Cashlez IPO

Di Balik Optimisme Cashlez Segerakan Melantai di Pasar Bursa

Cashlez, startup fintech yang bergerak di payment gateway dan mPOS, melangsungkan aksi korporasi untuk tercatat di bursa saham. Sesuai rencana, perusahaan mengincar dana antara Rp90 miliar sampai Rp100 miliar dengan melepas 300 juta lembar saham biasa atau 20,29% dari modal ditempatkan dan disetor penuh setelah IPO. Harga penawaran di rentang Rp298-Rp358 per lembar.

Presiden Direktur Cashlez Tee Teddy Setiawan mengatakan, dana yang diperoleh dari IPO akan digunakan untuk akuisisi perusahaan serupa yang bergerak di payment gateway bernama Softorb Technology Indonesia (STI). Lalu sisanya diguanakan untuk modal kerja.

“Sekitar 48,57% akan digunakan untuk mengambil alih 51% saham STI. Sisanya sekitar 51,43% akan digunakan sebagai modal kerja perseroan,” ujarnya.

Teddy menjelaskan, perusahaan tertarik dengan STI karena mereka fokus pada front-end. Sementara, Cashlez fokus di back-end. “Kami perlu front-end yang bisa mem-feed transaksi, salah satunya yang dilakukan oleh STI untuk providing front end yang mereka punya.”

“Jadi secara integral binsis ini berkesinambungan. Dan harus 51% mayoritas, supaya kami bisa lebih sinergi lagi dari segi keuangan bisa dikonsolidasi agar lebih sehat,” lanjut Teddy dikutip dari Kontan.

Perusahaan menunjuk Sinarmas Sekuritas sebagai penjamin pelaksana emisi efek. Ditargetkan Cashlez mengantongi pernyataan efektif dari OJK pada 7 April 2020 dan masa penawaran umum akan dilangsungkan pada sehari kemudian. Pencatatan saham di BEI direncanakan pada tanggal 20 April 2020.

Sumitomo Corporation selaku pemegang saham mengatakan, pihaknya meyakini bahwa sistem pembayaran semakin dibutuhkan di era baru yang akan datang seperti MaaS (Mobility-as-a-Service). Dalam hal ini, sistem mPOS (Mobile Payment of Sale/mesin kasir online) dari Cashlez akan memberikan manfaat bagi para konsumen dan penyedia layanan.

Secara kinerja, pada periode Oktober 2019, Cashlez membukukan pendapatan bersih sebesaar Rp11,73 miliar atau naik 96,07% yoy. Peningkatan ini disokong oleh peningkatan volume transaksi yang diproses. Hingga Februari 2020, volume transak di Cashlez mencapai Rp1,3 triliun.

Teddy menargetkan pertumbuhan pendapatan sebesar 120%. STI akan ikut menopang memberikan kontribusinya sebagai anak usaha.

Posisi Cashlez di industri

Salah satu merchant otomotif dari Cashlez / Cashlez
Salah satu merchant otomotif dari Cashlez / Cashlez

Sebagai pemain mPOS, Cashlez memperluas layanannya dengan penerimaan pembayaran dengan kartu, baik kartu kredit atau debit berbasis aplikasi pada smartphone yang dapat dihubungkan dengan card reader melalui bluetooth.

Selain itu, merchant juga dapat menerima metode pembayaran digital dengan kode QR (LinkAja, Ovo, GoPay, ShopeePay, dan Kredivo), Cashlez-Link untuk pembayaran di situs e-commerce, dan pembayaran virtual account.

Jumlah merchant Cashlez diklaim naik dua kali dari posisi per Agustus 2019 sebanyak 6 ribu merchant yang tersebar di berbagai kota besar. Merchant terbanyak berasal dari segmen usaha fesyen & aksesoris, ritel, elektronik, jasa profesional, otomotif, dan jam & perhiasan.

Pemain sejenis Cashlez terhitung ada banyak dan beragam menawarkan masing-masing keunggulannya. Di antaranya Qasir, Pawoon, Nuta, Youtao, dan salah satu yang terdekat adalah Moka. Dari rangkaian produk Moka, tidak hanya sebatas soal inovasi di mPOS, tapi sudah menyentuh ke vertikal lain yang berkaitan dengan bisnis merchant.

