Pengembang game lokal makin digemari di pasar domestik dan luar negeri, tapi akses ke pendanaan masih sulit

Pendanaan yang Masih Seret Jadi Ironi Pengembang Game Lokal

Lebih dari dua tahun lalu kami membuat laporan mengenai kesulitan industri game lokal memperoleh modal. Kali ini kami berbicara dengan sejumlah pengembang game dan investor untuk mencari menengok kembali perkembangan ekosistem game Indonesia.

Belum lama ini judul game Coffee Talk dan DreadOut 2 menghiasi majalah Tempo. Keduanya disorot karena dianggap berhasil memikat banyak pelanggan dari luar negeri. Coffee Talk yang dipasarkan via Steam disebut 99% pembelinya berasal dari luar negeri, sementara DreadOut 2 disebut paling banyak laku dikonsumsi pembeli Tiongkok.

Tangkapan gambar DreadOut 2.
Tangkapan gambar DreadOut 2.

Namun di balik pencapaian itu, masih ada tantangan yang belum sepenuhnya terpecahkan–tak hanya oleh Digital Happiness dan Toge Productions, tapi juga seluruh ekosistem pengembangan game itu, yakni pendanaan. Digital Happiness yang membesut DreadOut 2 mengandalkan hasil penjualan game sebelumnya untuk memproduksi karya terbarunya. Toge Productions yang melahirkan Coffee Talk mengaku meski game teranyar mereka laku di pasaran, kenyataannya pengembang game masih sulit menggaet investor.

CEO & Founder Toge Productions Kris Antoni Hadiputra Nurwowo mengatakan, pengembangan game memang memakan biaya yang tak sedikit. Bahkan Kris juga mengatakan bisnis ini berisiko tinggi. Dengan kompetisi ketat di pasar lokal dan internasional, mereka dituntut untuk terus menghasilkan game berkualitas agar bisa menarik minat investor ataupun sumber pendanaan lain.

“Jujur saja pencapaian pengembang game lokal masih belum seberapa jika dibandingkan dengan game developer indie internasional lainnya. Kebanyakan game developer Indonesia juga tidak memiliki pengalaman ataupun network ke publisher atau investor game internasional,” ujar Kris.

Tangkapan gambar dari Coffee Talk
Tangkapan gambar dari Coffee Talk

Investor masih belum melirik

Kris melanjutkan bahwa cara kerja investor dalam negeri, khususnya perusahaan modal ventura tidak selaras dengan cara kerja ekosistem pengembang game lokal. Ia berpendapat sistem penanaman modal yang dilakukan oleh VC tidak cocok dengan kebutuhan studio game.

“Apalagi di mata kebanyakan VC di Indonesia tidak mengerti industri game dan memiliki lebih banyak lahan lain yang lebih hijau,” imbuh Kris.

CEO & Founder Digital Happiness Rachmad Imron membenarkan bahwa industri game memiliki risiko yang tinggi dan itu yang menurutnya membuat investor lokal enggan menanamkan uangnya ke pengembang game. Persoalan ini baginya wajar karena ekosistem lokal masih dalam tahap mengejar ketertinggalan dari aspek bisnis maupun teknis.

“Tidak banyak pemodal lokal yang mau berisiko untuk berinvestasi dalam skala panjang lebih dari 5 tahun untuk pengembangan satu produk, misalnya mereka lebih prefer ke skala kecil kurang dari 1-2 tahun maksimal misalnya,” ungkap Imron.

Hingga saat ini jumlah institusi keuangan yang berani menyuntikkan modal ke pengembang game masih sedikit. Pemodal ventura yang masuk ke sektor ini jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari, semisal Ideosource, Maloekoe Ventures, dan Digital Nusantara Capital (DNC). Pemerintah sebetulnya juga punya peran meski tak begitu besar. Hal ini tercermin dari kebijakan Bekraf yang memasukkan pengembangan game sebagai subsektor yang berhak memperoleh hibah Bantuan Insentif Pemerintah (BIP). Namun bantuan dari Bekraf ini bersifat terbatas dan sementara.

Managing Director Ideosource Andi S. Budiman menyebut metode pengumpulan dana oleh pengembang game masih sebatas dengan model ekuitas saja. Padahal menurut Andi masih ada metode lain seperti yang ia lakukan di industri film yakni dengan model financing per judul film.

Dalam kondisi demikian, Andi mengatakan hingga sekarang investor belum ada yang berminat terjun ke industri game. “Ada dua hal, pengembang belum biasa melakukan fundraise seperti film dan industri game belum banyak dipahami oleh investor,” tukasnya.

Butuh waktu

Komparasi pendanaan untuk industri film juga dipakai Imron. Menurutnya baik industri game maupun film sama-sama punya risiko tinggi dan potensi untung yang besar. Hanya saja waktu produksi film yang relatif lebih singkat menjadikannya lebih menarik bagi investor karena itu artinya perputaran uang mereka lebih cepat.

Namun ia optimis jika ekosistem pengembangan game di Indonesia kian matang, faktor-faktor tak menentu yang menyulitkan pengembang meraih pendanaan akan terkikis seperti halnya yang terjadi di industri film. Sumber optimisme Imron beranjak dari peningkatan jumlah pembeli DreadOut 2 dari Indonesia serta penerimaan yang menjanjikan di pasar internasional.

“Lima tahun lalu user Indonesia untuk DreadOut di peringkat belasan,” pungkas Imron.

Melihat kiprah pengembang lokal, seperti Digital Happiness dan Toge Productions, tak berlebihan menilai kualitas game buatan lokal terus meningkat seiring waktu berjalan. Meski begitu, bisa dikatakan belum ada kemajuan berarti bagi aspek pendanaan di industri pengembangan game lokal. Baik pengembang maupun investor masih mencari titik pertemuan yang cocok soal pendanaan.