Baik Grab maupun Gojek telah membantah laporan tentang merger. Pengawas, investor, pedagang, dan pengguna semuanya punya pertimbangan

Grab dan Gojek Berpotensi Menjadi Merger Terpelik di Asia Tenggara

Sepanjang tahun 2020, rumor tentang merger antara Grab dan Gojek yang ditengahi oleh Masayoshi Son dari SoftBank telah menggema dan menjadi bahan perbincangan.

Jika kedua perusahaan menjadi satu entitas, ini akan menjadi konsolidasi perusahaan teknologi dengan nilai tertinggi di Asia Tenggara — sebuah langkah regional dengan potensi implikasi global. Ini juga akan menjadi plot twist terbesar bagi ekonomi internet regional, mengingat kedua perusahaan tersebut telah bersaing ketat selama bertahun-tahun. Sementara investor tampak bersemangat untuk menyatukan kedua perusahaan ini, kemungkinan merger menimbulkan pertanyaan tentang konsentrasi pasar dan dampaknya pada konsumen dan mitra pengemudi.

Baik Grab dan Gojek sangat diminati oleh para pemodal. Pada bulan Februari, Grab mengumpulkan USD 856 juta dari investor Jepang. Sebulan kemudian, Gojek meraup USD 1,2 miliar dalam putaran Seri F dari investor yang tidak disebutkan. Kemudian, di bulan Juni, Facebook dan PayPal juga menggelontorkan uang ke super-app Indonesia ini. Detail perjanjian tidak disebutkan, namun menurut Crunchbase, Gojek berhasil mengumpulkan USD 375 juta dari investor Amerika. Dan pada bulan Agustus, Grab mengantongi USD 200 juta dari perusahaan ekuitas swasta Korea Selatan Stic Investments, kemudian Gojek mengumpulkan USD 150 juta lagi dari perusahaan telko Indonesia, Telkom pada bulan November.

Dalam beberapa bulan terakhir, Son dilaporkan berperan sebagai kingmaker dan memberi tekanan lebih pada dua raksasa Asia Tenggara itu untuk bergabung dan beroperasi di bawah satu payung. Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa Grab dan Gojek telah menyelesaikan sebagian besar perselisihan mereka dan memetakan struktur di mana salah satu pendiri Grab Anthony Tan akan menjadi CEO dari entitas gabungan tersebut, sementara eksekutif Gojek akan terus menjalankan bisnis di Indonesia dengan merek Gojek, menurut laporan Bloomberg.

Meski begitu, baik Grab maupun Gojek membantah kabar soal potensi merger tersebut.

Berawal dari startup transportasi, Grab dan Gojek telah mengembangkan bisnisnya masing-masing hingga memasuki banyak vertikal. Pertumbuhan itu membutuhkan guyuran dana dan perusahaan tetap tidak menguntungkan sampai sekarang.

Tahun lalu, Grab dan Gojek menunjukkan niat mereka untuk meraih profitabilitas dan go public — semua bagian dari rencana untuk menghasilkan keuntungan bagi investor seperti SoftBank. Tekanan meningkat tahun ini karena pandemi COVID-19, ketika transaksi untuk beberapa vertikal operasi Grab dan Gojek anjlok.

Berawal dari startup transportasi, kedua decacorn ini telah mengembangkan bisnisnya masing-masing hingga memasuki vertikal lainnya. Ilustrasi oleh KrASIA.
Berawal dari startup transportasi, kedua decacorn ini telah mengembangkan bisnisnya masing-masing hingga memasuki vertikal lainnya. Ilustrasi oleh KrASIA.

Tantangan pada layanan pembayaran

Langkah paling sulit dalam merger kemungkinan akan menggabungkan layanan pembayaran Grab dan Gojek. Di Indonesia, Grab bekerja sama dengan Ovo sebagai mitra pembayaran resminya, sementara Gojek mengoperasikan platform e-wallet miliknya sendiri, GoPay. Grab baru-baru ini memimpin investasi USD 100 juta di LinkAja, menjadikannya pemegang saham minoritas di platform milik negara. Ovo dan Dana telah lama dikabarkan berada dalam diskusi tentang kemungkinan merger untuk mencegah GoPay memperluas kepemimpinannya pada platform pembayaran.

Tidak seperti vertikal Grab dan Gojek lainnya, layanan pembayaran tunduk pada pembatasan ketat dari bank sentral, Bank Indonesia (BI).

“Jika Anda mempertimbangkan potensi ikatan antara Ovo dan Dana, dan konsolidasi lebih lanjut antara Grab dan Gojek, tiga platform teratas Indonesia — GoPay, Ovo, dan Dana — akan secara efektif dimiliki oleh kelompok yang sama, yang saat ini dilarang oleh Bank Indonesia,” kata Joel Shen, pengacara perusahaan dengan Withersworldwide yang mengkhususkan diri dalam merger dan akuisisi (M&A) dan teknologi di Asia Tenggara.

