Beberapa plaform lokal mencoba peruntungan di sektor messaging. ChatAja dan Hi App mencoba peruntungan; Qiscus sudah nyaman sebagai platform SDK

Mati Satu Tumbuh Seribu, Dinamika Aplikasi “Chat” Lokal

Aplikasi chat messaging lokal didera persaingan “berat sebelah” bila ingin menyaingi keperkasaan dari WhatsApp, Line, dan Telegram. Sudah banyak yang mencoba peruntungan di sektor ini. Nama-nama seperti Catfiz, LiteBIG, Pesan Kita, OTU Chat, Yogrt, BuzzBudies, Callind, SalaamAps, Me Chat, IMEStalk, dan masih banyak nama lainnya kini sudah tenggelam, meski sebagian aplikasinya masih bisa diakses.

Timbul pertanyaan yang sedikit mengusik, apakah peta persaingan di aplikasi chat messaging ini sudah tertutup rapat-rapat dikuasai oleh aplikasi global?

Co-Founder dan CEO ChatAja Reza Akhmad Gandara mengungkapkan, salah satu faktor yang membuat pemain chat messaging lokal kurang bersaing adalah terlalu fokus menciptakan layanan messaging yang sama seperti kompetitor. Padahal para kompetitor (global) tersebut sudah kuat dari sisi teknologi dan masyarakat sudah sangat nyaman menggunakannya.

Dia mengutip ucapan Jack Ma yang mengatakan:

“Anda sebaiknya belajar dari pesaing Anda, tapi jangan pernah meniru. Jika Anda meniru, Anda mati.”

Co-Founder dan CEO Qiscus Delta Purna Widyangga berpendapat, aplikasi lokal kurang bersaing karena sektor ini terlanjur mendapat ekspektasi yang tinggi dari pasar. Kehadiran aplikasi chat messaging yang sudah mature akan membuat standar pasar yang sudah bagus menjadi sangat tinggi.

Ekspektasi ini mencakup fitur, performa, hingga hal-hal yang mungkin tidak terlihat secara kasat mata yang berpengaruh di user experience. Pemenuhan ` ekspektasi ini membutuhkan tim produk dan teknologi dengan kapasitas yang mumpuni.

“Mulai dari membangun fundamental teknologi chat-nya itu sendiri yang sangat challenging, hingga membangun produk yang delightful untuk user. Ini butuh iterasi cepat dan terus menerus,” ujar Delta.

Karena fundamental aplikasi messaging adalah komunikasi, yang berikutnya adalah perlunya network effect. Sementara itu, membangun network effect harus didesain dan diakuisisi secara strategis dan agresif.

“Banyak sekali orang meninggalkan aplikasi messaging karena tidak menemukan network-nya menggunakan aplikasi yang sama.”

Sumber : Pixabay
Sumber : Pixabay

Untuk menciptakan network effect dibutuhkan tim growth yang kuat dengan menggunakan strategi top down, community acquisition, value based acquisition, atau apapun. “Proses ini juga sangat iteratif sifatnya dan harus terus menerus.”

Delta mengatakan, sebuah perusahaan yang ingin bergerak di bidang peer-to-peer messaging perlu bisa menyelesaikan dua masalah di atas. Harus mencapai titik teratas pengguna aktif harian dan terus berkembang dari sana sebelum kehabisan energi dan dana. “Dan ini membutuhkan waktu yang sangat panjang, paling tidak 3-5 tahun.”

“Meskipun tantangan ini berat, Qiscus melihat ini sebagai sebuah kebutuhan. Kami melihat Indonesia membutuhkan mainstream messaging apps yang menjadi alternatif dari WhatsApp maupun lainnya. Ini yang membuat Qiscus sangat terbuka untuk berkolaborasi dan mensupport inisiasi ke arah hadirnya aplikasi seperti ini.”

Meski Qiscus hanya fokus pada pasar B2B, tantangan yang dihadapi tetap relevan dengan sedikit perbedaan. Bagi Qiscus, untuk memenuhi ekspektasi pasar, perusahaan sangat mengedepankan chat platform yang kuat, scalable, dan kaya fitur.

“Sementara untuk memenuhi kebutuhan growth, Qiscus punya tim yang kuat, juga ber-partner dengan banyak partner strategis seperti WhatsApp, LINE, channel partners, ecosystem players (chatbot, CRM), dan banyak lainnya.”

Hi App

Salah satu aplikasi lokal yang bakal meluncur adalah Hi App. Ia memadukan fokusnya ke pasar B2B dan B2C. Hi App bisa diunduh pada 20 Oktober mendatang.

Kepada DailySocial, Managing Director Hi App Michelle Kusuma menjelaskan, untuk memberikan daya saing, sekaligus belajar dari pemain terdahulu, pihaknya melakukan berbagai survei dan wawancara ke semua kalangan dengan metode random sampling. Tujuannya mempelajari dan memahami lebih dalam selera, serta kebutuhan fitur yang ada di Indonesia.

