Belakangan esports sedang berkembang dengan pesatnya. Secara internasional, Newzoo mengatakan bahwa pasar esports diperkirakan akan mencapai nilai 15,4 triliun rupiah pada tahun 2020. Asia Tenggara juga menjadi salah satu kawasan yang perkembangannya cukup pesat. Masih dari Newzoo, dilaporkan bahwa industri gaming dan esports di Asia Tenggara ternyata tetap menggeliat selama situasi pandemi. Pada 2019, nilai industrinya bahkan diperkirakan mencapai angka 4,6 miliar dollar AS.
Namun, karena perkembangan terlalu cepat ini, kadang kali ada masalah dalam prosesnya, yang membuat prosesnya esports jadi tidak adil. Di tengah banyaknya kompetisi bermunculan, soal standarisasi mungkin jadi satu hal, yang dapat menjadi masalah suatu saat nanti. Saya sempat membahas fenomena ini dari sudut pandang komunitas game fighting Indonesia, dengan turnamen satu dengan yang lain punya peraturan yang terlampau jauh berbeda.
Standarisasi peraturan turnamen baru satu bagian pembahasan saja. Pada bagian lain, yang menurut saya menarik untuk dibahas dan dipertanyakan adalah soal kesempatan menuju turnamen tingkat internasional.
Jika Anda adalah penggemar setia esports, Anda mungkin sadar akan hal ini. Dalam turnamen, terutama yang setingkat internasional, kadang ada ketidakseimbangan pembagian jumlah slot yang disediakan, untuk suatu negara atau kawasan. Kadang satu negara atau kawasan punya kesempatan lebih besar untuk lolos, sementara negara atau kawasan lain punya kesempatan yang lebih kecil
Kesempatan lebih besar bisa disebabkan oleh beberapa hal, seperti tahap kualifikasi yang cenderung lebih pendek, maupun jumlah slot untuk lolos ke suatu turnamen yang cenderung lebih banyak bagi suatu negara atau kawasan. Apakah ini adalah sesuatu yang normal? Apakah ini adil? Kita akan membahas ini melihat dari sisi esports dan olahraga tradisional, sembari mencari tahu apa alasan diberlakukannya sistem seperti ini.
Melihat Pembagian Slot Turnamen Esports
Dalam esports, ada satu kebiasaan untuk memberikan slot turnamen lebih banyak, untuk negara dengan jumlah pemain terbanyak dari suatu game. Saya sendiri sebenarnya kurang tahu dari mana kebiasaan ini mulai dilakukan. Untuk membahas ini, kita akan melihat ini dari dua turnamen terdekat, yang baru dan sedang berjalan, MPL Invitational 4 Nations Cup, dan PUBG Mobile World League 2020 Season Zero – East Region.
Bertajuk 4 Nations Cup, MPL Invitational mempertandingkan tim MLBB profesional dari empat negara, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Myanmar. Melihat nama turnamen tersebut, ekspektasi saya adalah perebutan tahta tim MLBB terbaik dari empat negara tersebut, lewat kompetisi yang seimbang dengan satu tim mewakili satu negara. Tetapi kenyataannya adalah, turnamen tersebut malah diberondong oleh tim asal Indonesia.
Menurut catatan saya, tim asal Indonesia mendapat 8 slot dengan komposisi 6 tim dari jalur kualifikasi dan 2 tim dari jalur undangan. Malaysia mendapat 4 slot dengan komposisi 3 dari jalur kualifikasi dan 1 jalur undangan. Singapura mendapat 4 slot dengan komposisi 3 dari jalur kualifikasi, 1 jalur undangan. Terakhir Myanmar hanya mendapat 1 slot yang berasal dari undangan.
