Program kepemilikan saham perusahaan (ESOP) dianggap sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan keterikatan tim dengan perusahaan

Memahami Program Kepemilikan Saham Perusahaan di Kalangan Startup

Employee Stock Option Program (ESOP) menjadi salah satu cara mendapatkan loyalitas karyawan. Program ini pada dasarnya membagikan porsi kepemilikan perusahaan, berbentuk saham, ke karyawan. Program ini sudah lazim digunakan perusahaan-perusahaan terbuka, pun demikian dengan startup. Hanya saja opsi ini masih belum populer di Indonesia karena beberapa hal.

CEO Davehunt International Indonesia David Wongso menjelaskan, ESOP merupakan salah satu monetary reward untuk menciptakan alignment antara financial objective company dan karyawan untuk longer term. ESOP biasanya cocok diberikan untuk skenario perusahaan yang bertumbuh sehingga ada potensial upside. Pria yang sudah bertahun-tahun mendalami industri HR ini menilai ESOP kurang tepat jika diterapkan pada industri yang sunset atau stagnan.

“Karyawan harus melakukan analisis, bila perusahaan menawarkan ESOP dengan membeli di harga tertentu. Apakah harga beli tersebut murah? Bagaimana potential upside-nya? Sebab kalau saham tersebut ternyata nyangkut ketika IDX anjlok atau pandemi seperti saat ini, maka uangnya terkunci dan malah rugi,” terang David.

Jika startup belum melakukan IPO, nilainya tentu tergantung pada valuasi. Semakin banyak investasi yang didapat pada pendanaan selanjutnya, semakin tinggi pula nilai saham. Perhitungan ini yang harus jadi pertimbangan, terlebih jika penawaran datang.

David memberikan pandangan bahwa ESOP penting dilakukan oleh perusahaan yang punya good governance.

ESOP di Startup

Salah satu persaingan di industri startup tidak hanya soal pasar dan pengguna, tetapi juga talenta. Perpindahan talenta dari satu startup ke startup lain tidak lagi menjadi hal yang baru. Ada istilah bajak-membajak talenta di kalangan startup.

Di Silicon Valley, banyak startup yang pada akhirnya menawarkan program ESOP untuk “menahan” talenta terbaik mereka, sekaligus menumbuhkan rasa memiliki yang bisa memotivasi karyawan bekerja secara maksimal.

Per tahun 2017, National Center for Employee Ownership (NCEO) Amerika memperkirakan ada 7.000 ESOP dengan 14 juta karyawan yang terlibat. Selain ESOP, ada sekitar 2000 program profit sharing di Amerika yang diaplikasikan untuk membagi keuntungan dengan karyawan.

Di Indonesia, beberapa perusahaan memang sudah menerapkan ESOP. Di sebuah startup unicorn misalnya, mereka memberikan jatah ESOP yang ditentukan vested setiap 4 tahun dengan pembagian 25% tiap tahun (dengan jumlah saham jatah yang tidak fixed). Saham yang dimiliki (seharusnya) bisa dijual di secondary market setelah vested. Startup unicorn yang lain juga ada yang menerapkan strategi mirip. Meskipun demikian, para pegawai cenderung masih menahan jatah mereka, tidak mencoba menjualnya, karena menganggap valuasi bakal lebih tinggi lagi.

Mendesain rencana kepemilikan saham bagi karyawan tidaklah mudah. Ada beberapa pertimbangan dan perhitungan penting yang harus dilalui untuk menentukan alokasi saham yang disiapkan untuk karyawan, co-founder, dan jajaran manajemen.

Seperti kita ketahui bersama, startup adalah perusahaan yang tumbuh dengan cepat. Ukuran anggota tim bisa naik beberapa kali lipat hanya dalam hitungan tahun. Menentukan kapan program ini dijalankan akan menjadi hal mendasar sebelum rencana ini dijalankan, termasuk rencana vesting.

Yang juga perlu diperhatikan adalah mekanisme bagaimana karyawan bisa mencairkan saham yang diberikan. Jika perusahaan tidak memiliki rencana IPO, bagaimana mekanisme buyback saham dan semacamnya.

Saya berbincang dengan Bhisma, salah satu pegawai sebuah startup di Indonesia. Ia percaya bahwa ESOP mampu memberikan efek yang baik bagi karyawannya, terlebih jika ESOP diberikan murni sebagai penghargaan mereka yang memiliki kinerja cemerlang selama masa bekerja.

“Untuk perusahaan rintisan, di mana situasi kerja dan sistem kerja mungkin masih belum sempurna, ESOP dapat mendorong karyawan untuk semakin giat dan aktif memberikan kontribusi. Namun yang perlu dilihat adalah manajemen harus dengan cermat melakukan penyaringan terhadap siapa saja karyawan yang dimungkinkan untuk mengikuti program ESOP ini. Tujuannya adalah agar ESOP bisa tepat sasaran dalam konteks mengajak karyawan menumbuhkan rasa kepemilikan yang berimbas pada peningkatan performa perusahaan,” jelas Bhisma.

Permasalahan dengan ESOP

Menerapkan ESOP bukan perkara mudah. Program ini membuat struktur modal menjadi lebih kompleks. Belum lagi perhitungan lain terkait pajak dan komposisi saham.

Hal menjadi kompleks ketika karyawan yang mendapatkan jatah saham memutuskan untuk keluar. Jika sudah melakukan IPO, karyawan bisa langsung menjual sahamnya di bursa saham, namun jika masih bersifat privat, perusahaan harus menyiapkan dana untuk membeli kembali saham tersebut. Di Indonesia sendiri OJK sudah mengeluarkan aturan mengenai Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Perusahaan Terbuk melalui POJK Nomor 30 /POJK.04/2017. Aturan tersebut mengatur segala sesuatunya terkait pembelian kembali saham oleh perusahaan terbuka.

Permasalahan ESOP ini juga timbul dari sisi karyawan. Nilai saham pada dasarnya mengikuti nilai perusahaan. Semakin maju perusahaan semakin tinggi nilai sahamnya. Sebaliknya, ketika karyawan menyimpan ESOP sebagai bagian dari rencana pensiun namun perusahaan bangkrut — hal ini bisa menjadi bencana.

Di Indonesia, ESOP belum jadi pilihan utama para startup untuk mengikat karyawannya. Dibandingkan pilihan financing, konsep ESOP dianggap belum memberikan manfaat secara riil.