Nicko Widjaja dari BRI Ventures Mengimbau VC untuk Tidak Gegabah Masuk ke Pasar Sekunder

Bagi sebagian besar startup, pendanaan diperkirakan akan mengering selama krisis COVID-19. Valuasi akan menurun serta investor akan mulai membatasi diri.

Nicko Widjaja, selaku CEO dari BRI Ventures, sebuah perpanjangan tangan investasi dari perusahaan BUMN pemberi pinjaman terbesar di Indonesia, mengatakan kepada KrASIA bahwa mereka tidak akan menunda investasinya. Dia melihat celah keuntungan bagi perusahaan dengan uang kas (dry powder) seperti yang ia kelola – mereka dapat membeli dengan harga lebih rendah.

Nicko mengatakan bahwa untuk dana yang saat ini ia kelola, sekarang adalah “waktunya membeli”, dan bahwa VC tidak perlu terburu-buru exit, karena akan mengurangi profit. Sebagaimana KrASIA berbicara dengannya melalui WhatsApp.

KrASIA (Kr): Terkait penyebaran virus COVID-19 di Indonesia, apakah hal ini mempengaruhi BRI untuk menunda investasi? Berapa banyak startup yang akan di-invest tahun ini?

Nicko Widjaja (NW): Tidak ada penundaan dalam rencana investasi. Kami percaya ekosistem akan membaik seiring berjalannya waktu. Lagipula, BVI baru dibentuk tahun lalu dan telah mengikat beberapa deals jauh sebelum kasus COVID-19 melanda. Dari awal, BVI bukan semata-mata investor yang impulsif.

Namun, dalam masa ketidakpastian ini, kami akan menerapkan skenario stress test yang lebih hati-hati kendati pertumbuhan semua startup — termasuk unicorn — akan terhalang dan proyeksi akan tertunda. Kami akan terus membangun bisnis dan koneksi. Secara pribadi, saya percaya tahun ini akan menjadi tahun sinergi, di mana startup dan perusahaan bekerja sama lebih erat untuk kembali pada situasi sebelum COVID-19 mewabah.

Dalam hal berinvestasi, kondisi ini adalah sebuah keuntungan untuk perusahaan dengan uang kas (dry powder) seperti kami, ketika valuasi menurun serta kompetisi merenggang. Namun, hal ini tidak berlaku pada para pendahulu di masa 2015/16 di mana mereka seharusnya menuai hasil di masa sekarang. Bagaimanapun, likuiditas harus tercapai. Jika tidak, akan sulit untuk meyakinkan calon LP maupun yang sudah ada.

Kr: Bagaimana Anda melihat proses exit pada umumnya, secara khusus IPO dan M&A?

NW: Dalam hal exit, ticket size serta kegiatan pendukungnya sedang menurun. Sebagian besar valuasi berkurang secara signifikan karena target tengah terkena dampak setidaknya untuk dua kuartal berikutnya. Mereka yang menggalang Seri D sekarang menjadi Seri C2, Seri C kini menjadi Seri B2, hingga seterusnya. Startup tahap awal adalah yang paling terdampak karena memiliki jenjang yang lebih pendek, pada masa pertumbuhan startup perlu menyesuaikan cash-burn untuk meneruskan operasional, dan rencana likuiditas startup tahap akhir, baik IPO maupun M&A, akan ditunda.

Dana dari tahun terdahulu, 2017/18 — yang berada di pertengahan atau akhir periode penyebarannya — sekarang memasuki masa ketidakpastian, di mana mereka mencoba menyesuaikan rencana semula dengan situasi terkini, terutama ketika mereka mengikat komitmen besar di wilayah ASEAN. Saya tahu beberapa dana kelolaan yang memiliki rencana investasi dalam waktu dekat. Saat ini, mereka baru mendistribusikan sepertiga atau seperempat dari komitmen mereka karena situasi yang tidak pasti.

Tidak diragukan lagi bahkan dana kelolaan pertama kami di MDI Ventures (termasuk yang terdahulu di 2016), yang berhasil mencapai lima exit tahun lalu serta dua exit sebelumnya — yang terakhir adalah ObserveIT, sebuah perusahaan keamanan siber AS-Israel — akan menghadapi tantangan lebih keras untuk bisa exit tahun ini, meskipun likuiditas masih utuh dari aksi sebelumnya.

Kr: Apa yang sekiranya menjadi strategi terbaik untuk VC dalam situasi seperti ini?

NW: Dalam konteks dana kelolaan seperti kami atau Tanglin Venture Partners—menurut sebuah tulisan yang berjudul “COVID-19 Tantangan & Pertanyaan” oleh Pendiri SEA – ini adalah waktu pembelian, terutama bagi mereka yang baru saja mengumpulkan uang dan memiliki cukup uang kas untuk digunakan.

Bagi mereka yang mencari likuiditas, strategi terbaik adalah untuk masuk ke pasar sekunder, meskipun hal ini akan memberikan nilai tawar paling rendah, karena likuiditas terjadi dalam jangka waktu yang sangat singkat. Hal ini berlaku, terutama untuk dana kelolaan terdahulu di 2015/16, atau mereka tidak akan bisa menggalang dana di putaran berikutnya.

Penjualan di pasar sekunder bukanlah sesuatu yang ideal untuk VC. Hal ini akan menunjukkan kurangnya manuver general partner di masa pergolakan, karena tidak menyanggupi pengembalian modal yang paling diinginkan. Jika kita menganggap bencana COVID-19 hanya sementara, mengapa harus gegabah menjual di pasar sekunder pada masa ketidakpastian ini?

Namun, kita telah memasuki situasi normal yang baru sekarang, dan pasar sudah terlalu kaya sangat lama. Saya percaya mereka sudah mengetahui hal ini.

Jika bisa berkata, sejujurnya, saya percaya pemulihan pasar pada sektor teknologi di region ini menjadi harapan kita semua, memisahkan yang serius dan yang hanya berpura-pura. Saya menaruh harapan pada ekosistem VC, dan inilah saatnya kita memperkuat bisnis dengan lebih lagi.

Kr: Berapa banyak VC yang seharusnya menuai hasil namun pada akhirnya gagal?

NW: Mereka yang menutup penggalangan dana pada 2015/2016. MDI Ventures menjadi salah satunya tetapi telah terbukti solid, setelah membukukan tujuh exit dari 30 portofolio pada tahun 2018 dan 2019, dengan pengembalian rata-rata 300-700%.

Dana kelolaan dari tahun terdahulu di 2015/16 yang belum menutup putaran kedua yang signifikan hampir dpastikan akan hancur. Ketika saya memimpin MDI Ventures, kami menyadari bahwa likuiditas amatlah penting, bahkan untuk usaha korporasi seperti saat itu.

Kita telah menikmati hidup di dunia dongeng bersama para unicorn dan centaur namun dengan dana 20 kali lipat saja kini tidak lagi bisa disebut layak.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial