Memiliki ide bisnis yang tervalidasi dengan baik memang dapat menjadi bekal yang bagi suatu startup untuk menjalankan bisnisnya. Akan tetapi, ide bisnis tersebut akan menjadi sia-sia bila tidak dieksekusi dengan business model yang tepat. Business model merupakan aspek yang menjelaskan bagaimana startup dapat mengoperasikan dan menghasilkan value dan revenue pada bisnisnya.
Menyusun business model yang tepat di awal perjalanan startup bukan lah hal yang mudah. Founder tidak hanya perlu memikirkan bagaimana solusinya sesuai dengan kebutuhan pengguna, tetapi juga harus memikirkan bagaimana solusi tersebut juga dapat menghasilkan pemasukan untuk keberlangsungan dan pengembangan bisnisnya. Demi mencapai hal tersebut, founder harus terus bereksperimen untuk menemukan komposisi business model yang tepat bagi startupnya.
Untuk itu, penyusunan business model ini menjadi topik dalam kegiatan mentoring program akselerasi DSLaunchpad 2.0 yang berkolaborasi dengan Amazon Web Services (AWS). Melalui topik ini, para peserta mendapatkan kesempatan untuk mempelajari pembuatan business model yang tepat bagi bisnisnya bersama Edy Sulistyo (CEO of Go-Play), Markus Liman Rahardja (VP of Investor Relation & Strategy BRI Ventures), dan Steve Patuwo (Business Development Manager of AWS).
Menyusun dan Memvisualisasikan Business Model Canvas (BMC)
Dalam membuat sebuah business model, kerangka umum yang cukup banyak digunakan oleh startup adalah business model canvas (BMC). Melalui kanvas ini, startup dapat menyusun, memvisualisasikan, serta menjelaskan elemen-elemen bisnis yang saling memiliki keterkaitan.
Founder dapat menggunakan BMC untuk mengembangkan ide atau membuat sebuah business model baru. Menyusun business model canvas dengan baik juga dapat memperlihatkan kekuatan yang dapat dimanfaatkan dan kekurangan yang perlu diperbaiki dari sebuah bisnis. “Business model itu menunjukkan kemampuan kalian (startup) berelasi dengan customer dan juga bagaimana Anda mendatangkan revenue untuk bisnis Anda.” jelas Markus Liman Rahardja.
Ada sembilan elemen yang perlu dicantumkan dalam BMC, yaitu: Key Activities, Key Partners, Key Resources, Channels, Value Proposition, Customer Segments, Customer Relationships, Revenue Streams, dan Cost Structure. “This structure enables you to basically set out what elements needed to operationalize your business, elemen-elemen ini yang penting untuk diperhatikan sebelum Anda mengeksekusi your startup.” ujar Steve Patuwo terkait penggunaan BMC.
Business Model juga Harus Divalidasi
Di awal perjalanan bisnisnya, bukan hanya ide bisnis yang harus divalidasi oleh para startup, melainkan juga business model yang mereka usung. Pada awalnya, founder mungkin perlu sedikit melakukan eksperimen untuk berhasil menemukan formula yang tepat terkait ide dan business model startupnya. “Business model itu sebetulnya harus divalidasi juga, gak bisa kita asal asumsi karena just because competitor doing it, berarti artinya kita bisa doing it, belum tentu juga.” terang Edy Sulistyo.
Pada proses validasi ini, penting bagi startup untuk dapat melibatkan pengguna secara langsung. Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh user ketika mereka menggunakan produk yang dimiliki.
“Bagaimana kita mau get our hands dirty, trying to understand from the customer directly, trying to understand apa yang benar-benar mereka butuhkan atau problem apa yang mereka punya instead of apa yang kita pikirkan mereka punya problem.” tambah Edy Sulistyo.
Terkait validasi ide dan model bisnis ini, Edy menjabarkan bahwa salah satu indikator yang dapat dilihat apabila problem yang disasar benar-benar ada dan dirasakan pengguna adalah adanya pengguna yang mau membayar untuk produk ataupun jasa yang disediakan oleh startup kita. “If the customer is actually willing to pay, then we know there is a real problem.” ujarnya.
Menerka Business Model yang Baik untuk Startup
Saat ditanya terkait seperti apa business model yang dikatakan baik untuk suatu startup, Steve Patuwo mengatakan bahwa apabila business model tersebut selaras dengan apa yang ingin dicapai oleh para founder melalui startupnya. “The one that is true to your heart, what you really want to solve, what you passionate about.” jelas Steve.
Menurut Edy, tidak ada sebuah business model yang benar dan salah, namun apakah business model tersebut tepat atau tidak untuk startup kita. Baginya, business model terbaik adalah yang memberikan keuntungan bagi setiap pihak yang terlibat. “There is no such thing as right or wrong business model, tapi sebetulnya yang jelas business model yang baik pastinya customer berasa happy, dari bisnis kita merasa customer willing to pay, and the same time secara market juga growing, I think that is the best Business Model, everybody win-win.” tutup Edy.
Dari sudut pandang investor, Markus menilai business model yang baik juga bisa dilihat dari profitabilitasnya. Hal ini juga bisa menjadi indikator apakah suatu startup dapat dikatakan gagal atau tidak, bukan dari apakah startup tersebut dapat menghadirkan produk atau tidak. “Buat saya startup yang fail itu bukan berarti startup yang tidak berhasil menciptakan produk, tapi startup yang tidak bisa menciptakan business model yang baik untuk mencapai profitability. Sehingga perlu dipikirkan masak-masak, sebelum kita mempersiapkan startup kita kepada customer.” ujar Markus.
Membuat business model memang hal yang menantang bagi para founder baru. Namun, bila seorang founder dapat menyusun dan menjelaskan business model yang dimiliki dengan baik, nantinya tidak hanya berguna untuk perkembangan perusahaan, tetapi juga dapat menarik hati para investor saat melihat startup Anda.