Apakah Indonesia Sudah Siap untuk Startup “Private Shopping Club”?

Mendengar informasi soal investasi Reebonz oleh Intel Capital, saya jadi teringat tentang Fashion Private sebagai startup serupa di Indonesia. Baik Reebonz (yang berbasis di Singapura) maupun Fashion Private menyasar pasar yang sama, “private shopping club”. Di kategori ini, barang-barang bermerk terkenal dan berharga mahal (misalnya tas dan sepatu perempuan) dijual dengan harga murah — di bawah harga pasar — dengan jumlah barang yang pastinya terbatas. Kami sempat mengulas soal Fashion Private ini, termasuk saat mereka menunjuk CEO baru yang baru. Berbeda dengan nasib Reebonz yang mendapat investasi, Fashion Private malah sudah tutup sejak setahun yang lalu.

Pasar ceruk ini tentu saja ada di Indonesia. Di sejumlah mall mewah di Jakarta, gerai dengan merk terkenal seperti ini berdiri megah dengan harga yang tidak masuk dengan budget 80-90% masyarakat Indonesia. Toh mereka masih terus berekspansi di sini karena meski orang yang mampu membeli sangat sedikit, volume penjualannya sangat besar. Dengan alasan gengsi, tidak hanya gerai di Indonesia saja yang diserbu. Gerai pusatnya di Paris sana juga sudah mahfum dengan budaya belanja orang-orang kaya Indonesia.

Kegemaran ini coba diangkat ke ranah online, plus dengan harapan ada kalangan ekonomi “di bawahnya” bisa ikutan menikmati barang-barang bagus yang bermerk ini. Ternyata sambutan yang diperoleh masih belum bagus. Ada apa gerangan? Saya kira-kira punya dua hal yang disinyalir menjadi penyebabnya.

Hal yang pertama — dan yang paling penting — adalah kepercayaan. Ini mungkin masalah bagi e-commerce secara umum, tapi dengan menjamurnya barang non-original/KW, kepercayaan adalah prinsip dasar untuk bermain di pasar segmen ini.

Membeli barang bermerk dan berharga mahal di gerai resmi tentu saja memberikan kepercayaan bahwa barang tersebut asli. Membeli secara online, apalagi jika pemilik  usaha dan barangnya “tidak dikenal”, tentu saja membuat tingkat kepercayaan berkurang. Kalangan ini lebih memilih untuk membayar lebih mahal tapi yakin asli, ketimbang membeli lebih murah tapi tidak yakin terhadap originalitasnya. Apa jadinya kalau uang sudah ditransfer tapi ternyata barang yang dikirim tidak sesuai dengan keinginan? Belum lagi kebiasaan orang Indonesia sendiri biasanya belum percaya dengan kualitas barang kalau belum memegang barang tersebut secara langsung.

Hal yang kedua adalah gengsi. Percaya atau tidak, orang Indonesia lebih suka membayar mahal dengan alasan gengsi ketimbang membayar dengan harga wajar. Bagaimana gadget bisa laris manis untuk harga overprice demi menjadi early adopter (misalnya barangnya belum masuk resmi di Indonesia), bisa menjadi cerminan budaya ini. Membeli tas mahal berharga puluhan atau ratusan juta juga dilakukan semata-mata gengsi. Bagaimana jika tas dengan harga 20 juta, dijual cuma 5 juta saja secara online? Konsumen kelas menengah dengan budget terbatas pasti bakal antri, tapi konsumen yang benar-benar punya uang malah menjauh.

Saya tidak tahu hal apa yang membuat Fashion Private tidak bertahan lama — apakah mismanajemen atau tidak mampu mencari partner penjualan secara berkelanjutan — tapi dua hal ini perlu menjadi pegangan jika ada startup baru yang ingin memasuki kategori “private shopping club” di Indonesia. OZSale yang berasal dari Australia diinformasikan sudah membidik Asia Tenggara (termasuk Indonesia) sebagai pasar potensial barunya tahun ini.

Kembali ke soal kesiapan yang menjadi topik utama, bergantung pada usaha startup untuk melakukan pendekatan. Pendekatan bisa dilakukan secara personal ke konsumen, misalnya melakukan gathering dengan kalangan tertentu, maupun kerjasama dengan pemilik merk untuk meningkatkan kepercayaan (misalnya penjualan terbatas yang menggandeng brand tertentu dan diiklankan di gerai yang bersangkutan). Startup seperti ini tidak memerlukan jumlah anggota yang “sangat banyak” untuk meningkatkan sales. Yang mereka perlukan adalah image branding supaya anggotanya (yang sudah terbatas) bakal membeli secara rutin.

1 thought on “Apakah Indonesia Sudah Siap untuk Startup “Private Shopping Club”?

  1. Harus diakui memang pasar Singapura sudah jauh lebih siap untuk e-commerce daripada Indonesia. Ketersediaan Paypal jadi pembeda yang sangat signifikan. Memulai jadi penyelenggara jual beli online jadi jauh lebih simpel.

    Di Indonesia, e-commerce simply is not convenience (just yet). Yang pegang barang jadi susah diyakinkan. Merchandising jadi seret. Akhirnya merembet ke urusan susah nyari pembeli. And the rest is history. CMIIW.

    PS:
    Or maybe it’s just my unpleasant experience :p

    PS2:
    Sorry to say, antarmuka Reebonz jauh lebih oke dari Fashion Private. Meski tak menentukan 100%, tampilan tetap ada pengaruhnya ke trust. Apalagi untuk barang mewah.

Leave a Reply

Your email address will not be published.