Mungkin saya yang aneh karena berpikir seperti ini, tetapi jika melihat jumlah tim perwakilan negaranya, pembagian slot rasanya jadi tidak adil bukan? Turnamen seolah terasa seperti MPL 3 Nations Cup plus satu tim Myanmar… Hehe. Dengan jumlah perwakilan yang lebih banyak, tidak heran jika Indonesia punya kesempatan yang lebih besar menjadi juara atau kesempatan mendapat panggung All-Indonesia Final seperti pada M1 World Cup. Meski demikian, bukan berarti RRQ tidak berjuang untuk menjadi juara dalam gelaran tersebut.
Berlanjut ke kasus lain, PUBG Mobile World League 2020 Season Zero – East Region (PWML 2020). Turnamen tersebut diikuti oleh 20 tim yang berasal dari kompetisi lokal dan regional. Dari kompetisi lokal, ada satu tim yang berasal dari pemenang liga PMPL Indonesia, Thailand, Vietnam, MY/SG, Chinese Taipei, turnamen Street Challenge (Korea Selatan), Japan Championship, serta PMCO Pakistan, dan PMCO Wild Card (yang dimenangkan oleh tim asal Mongolia).
Jumlah slot yang disediakan dari liga dan turnamen lokal hanya satu slot saja, dengan tambahan 4 slot untuk negara Asia Tenggara yang berhasil menempati peringkat 6 besar. Namun ada sedikit anomali untuk satu region terakhir yang merupakan peserta dari turnamen ini, yaitu Asia Selatan. Total ada 7 slot disediakan, hanya untuk regional Asia Selatan dalam PMWL 2020 Season Zero – East Region.
Skena esports PUBG Mobile di Asia Selatan sendiri memang didominasi oleh perwakilan negara India. Jika mengutip data Sensor Tower, India tercatat sebagai negara pengunduh game PUBG Mobile terbanyak dengan total sekitar 175 juta install sampai awal Juli 2020 kemarin. Hasilnya adalah 7 slot yang disediakan diisi oleh perwakilan dari negara India saja.
Apabila kita menghitung dari jumlah perwakilan per kawasan, Asia Tenggara akan menjadi kawasan yang terlalu mendominasi dibanding yang lain dengan total ada 8 perwakilan. Tetapi jika dihitung perwakilan per negara, maka perwakilan India jadi sangat tidak adil jika dibandingkan dengan negara lain, dengan 7 tim beranggotakan 39 orang atau sekitar 37% dari total keseluruhan peserta PMWL 2020 Season Zero – East Region berasal dari India, mengutip data Liquidpedia.
Apakah ini adil? Atau dalam konteks kompetisi, keadilan adalah jika negara dengan pemain terbanyak memiliki kesempatan lebih besar untuk dapat lolos ke kompetisi yang lebih tinggi? Agar sudut pandang kita tidak terbatas pada dunia kompetisi esports saja, mari kita mengintip sistem pembagian spot kualifikasi dari ekosistem kompetisi olahraga.
Bagaimana Sistem Pembagian Slot Kualifikasi Olahraga?
Dalam esports kita melihat MPL Invitational dan PMWL 2020 Season Zero – East Region yang jadi dua contoh kompetisi dengan proporsi perwakilan negara yang tidak seimbang. Lalu bagaimana kasusnya di dalam ekosistem olahraga?
Untuk itu, saya melihat dari sistem kompetisi sepak bola dan pertandingan festival olahraga SEA Games. Pertandingan sepak bola sengaja saya pilih, untuk mewakili sistem kompetisi tim vs tim, layaknya pada esports MLBB. Sementara festival olahraga seperti SEA Games saya pilih karena bisa dibilang punya sistem paling mendekati dengan pertandingan esports battle royale, yang menggunakan sistem peringkat serta poin.
Pada sepak bola saya mengambil FIFA World Cup 2018 sebagai contoh, karena merupakan ajang terbesar sepak bola terdekat yang baru selesai, sehingga bisa jadi patokan pembagian spot kualifikasi dalam pertandingan sepak bola antar-negara sejauh ini.
