Menurut data BPS per tahun 2019, low skill worker mendominasi sektor informal dengan angka 57,27%. Menjadi potensi besar untuk digarap inovator digital

Platform Digital untuk Pekerja Kerah Biru

Pekerja kerah biru (blue collar worker) identik dengan “pekerjaan kasar”. Jenis pekerjaan ini nyaris ada dan dibutuhkan di setiap lingkungan bisnis – ada yang sifatnya temporer, outsource, hingga pekerja tetap. Kecenderungan segmen ini dipenuhi kalangan low skill worker, orang-orang yang memiliki kompetensi minim – umumnya disebabkan karena akses ke pendidikan yang kurang baik. Menurut data BPS, per tahun 2019 kalangan low skill worker mendominasi sektor informal dengan angka 57,27%.

Masih dari survei BPS, per Agustus 2019 rata-rata pekerja informal tersebut mengantongi pendapatan 1,4 juta per bulannya. Di beberapa kota jumlah tersebut setara dengan UMR, namun di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, angkanya masih jauh di bawah UMR. Nyatanya permasalahan kesenjangan ekonomi memang menjadi salah satu yang mengakar di tanah air.

Selama pandemi Covid-19 berlangsung, mereka juga jadi salah satu kalangan yang paling banyak terdampak, khususnya di sektor padat karya atau yang memerlukan pergerakan manusia dalam menjalankan tugasnya.

International Labour Organization membandingkan data Sakernas 2006 dan 2016 / ILO
International Labour Organization membandingkan data Sakernas 2006 dan 2016 / ILO

Startup digital melihatnya sebagai peluang

Salah satu DNA dari startup digital adalah menghasilkan solusi atas permasalahan spesifik di masyarakat. Beberapa founder berinisiatif untuk merampingkan kesenjangan pekerja kerah biru. Inovasi yang dihadirkan pun cukup beragam, mulai dari menjembatani akses antara bisnis (yang membutuhkan tenaga kerja) dengan para pekerja, hingga membantu memberikan edukasi instan yang dapat mendukung upayanya menemukan.

Kurniawan Santoso adalah salah satunya. Ia merupakan Founder & CEO Job2Go, sebuah portal/aplikasi job marketplace yang fokus pada pekerjaan kerah biru. Ia mengatakan, pangsa pasar blue collar yang mengacu pada kelompok pekerja dengan skill yang terbatas dan informal adalah segmen terbesar dari seluruh populasi angkatan kerja di Indonesia, hampir seluruh sektor usaha. Segmen pekerja ini masih akan terus menjadi tulang punggung kebangkitan ekonomi, termasuk untuk menggerakkan kembali perekonomian pasca-pandemi.

Layanan Job2GO sendiri direpresentasikan dalam platform marketplace berbasis situs web dan aplikasi mobile. Pemberi kerja dan calon pekerja dapat bertemu di platform tersebut. Data terakhir disebutkan, mereka sudah mengakomodasi 15 ribu pengguna, dengan 500 perusahaan yang menawarkan berbagai lowongannya. Adapun jenis pekerjaan yang ditawarkan mulai dari tenaga penjualan, merchandising, SPG, staf pemasaran, staf administrasi, dan lain-lain.

Steven Chu, Detin Melati, dan Komala Surya juga melihat peluang yang sama. Dengan platform bernama Heikaku, mereka hadirkan portal pekerjaan yang menghubungkan UKM dengan pekerja. Hingga kuartal pertama tahun 2020, mereka sudah membantu 2 ribu UKM dengan lebih 8 ribu iklan lowongan kerja. Dalam keterangannya tim Heikaku mengatakan, “Loker yang paling banyak di buka seperti admin, sales, drafter, telemarketing, marketing, SPG dan lainnya. Sekitar 87% pelamar di Heikaku adalah lulusan SMA/SMK.”