“Produk Hi App juga terus dalam proses pengembangan dan kami akan mengeluarkan pembaruan secara berkala untuk aplikasi yang akan dirilis, sehingga kualitas dari fitur-fitur yang ditawarkan terus menjadi lebih baik,” ujarnya.

Optimisme ini didukung laporan Data Reportal per Januari 2020. Disebutkan pengguna media sosial di Indonesia mencapai 160 juta orang, naik 8,1% atau sekitar 12 juta orang sepanjang April 2019-Januari 2020. Mereka menghabiskan waktu sebanyak 3 jam 26 menit per harinya di media sosial. 96% pengguna menggunakan aplikasi messenger dan social networking.

Laporan tersebut juga mengungkapkan sebanyak 59% pengguna internet sangat memperhatikan bagaimana perusahaan memanfaatkan data mereka. Hal ini jadi salah satu alasan untuk merilis Hi App dan meminta tim pengembang memperkuat enkripsinya dibandingkan aplikasi lain yang sudah ada.

Secara fitur, Hi App dilengkapi dengan panggilan suara, video, penerjemah pesan, dan dapat memisahkan personal chat dan group chat di tab yang berbeda. Untuk kapasitas memorinya, aplikasi ini didesain ringan sehingga dapat dipakai untuk smartphone low-end.

Michelle melanjutkan, pada peresmian nanti aplikasi akan difokuskan ke pasar konsumen ritel terlebih dahulu. Menurut dia, masing-masing pasar ini memiliki fungsi fitur yang berbeda sehingga tim akan merancang fitur yang bisa memenuhi kebutuhan semua pihak.

“Fitur baru yang akan kami tonjolkan saat peluncuran nanti adalah translation dan chat organizer. Selain fitur chat yang ringan, aman, dan praktis, kami juga menawarkan fitur lain yang bisa dibilang sangat inovatif dan ditujukan untuk memudahkan komunikasi sehari-hari penggunanya nanti.”

Karena menjadi anak baru, akan menarik melihat strategi mereka dalam mengakuisisi pengguna. Michelle menerangkan pihak prerusahaan akan memperkenalkan fitur-fitur yang ditawarkan di media sosial dan berbagai komunitas. “Dari sana, pengguna dapat mencoba dan merekomendasikan Hi App kepada teman-teman dan keluarga.”

ChatAja

Awalnya ChatAja menyasar pasar B2B, tapi sejak Februari kemarin pasarnya diperluas ke pasar konsumen ritel. Sejak berdiri pada September tahun lalu, ChatAja digunakan oleh pegawai BUMN dan ASN. Perusahaan didukung Telkom sebagai inovasi internal untuk membangun infrastruktur komunikasi digital. Tak heran bila konsep logonya mengingatkan pada LinkAja.

Sebagaimana tercantum di laman blog resminya, perusahaan tidak sungkan menyebut dirinya sebagai aplikasi alternatif WhatsApp. Mereka mengklaim mengklaim apliaksi didesain untuk masyarakat Indonesia dengan menawarkan beberapa kelebihan dibanding pemain utama yang sudah ada.

ChatAja mencoba mengingatkan kembali tentang kedaulatan data dan informasi, mengingat mayoritas pengguna internet di Indonesia masih memiliki tingkat kesadaran yang rendah tentang sensitivitas data. Perusahaan memakai server lokal.

Tim ChatAja / ChatAja
Tim ChatAja / ChatAja

Filosofi ChatAja banyak berkaca pada Telegram. Aplikasi dilengkapi dengan konsep cloud native untuk mengurangi beban penyimpanan di ponsel dan mengurangi kebutuhan untuk backup data. Terdapat juga fitur Berkas Rahasia, sebuah layanan pesan terenkripsi untuk mengamankan pesan penting.

ChatAja disebut bisa berfungsi secara multifplatfor tanpa harus terkoneksi dari aplikasi utama yang ada di smartphone. Sinkronisasinya cukup dengan memasukkan nomor ponsel yang terdaftar di aplikasi. Pengguna dapat menggunakan layanan melalui web, meski smartphone tidak terkoneksi internet. Aplikasi juga tidak memberikan batasan jumlah anggota dalam satu grup.

Reza menerangkan, pihaknya tidak hanya memperkuat dari sisi messaging tapi juga membuka platform-nya kepada pihak ketiga untuk membangun beragam konten di dalamnya. “Layanan yang dapat dinikmati oleh third party antara lain omnichannel, bot builder dan bot API, dan in-app chat. Hingga saat ini, sudah banyak partner yang bekerja sama dengan kita,” ujarnya.