FIFA World Cup 2018 diikuti oleh 208 negara anggota asosiasi, yang dibagi ke dalam 6 zona kualifikasi, yaitu Afrika, Asia, Eropa, Amerika Utara, Tengah dan Kepulauan Karibia, Oseania, dan Amerika Selatan. Total ada 32 slot di pertandingan utama FIFA World Cup 2018, dengan 31 spot berasal dari kualifikasi, dan 1 spot spesial khusus Rusia selaku tuan rumah kompetisi.
Masing-masing kawasan memiliki jumlah slot yang berbeda-beda. Asia (termasuk Australia) memiliki 4,5 slot ditambah 0,5 slot dari kawasan Oseania (New Zealand dan kepulauan lainnya). Afrika memiliki 5 Slot, Amerika Utara, Tengah, dan Kepulauan Karibia memiliki 3,5 slot ditambah 4,5 slot dari Amerika Selatan. Pemilik kesempatan terbesar untuk menuju ke FIFA World Cup 2018 adalah kawasan Eropa, dengan total 13 slot, paling banyak dibanding kawasan lainnya.
Ternyata dalam kompetisi olahraga, praktik pembagian slot yang tidak proporsional juga terjadi. Apakah berarti praktik seperti demikian memang wajar? Lebih lanjut, mari kita intip SEA Games 2019.
Festival olahraga terbesar di Asia Tenggara tersebut mempertandingkan 56 jenis olahraga dengan total 529 event bermedali, mengutip dari Sport Business. Dalam gelaran festival olahraga seperti SEA Games 2019, negara dapat memilih untuk mengikuti suatu cabang olahraga atau tidak.
Hal ini jadi alasan kenapa setiap negara, punya jumlah kontingen atlet yang berbeda-beda. Menurut catatan Jawa Pos, Indonesia mengirimkan 841 atlet, dengan total 1303 orang jika menyertakan pelatih dan official. Malaysia mengirimkan 795 atlet dan 398 official, sedangkan Filipina selaku tuan rumah mengirimkan 1115 atlet ditambah 753 pelatih dan official, menurut catatan beberapa media lokal.
SEA Games juga melibatkan esports sebagai salah satu cabang bermedali. Bukti bahwa SEA Games membebaskan negara peserta untuk mengikuti suatu cabang atau tidak, bisa terlihat pada cabang esports.
SEA Games 2019 mempertandingkan 11 negara anggota Southeast Asian Games Federation (SEAGF), yaitu Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Timor Timur, dan Vietnam. Cabang esports mempertandingkan 6 game berbeda, yaitu MLBB, Arena of Valor, Dota 2, Hearthstone, StarCraft II, dan Tekken 7.
Dari cabang esports Anda bisa melihat bahwa beberapa game yang dipertandingkan hanya diikuti oleh beberapa negara saja. StarCraft II dan Hearthstone contohnya, yang hanya diikuti 6 negara saja yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. MLBB jadi cabang game esports dengan jumlah negara peserta terbanyak, yaitu 9 negara. Jadi, dari keseluruhan cabang esports di SEA Games 2019, hanya Timor Timur dan Brunei Darussalam saja yang tidak mengikuti cabang esports sama sekali.
Jika kita berasumsi Brunei Darussalam dan Timor Timur tidak bisa ikut cabang esports karena mereka tidak memiliki kontingen atlet, apakah SEA Games 2019 adil jika ada cabang pertandingan yang tidak bisa diikuti oleh suatu negara?
Apa Alasan Ketidakseimbangan Slot Kualifikasi Suatu Kompetisi?
