Tren konsumsi kopi yang terus bertumbuh di Indonesia sejak tahun 2010 membuat banyak orang membuka bisnis kedai kopi atau coffee shop. Hal itu pula yang dilakukan oleh Nasrul, seorang barista paruh baya yang sukses membuka kedai kopinya sendiri di daerah Petukangan, Jakarta Selatan.
Bagaimana cerita Pak Nasrul mengawali petualangannya sebagai barista yang akhirnya membuka kedai kopinya sendiri?
Kerja di Restoran Mengawali Kisah jadi Barista
Istilah semua berawal dari dapur sepertinya bukan hanya dongeng kecil yang dibuat di layar lebar. Mengawali kisah sukses dari dapur ternyata dialami oleh Pak Nasrul.
Di akhir tahun 90-an, sebagai lulusan SMA, Pak Nasrul mengawali karirnya di restoran Pizza selama 3 tahun. Dirasa pengalamannya cukup mumpuni, Ia pun pindah ke restoran sandwich yang bernama Caswell’s Sandwich di daerah Cilandak, Jakarta Selatan.
Memasuki tahun 1999, melalui restoran sandwich tersebut, Pak Nasrul mulai mempelajari bagaimana cara meracik kopi. Menurutnya, restoran yang kini berubah menjadi Boncafe Indonesia itu merupakan restoran pioneer yang memperkenalkan istilah barista pada saat itu.
“Saat itu Kita bener-bener pake kopi Grade 1 dari Specialty Coffee Association dari Amerika Serikat. Dulu juga Saya coba mengenalkan kopi-kopi lokal ke kedutaan sambil bawa-bawa alat kopi”, antusias Pak Nasrul.
“Selama kerja, saya otodidak belajar sendiri cara meracik kopi. Saat itu juga Saya roasting kopi sendiri”, lanjut Pak Nasrul antusias.
Semakin menyukai biji-biji hitam nikmat ini, Pak Nasrul pun kerap mengikuti kompetisi barista yang dimulai pada tahun 2003. semenjak saat itu Pak Nasrul terus berkecimpung sebagai barista hingga tahun 2017 di JJRoyal Coffee.
Menjadi Barista Lepas dan Memulai Bisnis KOPIbotol
Setelah bekerja selama sekitar 18 tahun menjadi barista di beberapa restoran, Pak Nasrul akhirnya memutuskan menjadi barista lepas untuk event-event Kementerian Pariwisata Republik Indonesia. Di saat bersamaan, Ia akhirnya memutuskan untuk merintis kopi botolnya yang Ia beri nama saat ini KOPIbotol.
Awalnya, Pak Nasrul menjajakan kopi buatannya melalui instagram @warung_kopibotol dan chat Whatsapp. Kemudian Ia mulai menjajakan kopi botolnya menggunakan layanan pesan antar makanan GoFood. Namun Ia mengaku tidak jarang mengantar sendiri kopi-kopi racikannya langsung ke konsumen.
Lompat ke tahun 2019, Ia beserta istrinya memutuskan untuk membuat on-site coffee shop sendiri dengan merek yang sama, Warung KOPIbotol di daerah Petukangan Selatan, Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
Baca juga: Daftar GrabFood Merchant dan Jangkau Lebih Banyak Pelanggan
Cerita KOPIbotol Bertahan di Masa Pandemi
Setahun mendirikan Warung KOPIbotol, Pak Nasrul langsung dihujani tantangan yang mungkin masih dirasakan hingga saat ini, pandemi COVID-19.
Ia mengaku, selama pandemi membuat usaha coffee shop nya cukup tersendat. Terlebih kebijakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang membuat warung kopinya tidak seramai biasanya.
“Pas mulai PPKM sepi. Bahkan kursi-kursi Kita hampir mau diangkut karena harus tutup jam 8 malam. Sedangkan Kita buka jam 2 siang. Penghasilan pasti turun”, kata Pak Nasrul.
Ia juga mengaku, selama membuka Warung KOPIbotol, permintaan pesanan dari aplikasi pesan antar makanan berkurang dan lebih banyak pengunjung yang langsung mendatangi lokasi.
“Waktu belum ada pandemi warung Kita rame. Konsumen-konsumen kopi botolan semua pada beralih ke sini”, ujar Pak Nasrul.
“Sebaliknya, pesanan online malah menurun karena orang lebih suka ke tempat langsung. Pas PPKM jumlah pengunjung dan jam buka dibatasi, akhirnya berdampak banget”, lanjutnya.
Selain kopi, Warung KOPIbotolnya juga menjual makanan ringan seperti roll isi daging. Namun karena makanan basah tidak bertahan lama sedangkan pengunjung berkurang, Ia pun memutuskan hanya menjual aneka minuman, roti bakar, dan kentang goreng selain menu kopi.
Pak Nasrul juga menceritakan bahwa sebelum pandemi, penghasilan sehari mencapai Rp1,5 juta per hari. Namun ketika PPKM berlangsung, penghasilan turun drastis jadi Rp600 ribu per hari.
Dampak pandemi pun memaksa Pak Nasrul memberhentikan dua karyawannya. “Tadinya ada dua karyawan, sekarang udah gak ada”.