Untuk omnichannel, ChatAja dapat dimanfaatkan untuk menyalurkan pesan apliksi seperti notifikasi dan OTP. Sementara bot builder dan bot API dapat digunakan untuk memanjakan pengguna tingkat lanjut yang ingin menciptakan chatbot versi mereka sendiri. Terakhir fitur text messaging ChatAja dapat dimanfaatkan untuk membangun fungsi in-app chat.

Dalam menjaring pengguna, awalnya ChatAja menyasar klien B2B. Pada Februari 2020, setahun setelah beroperasi, ChatAja dibuka untuk masyarakat umum karena diklaim mendapat antusiasme dari publik.

Bila digabung antara pengguna B2B dan individu, diklaim angkanya sudah mencapai lebih dari 500 ribu orang. Profil penggunanya adalah centennial (generasi Z) dan late milennial, didominasi kalangan laki-laki. Selain di Jakarta, pengguna datang dari kota Surabaya, Depok, Bandung, Makassar, Medan, dan Batam.

Reza menuturkan, pihaknya bekerja sama dengan lintas industri, mulai dari kesehatan (dokter & psikolog), hiburan, marketplace, portal lowongan pekerjaan, media online, crowdfunding, hingga perusahaan legal dalam mengembangkan beragam fitur di platform-nya.

Tersedia beberapa fitur lain, seperti Jelajah (sajian berita dari Kompas, Opini.id, Hipwee, dan Uzone) dan layanan konseling gratis Simply. Ada juga Tab Figur Publik yang memungkinkan pengguna berbicara dengan figur publik yang ditenagai chatbot AI.

Fitur ChatAja

Ada pula fitur ChatAja Jobs (menggaet Heikaku, Kalibrr, dan Urbanhire) dan fitur Sticker yang bekerja sama dengan Mojitok (Korea Selatan) dan Zookiz (Vietnam) untuk memperkaya koleksi stiker statis dan dinamis.

Pertanyaan DailySocial mengenai cara perusahaan memonetisasi tidak dijawab Reza. Fokus perusahaan saat ini adalah peningkatan jumlah pengguna. Dia optimis pada akhir tahun ini platform bisa melipatempatkan jumlah penggunanya menjadi 2 juta orang.

Soon to be announce fitur [untuk mendukung usaha ini] apa. Kemudian dalam waktu dekat akan ada versi terbaru untuk Android, iOS, dan web. Tapi paling dekat ini Android, kemungkinan akhir bulan ini [September],” ungkapnya.

Qiscus tetap fokus di pasar B2B

Dibanding Hi App dan ChatAja, Qiscus dari awal fokus bermain di pasar B2B, meski sempat melakukan pivot. Kini perusahaan melabeli dirinya sebagai chat platform untuk bisnis, baik itu integrasi semua aplikasi messaging ke dalam satu dasbor dan in-app chat SDK.

Sebelum sampai ke model bisnisnya sekarang, Delta bercerita bahwa Qiscus sempat pivot dari awalnya penyedia layanan messaging untuk karyawan. Semangat perusahaan pada saat itu adalah selalu ingin memfasilitasi semua percakapan agar manusia dapat berkomunikasi, berkolaborasi, terlibat, bertukar ide, dan sebagainya dengan lebih mudah dan lebih baik.

“Kami berpikir bahwa memaksa pasar untuk menggunakan pasar adalah cara yang baik untuk mencapai impian ini, membuat messenger yang lebih fleksibel dan dapat diandalkan daripada WhatsApp saat ini. Seperti Slack versi Indonesia.”

Co-Founder dan CEO Qiscus Delta Purna Widyangga / Qiscus
Co-Founder dan CEO Qiscus Delta Purna Widyangga / Qiscus

Pandangannya berubah total ketika melihat implementasi in-app chat di dalam aplikasi healthtech. Pada dasarnya percakapan itu dapat berperan penting dalam aspek hidup manusia. Di situlah mereka sadar bahwa untuk memberikan dampak yang lebih besar, [..] [mereka harus] mengaktifkan percakapan di dalam aplikasi apapun.

“Percakapan yang akan mengubah cara bisnis menyediakan layanan atau menjual produk mereka dan cara konsumen mengonsumsi atau mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan. Di sinilah kami beralih dari enterprise messenger ke platform percakapan yang memperkuat percakapan dalam aplikasi apa pun.”

Keputusan pivot ini terbilang tepat karena Delta mengaku dengan model bisnis sekarang, perusahaan telah memperkuat percakapan untuk lebih dari 30 juta pengguna dengan hampir 1.000 perusahaan klien. Qiscus sudah digunakan untuk 15 use cases di 18 negara. Perusahaan mengklaim sudah mencetak laba sejak tahun lalu dan masih terus tumbuh cepat, meskipun dalam kondisi pandemi.