Jika melihat kasus yang sudah ada, hampir tidak ada kompetisi yang menerapkan jumlah representasi yang seimbang. Tidak hanya terjadi di esports, FIFA World Cup ternyata menerapkan praktik serupa, karena memberi Eropa jumlah slot kualifikasi terbanyak yaitu sebanyak 13 slot. Sementara dalam SEA Games, kita melihat jumlah perwakilan atlet yang dikirimkan masing-masing negara berbeda-beda jumlahnya. Bahkan cabang esports pada SEA Games 2019 tidak diikuti oleh Brunei Darussalam dan Timor Timur, yang berarti memperkecil kemungkinan mereka untuk menjadi juara SEA Games 2019 secara keseluruhan.
Lalu apa sebenarnya alasan dari penerapan sistem seperti ini? Menurut opini saya, dasar argumennya mungkin seperti ini.
Orang terbaik dari 1000 kompetitor akan berbeda levelnya jika dibandingkan dengan yang terbaik dari 5 orang kompetitor. Sebagai contoh, saya menggunakan ujian sekolah sebagai analogi. Untuk menjadi yang terbaik dari Ujian Nasional 2019 yang diikuti oleh 8,3 juta peserta didik, Anda akan butuh nilai 90 atau mungkin 100. Tapi untuk menjadi yang terbaik dari satu kelas berisi 40 orang, Anda mungkin cuma butuh nilai 80-90 saja.
Tapi, level kompetisi tidak hanya ditentukan dengan melihat jumlah kompetitor saja. Kalau memang demikian, maka dalam pertandingan FIFA World Cup 2018, Asia yang punya 4 miliar penduduk seharusnya mendapat kesempatan lebih besar dibanding Eropa, yang cuma punya 700 juta penduduk.
Tapi nyatanya Eropa mendapat 13 slot, sementara Asia cuma mendapat 4,5 slot saja. Maka, satu faktor lain yang mungkin menjadi alasan adalah level kompetisi lokal di kawasan tersebut, dan prestasi-prestasi yang pernah didapat dari suatu kawasan.
Kembali membahas esports, mari coba kita urai ke dalam dua faktor tersebut, berdasarkan dua contoh turnamen esports yang saya sebut di atas. Kenapa Indonesia mendapat kesempatan lebih besar di dalam MPL Invitational 4 Regions Cup? Mengutip data dari Sensor Tower, Indonesia mencatatkan total 100,1 juta download, dan merupakan negara dengan jumlah pengunduh game MLBB terbanyak. Menyusul di belakangnya ada Filipina dengan 41,2 juta download, dan Vietnam dengan 21,3 juta download.
Selain dari itu, jika kita melihat secara level prestasi, Indonesia merupakan salah satu negara paling mencolok di skena MLBB. Walau gagal mendapat prestasi terbaik di MSC 2017, namun Indonesia mulai menunjukkan potensi di tahun-tahun berikutnya. MSC 2018, Indonesia berhasil mengamankan peringkat 3, walau gagal mendapat slot di babak Final. MSC 2019 adalah puncak prestasi Indonesia, ketika sorotan pertandingan jadi monopoli Indonesia berkat pertemuan ONIC Esports dengan Louvre Esports di babak Grand Final.
Level kompetisi MLBB di tingkat lokal Indonesia juga terbilang cukup keras keras. MPL Indonesia memiliki juara baru setiap musimnya, sampai akhirnya pola tersebut dihentikan oleh RRQ, yang berhasil mendapatkan gelar juara MPL keduanya pada MPL ID Season 5 kemarin. Semakin tinggi level kompetisinya, tim yang bertanding harus lebih baik lagi, dan harus sudah melalui kompetisi yang keras. Jadi, melihat faktor-faktor tersebut di atas, tidak heran jika negara kita mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk turnamen internasional.
Bagaimana dengan PUBG Mobile? Secara jumlah pemain, India memang merupakan negara dengan jumlah donwload PUBG Mobile terbanyak. India mencatatkan jumlah 175 juta download dengan proporsi sebesar 24% dari total keseluruhan download, mengutip dari data Sensor Tower awal Juli 2020 lalu. Jumlah download PUBG Mobile di India bahkan menyalip jumlah download Peacekeeper Elite (PUBG Mobile versi Tiongkok). Lebih lanjut Sensor Tower mengatakan bahwa Tiongkok berada di peringkat kedua dengan 16,7% dari keseluruhan download, dan AS di peringkat ketiga dengan 6,4% dari total keseluruhan download.