Mengatasi hal tersebut, Pak Nasrul pun tidak tinggal diam. Ia terus menjemput bola. “Kita balik lagi nawarin produk kopi botolan lewat layanan pesan antar dan Whatsapp”, ujar Pak Nasrul.
“Untuk pesanan booking order, biasanya kita yang antar langsung ke konsumen. Kita buka pemesanan dari jam 8 dan tutup jam 5 sore, baru keesokan harinya dikirim”, lanjut Pak Nasrul.
“Pesanan kita antar ke daerah Bogor, Bintara, bahkan Tanjung Priok. Ada minimum order. Untuk daerah yang jauh-jauh kayak Bogor Kita tunggu pesanan sampe 20 botol baru dikirim. Daerah yang deket tunggu 10 botol”, ujar Pak Nasrul.
Ia mengaku, itu semua dilakukan demi memuaskan konsumen. Baginya, kepuasan konsumen adalah hal penting yang bisa Ia lakukan untuk meningkatkan bisnis kedai kopinya.
Digitalisasi Bagi Bisnis Kedai Kopi “KOPIbotol”
Ketika ditanya terkait digitalisasi, Pria berusia 40 tahunan ini menjawab bahwa saat ini, Ia belum mengetahui terkait digitalisasi UMKM.
Meski begitu, baginya digitalisasi UMKM penting untuk memaksimalkan perkembangan usahanya. Namun Ia belum memiliki sumber daya yang mumpuni. Baik dari segi kecakapan teknologi maupun sumber daya manusianya.
Ia mengaku memang banyak tawaran-tawaran untuk pelatihan digitalisasi UMKM, namun Ia sulit untuk mengaksesnya.
“Karena sekarang sifatnya online, dari perangkat Saya gak paham. Tapi jika ada pelatihan langsung, Saya ingin mengikuti”, jawab Pak Nasrul.
Namun Ia optimis bahwa usaha kopinya bisa terus berjalan hingga tahun-tahun ke depan. “Bisnis kopi itu gak akan mati. Semua tergantung bagaimana cara mengelola bisnis ini agar bisa terus bertahan”, katanya.
Saat ini, selain meracik kopi dan minuman lain melalui Warung KOPIbotol, Pak Nasrul juga menjual bubuk kopi serta membuka pelatihan kopi.
Geliat Bisnis Kedai Kopi di Indonesia
Melalui riset TOFFIN, perusahaan yang bergerak di bidang solusi bisnis horeca, pada tahun 2019 bisnis kopi di Indonesia meningkat hampir tiga kali lipat dari tahun 2016. Semula hanya 1.000-an kedai kopi kini terdapat 2.950 kedai kopi.
Meski begitu, angka sebenarnya bisa lebih tinggi mengingat banyak bisnis kopi yang sifatnya rumahan dan berada di pelosok-pelosok daerah.
Banyaknya kedai kopi di Indonesia juga memicu tingkat konsumsi kopi. Di tahun 2018/2019 konsumsi kopi di Indonesia mencapai 258.000 ton dan meningkat 294.000 ton di tahun 2019/2020.
Menjamurnya bisnis kopi di Indonesia menurut TOFFIN dipicu oleh berbagai macam faktor salah satunya kebiasaan nongkrong orang Indonesia.
Selain itu, dahulu kopi dikenal hanya dikonsumsi oleh menengah atas. Namun saat ini kedai kopi menyasar konsumen yang lebih rendah dengan jangkauan harga yang lebih rendah.
Faktor selanjutnya adalah perubahan gaya hidup. Banyak para pemilik kedai kopi bukan hanya menjual specialty coffee saja. Namun juga tempatnya yang estetik.
Di sisi lainnya, para pemilik kedai kopi juga menyajikan Ready To Drink Coffee yang lebih memudahkan orang untuk meminum kopi.
Terlebih saat ini secara demografis Indonesia didominasi oleh masyarakat generasi milenial dan Z yang lebih mengedepankan eksistensi media sosial dan praktis.
Bangun Usaha dengan Komunitas Digital
Masalah yang dihadapi Pak Nasrul dengan kedai kopinya diamini oleh Eddy Satriya, Deputi Restrukturisasi Kemenkop UKM.
Melalui JawaPos, Ia mengatakan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan banyak pelaku usaha mikro sulit mengadopsi teknologi digital yaitu kecakapan teknologi dan akses internet.
Pernyataan ini pun juga didukung oleh laporan yang dikeluarkan oleh DS Innovate yang bertajuk mSME Empowerment Report 2021 dari 100 pelaku UMKM, 35% di antaranya masih gagap teknologi.
Oleh karena itu, menurut Eddy penting bagi para pemangku kepentingan seperti perusahaan pembiayaan, atau penyedia teknologi untuk membangun komunitas digital.
Itulah kisah sukses Pak Nasrul yang tetap semangat mengembangkan bisnis kedai kopi tradisionalnya di era derasnya teknologi. Tidak ada kata terlambat untuk memulai bisnis, setidaknya itu yang Ia coba katakan melalui bisnisnya.