. Melalui proses ini, kami telah menemukan bahwa sentimen investor sebagian besar didorong oleh keserakahan dan ketakutan, kemudian menghasilkan pendulum konstan yang fokus berlebihan pada pertumbuhan atau profitabilitas,” terang Eddy.