Jumlah pemain, mungkin jadi salah satu alasan kenapa India mendapat kesempatan yang lebih besar untuk menuju gelaran PMWL 2020 Season Zero – East Region. Lalu jika kita melihat dari sisi prestasi, Bigetron RA padahal merupakan juara dunia PUBG Mobile lewat gelaran PMCO 2019 lalu, kenapa Indonesia tidak mendapatkan kesempatan lebih banyak di turnamen PMWL 2020 Season Zero – East Region?
Jawabannya mungkin karena level kompetisi lokal Indonesia yang belum sebanding dengan negara lainnya di Asia Tenggara. Kalau kita membandingkan perolehan skor yang dikumpulkan di akhir babak Regular Season PMPL dari masing-masing negara Asia Tenggara, Anda bisa melihat bagaimana level kompetisi di Indonesia masih sangatlah timpang.
Pada PMPL ID Season 1, selisih skor antara Bigetron RA sang juara liga, dengan AURA Esports yang berada di peringkat 2 sangatlah jauh yaitu sebesar 445 poin. Sementara pada PMPL MYSG, PMPL Thailand, dan PMPL Vietnam, beda skor pada posisi top 4 terbilang tipis-tipis, setidaknya tidak lebih dari 300 poin. Jika landasannya adalah selisih skor di PMPL, maka mungkin kawasan South Asia jadi turnamen dengan level kompetisi tertinggi, karena selisih poin cuma mencapai angka puluhan saja pada peringkat top 4.
Terlebih, saya merasa Tencent terbilang sudah cukup adil dalam membagi slot kualifikasi menuju PMWL 2020 Season Zero – East Region untuk negara-negara Asia Tenggara. Masing-masing negara mendapat satu slot menuju PMWL yang diberikan kepada pemenang liga lokal, dan satu slot lagi diperebutkan melalui PMPL SEA Finals 2020. Cuma saja, Thailand memang terbukti bermain lebih baik dibanding negara lainnya. Alhasil negara mereka punya 3 wakil (1 wakil lebih banyak dibanding Indonesia dan Malaysia) di PMWL 2020 Season Zero – East Region.
—
Di luar dari soal mana yang lebih adil, hal lain yang tidak bisa kita lepaskan dalam sebuah kompetisi tentunya adalah kepentingan penyelenggara. Penyelenggara turnamen tentu ingin acaranya menarik minat banyak orang. Cara menarik minat tersebut mungkin bisa diambil dari dua hal, memberikan kesempatan lebih besar kepada negara/kawasan dengan jumlah penggemar terbanyak, serta menyajikan kompetisi yang keras.
Dalam kasus MPL Invitational Anda bisa melihat sendiri bagaimana turnamen tersebut menarik minat banyak orang, gara-gara tim dari Indonesia. Buktinya pertandingan antar dua tim Indonesia, RRQ vs EVOS, adalah pertandingan dengan jumlah viewer terbanyak sepanjang gelaran MPL Invitational, dengan jumlah penonton mencapai 1 juta orang. Jumlah penonton Indonesia pun tidak kira-kira, mencapai angka 971 ribu pada pertandingan tanggal 3 Juli 2020, mengutip Esports Charts.
Namun, mungkin satu pembeda terbesar antara esports dengan olahraga tradisional adalah, penentuan slot dalam pertandingan esports tingkat internasional masih jadi wewenang mutlak sang penyelenggara. Semoga saja asosiasi seperti GEF atau IESF bisa menjadi pihak yang menengahi dalam hal ini, layaknya asosiasi seperti FIFA atau SEAGF dalam ekosistem olahraga.