Dalam wawancara sebelumnya, Co-Founder dan CEO Moka Haryanto Tanjo menjelaskan ambisinya untuk menjadi “merchant super app.” Perusahaan menargetkan 100 ribu merchant bergabung ke Moka pada tahun ini, adapun sekarang ada lebih dari 30 ribu i. Dua pertiga yang bergabung adalah bisnis kuliner, dan sisanya ritel dan jasa.

Entah mau IPO ataupun tidak, secara model bisnis yang dianut pemain aplikasi kasir online ini adalah SaaS dengan target konsumen b2b. Secara alamiah, bisnis punya unit economic yang lebih jelas, seperti apa roadmap-nya untuk mengarah pada profitabilitas dan skema monetisasinya pasti dengan berlangganan.

Bisnis aplikasi kasir online sebenarnya masih dalam tahap awal alias belum dewasa. Lantaran, masih banyak merchant, terutama mikro yang belum teredukasi dengan baik manfaat dari aplikasi digital untuk pengembangan bisnisnya. Persentase pebisnis yang sudah tersentuh dengan dunia digital masih kalah jauh dengan mereka yang masih offline.

Mengutip dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM), pada 2017 sebanyak 3,79 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sudah memanfaatkan platform online dalam memasarkan produknya. Jumlah ini berkisar 8 persen dari total pelaku UMKM yang ada di Indonesia, yakni 59,2 juta.

Tidak khawatir kondisi pasar

Di tengah merebaknya perlambatan ekonomi global karena pandemik virus Covid-19, Teddy mengaku tetap optimis saham Cashlez dapat diserap dengan baik oleh publik. Menurutnya, IPO merupakan rencana jangka panjang yang sudah disiapkan sejak lama sebelum merebaknya virus.

“Dampaknya paling hanya dari investor ritel. Tapi dari investor institusi tetap berjalan,” kata Teddy seperti dikutip dari Investor.id.

Perusahaan juga sudah mengumpulkan tiga investor besar untuk menyerap saham. Investor ini ditemui saat Cashlez melangsungkan roadshow, mereka adalah investor individu dengan jaringan luas dan institusi yang punya kesamaan visi dengan perusahaan.

Sebagaimana diketahui, regulator bursa bersama OJK menyiapkan segala jurus untuk menekan lesunya pasar modal. Salah satunya adalah mendorong investor institusi dengan dana jumbo untuk berinvestasi, yakni BPJS Ketenagakerjaan (kini BPJAMSOSTEK), Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI), dan Asosiasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan (ADPLK).

Momentum ini dimanfaatkan ketiga institusi tersebut untuk membeli saham-saham perusahaan yang punya fundamental baik dengan harga ‘diskon.’ Pihak BPJAMSOSTEK menyiapkan alokasi dana Rp8 triliun untuk beli saham sepanjang tahun ini. Alokasi dana ini dengan asumsi hanya melakukan beli, tidak melakukan jual.

Mayoritas saham yang dibeli adalah kategori blue chip yang masuk Index LQ45 dan saham BUMN. Per Desember 2019, BPJAMSOSTEK mengelola dana sebesar Rp431,6 triliun. Uang ini dialokasikan ke instrumen fixed income 71,4%, saham 19,09%, reksa dana 9,34%, dan sisanya investasi langsung (properti dan penyertaan).

Investor jenis ini punya karakteristik membeli saham untuk kebutuhan jangka panjang agar mendapat profit yang optimal, sehingga tidak sewaktu-waktu dijual dalam kurun waktu singkat.

Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat Indonesia memiliki 2,47 juta investor pasar modal sepanjang tahun lalu, naik dari tahun sebelumnya 1,61 juta investor. Investor lokal punya komposisi 98,97% dan sisanya investor asing. Tidak jauh berbeda, investor ritel mencapai 98,89% dari total, sementara investor institusi sebesar 1,2%.

Application Information Will Show Up Here