Beberapa layanan startup Indonesia untuk pekerja kerah biru / DailySocial
Beberapa layanan startup Indonesia untuk pekerja kerah biru / DailySocial

Selain model marketplace seperti dua pemain di atas, ada startup lain yang mencoba pendekatan berbeda. Misalnya yang dilakukan aplikasi Sampingan dan Big Agent. Mereka mencoba memberdayakan para pekerja harian dengan berbagai kesempatan kerja outsource atau pekerjaan dengan kontrak terbatas. Misalnya pekerjaan untuk memasarkan sesuatu atau melakukan survei ke suatu tempat. Para pekerja dibayar berdasarkan hasil kinerja atau disebut dengan pay per performance.

Tantangan yang dihadapi

Mencoba menjamah pangsa pasar ini dengan pendekatan teknologi bukan tanpa alasan, namun bukan berarti tidak mungkin. Di masa sekarang ini, penetrasi ponsel pintar sudah menjangkau sampai kalangan bawah. Poin-poin seperti simplifikasi user experience dan user interface menjadi krusial dalam proses pengembangan aplikasi – di samping effort lebih yang harus dilakukan pengelola platform untuk menemukan potensi maksimal dari para pekerja.

Kurniawan menyebutkan, “Kami mencoba mengedukasi pengguna untuk mendaftar ke platform dengan pengisian data yang baik. Informasi ini sangat penting untuk memudahkan proses pencarian pekerjaan dan pengembangan diri. Dan tentunya ini akan mempermudah industri untuk mengetahu potensi mereka dan merekrut dengan efektif. Upaya ini tidak mudah, selain karena kesadaran yang masih rendah, juga adanya kendala secara struktural misalnya perangkat yang kurang memadai atau akses internet yang kurang baik.”

Pemain lain memilih menghadirkan inovasi tepat guna untuk membantu mengerjakan hal-hal administratif. Misalnya yang dilakukan platform AdaKerja yang menghadirkan chatbot di platform Facebook Messenger untuk membantu penggunanya dalam membuat CV yang komprehensif. CV jadi salah satu aspek penting bagi perusahaan untuk pengenal potensi calon pekerjanya dan menjadi lembaran bagi calon pekerja untuk mempromosikan dirinya melalui pengalaman-pengalaman yang dimiliki.

Juga jadi problematika industri

Menurut sebuah riset, turnover pekerja kerah biru cukup tinggi. Rata-rata di perusahaan mencapai 20%. Turnover mengacu pada keluar masuknya pegawai yang mengisi posisi tertentu. Kondisi ini sebenarnya memberatkan perusahaan, karena dari survei yang sama dikemukakan bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi turnover ini tidak murah, bisa mencapai $4,569.

Rata-rata persentase turn-over pekerja kerah biru / EmployBridge
Rata-rata persentase turn-over pekerja kerah biru / EmployBridge

Hadirnya platform digital juga berusaha menghadirkan disrupsi di siklus ketenagakerjaan kerah biru. Adanya platform seperti marketplace memungkinkan pemberi pekerjaan terhubung langsung dengan para calon pekerja, karena sejauh ini masih banyak ditemui agen atau biro penyalur tenaga kerja di segmen ini.

Menggunakan biro berarti ada imbalan lebih yang harus dikeluarkan perusahaan, atau sebaliknya mengorbankan potensi penerimaan lebih dari sisi pekerjanya.

“Rata-rata UMR wilayah Jakarta adalah sebesar 3 juta Rupiah, mengindikasikan bahwa mayoritas pekerja adalah sektor blue collar. Namun belum ada medium yang menghubungkan perusahaan atau pengusaha dengan tenaga kerja terampil secara langsung. Kami berharap kehadiran AdaKerja mampu memberikan akses kemudahan untuk para UKM maupun perusahaan dalam merekrut tenaga kerja tersebut,” ungkap Founder AdaKerja Ashwin Tiwari.

Kurniawan menambahkan, nilai lebih juga berusaha diciptakan para pemain di platform perncarian kerja. Misalnya yang dilakukan Job2Go dengan menghadirkan akses ke materi pelatihan. “Fitur unggulan yang akan segera hadir adalah kami ingin memberikan akses kepada layanan finansial, seperti pembukaan rekening, pengelolaan gaji, pengaturan keuangan, akses investasi ataupun pembayaran tagihan, dan pembelian produk digital lainnya. [..] Kesehatan finansial ini adalah salah satu hal yang sangat perlu kita hadirkan untuk segmen pekerja ini.”