insurtech di Indonesia

Lewat Asuransi Mikro, Jalan Panjang Insurtech Bersinar di Indonesia

Penetrasi asuransi di Indonesia masih rendah dibandingkan negara tetangga. Selama ini pendekatan yang diambil perusahaan asuransi dalam menjual produknya bisa dikatakan belum tepat. Dalam artian, produk yang dijual preminya terlalu mahal, pun masyarakat masih belum teredukasi dengan manfaat asuransi.

Alhasil, cara tidak berhasil dalam menarik calon pembeli, apalagi jika kondisi ekonomi mereka kurang mampu untuk membelinya. Kesenjangan tersebut akhirnya memicu munculnya insurtech.

Insurtech bukan sebagai perusahaan asuransi, melainkan mitra teknologi dari perusahaan asuransi untuk meracik produk asuransi dan memasarkannya lewat kanal digital. Pada tahap awal ini, insurtech memperkenalkan produk asuransi mikro dengan harga terjangkau untuk menangkap traksi dari masyarakat.

Menurut tren di negara maju, insurtech menjadi generasi dari fintech berikutnya yang akan bersinar, setelah pembayaran dan pembiayaan. Apakah tren ini akan terjadi di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, DailySocial mengangkat pembahasan tersebut ke dalam sesi #SelasaStartup dengan mengundang Co-Founder & COO Qoala Tommy Martin.

Model bisnis ideal insurtech

Menurut Tommy, model bisnis yang ideal buat perusahaan insurtech tergantung di mana negara operasional mereka. Buat Indonesia, salah satu keunggulannya adalah memiliki jumlah pemain startup digital yang melimpah. Itu bisa menjadi model bisnis yang bisa diterapkan.

“Keberadaan startup ini otomatis menjadi potensi yang bisa Qoala lakukan untuk kerja sama dengan mereka. Umumnya mereka sudah melayani konsumen masing-masing, seperti OTA, e-commerce, fintech lending, yang bisa dimasuki oleh produk asuransi sebagai pelengkap,” terangnya.

Cara jemput bola ini cukup tepat untuk diterapkan di Indonesia karena sebelumnya pemain insurtech yang hadir masih berbentuk marketplace menjual beragam produk asuransi. Hal ini kontradiktif dengan kenyataan bahwa kesadaran orang Indonesia untuk membeli asuransi masih sangat rendah.

“Di Malaysia mungkin model marketplace sudah efektif karena kesadaran masyarakat di sana sudah tinggi. Di sana pemerintah mewajibkan untuk memiliki asuransi kendaraan. Jadi cukup buat portal untuk membeli asuransi sudah cukup.”

Mulai dari produk mikro

Tommy melanjutkan, posisi insurtech sebagai mitra teknologi dari perusahaan asuransi sebenarnya dapat mengakselerasi penetrasi asuransi dengan meracik produk yang dikostumisasi sesuai target konsumen. Ini bisa dimulai dengan menjual produk asuransi mikro yang menjadi produk komplementer mereka saat bertransaksi di platform digital favorit dengan harga murah, perlindungan simpel, dan proses klaim yang mudah.

Semakin relevan dengan kebutuhan mereka, maka kemungkinan besar produk asuransi tersebut pasti mereka beli. Misalnya seperti asuransi perjalanan, asuransi handphone, asuransi saat pembelian paket, dan sebagainya.

Dengan premi Rp15 ribu sampai Rp20 ribu menjadi harga permulaan yang sekiranya tidak akan membebankan konsumen saat membelinya. Tidak hanya menekankan harga yang murah, yang terpenting adalah proses yang simpel baik saat pembelian maupun klaim.

Klaim adalah moment of truth yang membuktikan bahwa produk asuransi yang dibeli konsumen benar-benar memberikan mereka manfaat. Produk asuransi itu sendiri adalah produk virtual yang bentuk polisnya hanya secarik kertas, bahkan tanpa kertas karena dikirim secara digital.

“Klaim adalah fokus utama Qoala, dari dulunya proses manual butuh mingguan sekarang jadi hanya hitungan detik. Dengan permudah klaim, suatu hari ketika konsumen beli produk asuransi mahal mereka sudah paham manfaatnya.”

Mengembangkan produk seperti ini tentunya akan menjadi tantangan bagi Qoala kepada perusahaan asuransi konvensional untuk meyakinkan mereka. Di satu sisi perusahaan harus tetap prudent bagaimana meminimalisir risiko penipuan dari setiap nasabah yang klaim.

Tommy menceritakan pada pertama kali menggandeng perusahaan asuransi, mereka butuh waktu enam bulan untuk memastikan mereka untuk percaya dengan teknologi dari Qoala. Menariknya, setelah berhasil diluncurkan, Qoala berhasil menggaet lebih dari 25 perusahaan dalam waktu setahun setelahnya.

Kini perusahaan telah melindungi kurang lebih 2 juta sampai 5 juta nasabah asuransi setiap bulannya. Mayoritas nasabah ini berada di kota-kota besar.

Perjalanan masih panjang

Produk mikro diyakini akan menjadi pintu awal dalam meningkatkan penetrasi asuransi di Indonesia. Di luar sana, solusi asuransi jauh lebih kompleks dan butuh bantuan insurtech untuk mengatasinya.

“Kalau kita bisa beri layanan asuransi dengan mudah, kita yakin masyarakat dapat memahami lebih cepat karena proses beli dan klaimnya sudah terbukti cepat. Ketika momen itu ada, kita baru bisa masuk ke tahapan berikutnya bagaimana menjadikan asuransi jadi top of mind dalam hidup mereka. Naik tahap belum akan terjadi cepat ketika kesadaran terbentuk.”

Dalam menyiapkan masa itu tiba, pekerjaan rumah yang dilakukan oleh perusahaan insurtech dengan asuransi adalah meracik produk-produk yang lebih kompleks dan menyederhanakannya dengan pendekatan teknologi. Salah satu yang sudah dilakukan Qoala adalah untuk asuransi kendaraan.

Qoala menggunakan teknologi machine learning untuk permudah klaim, sehingga petugas asuransi tidak perlu langsung mendatangi lokasi. Nasabah cukup mengambil foto dari masing-masing sisi kendaraan yang sudah ditentukan dan mengambil vdeo. Dari sistem akan mendeteksi dan memilah apakah badan kendaraan masih utuh atau tidak, lalu akan melaporkan analisa tersebut kepada asuransi.

“Bagusnya dengan teknologi adalah machine learning akan semakin pintar dalam menganalisis bagian mana yang rusak dan menurut kita suatu hari saat fraud menurun, mungkin harga premi akan turun karena risikonya semakin minim. Sebab yang membuat asuransi itu mahal karena proses analisa risikonya,” tutup dia.