Regulasi BI bersifat wajib dan suspensori, yang berarti Grab dan Gojek membutuhkan izin dari bank sentral sebelum layanan pembayaran mereka dapat saling terkait, tambah Shen.

Baik Grab dan Gojek adalah perusahaan yang sangat berpengaruh di Indonesia. Co-founder Grab Anthony Tan dan Masayoshi Son dari Softbank diketahui memiliki hubungan baik, serta akses ke Presiden Joko Widodo dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Sementara itu, salah satu pendiri Gojek Nadiem Makarim menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di kabinet Jokowi.

“Saya bisa melihat ini bisa berhasil dengan salah satu dari dua cara ini,” kata Shen. “Pertama, mereka menggunakan pengaruh politik dalam pemerintahan Indonesia untuk mendapatkan persetujuan BI, dan lalu bergabung. Kedua, mereka memisahkan bisnis pembayaran dari vertikal lain, jadi mereka akan menggabungkan bisnis transportasi, pengiriman makanan, dan logistik, tetapi platform pembayaran akan tetap terpisah dan tidak digabungkan.”

Masih terlalu dini untuk menyimpulkan bagaimana hasil akhirnya, karena Grab dan Gojek belum menyelesaikan bagian komersial dari transaksi tersebut. Meskipun demikian, Shen yakin platform pembayaran akan menghadirkan satu-satunya rintangan regulasi yang paling sulit dalam merger untuk membentuk satu entitas bisnis.

Para investor berkumpul menjadi satu

Grab dan Gojek didukung oleh investor raksasa, dan persatuan mereka dapat menciptakan konvergensi yang tak terduga di antara baynaknya investor. Entitas yang telah memberi cek untuk Gojek termasuk Google, Tencent, Facebook, PayPal, Visa, dan JD.com. Sedangkan Grab didukung oleh Softbank, Uber, dan Didi Chuxing. Alibaba baru-baru ini dilaporkan sedang dalam pembicaraan untuk menggelontorkan USD 3 miliar di Grab; Meskipun hal ini tidak dikonfirmasi oleh salah satu perusahaan, Grab menandatangani kemitraan dengan Alibaba Lazada di Vietnam bulan lalu, menandakan kemungkinan kemajuan dalam diskusi.

“Jika Anda melihat tabel perbandingan antara Grab dan Gojek, kita akan melihat pesaing yang sangat tidak terduga seperti Alibaba dan Tencent, dimana merupakan situasi yang tidak biasa. Ini akan menjadi tabel yang sangat besar dan sesak jika merger benar terjadi,” kata Shen.

Seorang investor yang mengetahui situasi tersebut mengatakan kepada KrASIA bahwa merger akan menguntungkan dari sudut pandang pemangku kepentingan. Grab dan Gojek perlu segera fokus pada keberlanjutan untuk merasionalisasi penilaian mereka, sebutnya. Dan kedua perusahaan memiliki musuh bersama baru: Sea Group telah bangkit dari pandemi dengan angka yang semakin melejit.

Regulasi bisa melindungi merchant dan konsumen

Investor yang berbicara kepada KrASIA ini juga mengatakan merger akan merugikan pengguna, pengemudi, dan mitra merchant Grab dan Gojek. “Mereka [Grab dan Gojek] pasti akan mengurangi insentif dan daya tawar karena akan dimonopoli oleh entitas merger,” kata orang tersebut.

Jika merger terjadi, maka pengguna Grab dan Gojek dapat mengucapkan selamat tinggal pada promosi diskon perusahaan, karena tidak akan ada persaingan yang signifikan atau langsung di arena. Entitas baru juga bisa “menentukan harga secara sewenang-wenang”, ungkap Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI, kepada KrASIA.

Untuk saat ini, mitra pengemudi kedua perusahaan menentang merger antara Grab dan Gojek. Asosiasi pengemudi sepeda motor online Indonesia, atau Garda, mengatakan mereka akan melakukan protes jika perusahaan tersebut melanjutkan merger.

“Kami khawatir mega-merger ini akan berujung pada penghentian mitra pengemudi dengan alasan efisiensi perusahaan,” kata ketua dan juru bicara Garda Igun Wicaksono kepada KrASIA. Asosiasi berharap pemerintah turun tangan dan menghentikan konsolidasi.

Regulator dapat memainkan peran yang lebih kuat dengan memperketat aturan tentang penetapan harga dan hubungan platform pedagang. Komisi Persaingan dan Konsumen Singapura (CCCS), misalnya, membatasi pergerakan Grab setelah akuisisi perusahaan atas operasi Uber di Asia Tenggara pada Maret 2018, sehingga Grab tidak dapat mengubah rencana harga secara bebas atau memegang monopoli atas pengemudi.

Menurut investor yang tidak disebutkan namanya yang berbicara dengan KrASIA, perusahaan dapat menghindari monopoli pasar dengan melepaskan bagian-bagian bisnis mereka, seperti operasi angkutan atau pengiriman makanan. “Sebuah ‘perpisahan’ di antara kelompok mungkin diperlukan untuk mempertahankan persaingan,” tuturnya.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial