Serba Serbi dan Potensi Cloud Gaming di Indonesia

Jika Anda ingin memainkan game-game terbaru seperti Cyberpunk 2077 atau The Last of Us 2, Anda harus memiliki perangkat yang memadai, baik konsol ataupun PC gaming. Sayangnya, tidak semua orang punya uang untuk membeli konsol atau merakit PC gaming. Cloud gaming menjadi opsi bagi orang-orang tersebut. Namun, meski memang menawarkan kelebihan yang unik, cloud gaming memiliki tantangannya sendiri. Kali ini kita membahas panjang lebar soal cloud gaming, termasuk soal potensinya di Indonesia.

 

Apa Itu Cloud Gaming?

Cara kerja cloud gaming serupa dengan proses streaming ketika Anda menonton video. Saat Anda menonton video di YouTube, Anda tidak perlu mengunduhnya terlebih dulu karena perangkat Anda terus menerima paket data, berupa video dan audio, dari server YouTube.

Dalam cloud gaming, pihak server tidak hanya mengirimkan paket data, tapi juga memproses tugas komputasi — memproses hasil dari input pemain, melakukan render grafik, dan lain sebagainya. Karena proses komputasi dilakukan di server, hal itu berarti, Anda bisa memainkan game AAA di PC/laptop/smartphone kentang sekalipun. Hanya saja, untuk bisa bermain game dengan lancar di cloud gaming, Anda hanya perlu jaringan internet yang tidak hanya cepat, tapi juga berlatensi rendah.

Saat ini, ada beberapa perusahaan yang telah membuat platform cloud gaming, mulai dari perusahaan yang memang berkecimpung di dunia game, seperti Sony, NVIDIA, dan Xbox, sampai perusahaan teknologi yang jarang berkutat dengan game, seperti Google dan Amazon.

“Alasan mengapa game kini masuk ke cloud adalah karena ada banyak orang yang ingin bisa bermain game tapi tak punya perangkat yang memadai,” kata Andrew Fear, Senior Product Manager of GeForce Now, seperti dikutip dari Polygon. Dengan cloud gaming, akan ada semakin banyak orang yang bisa memainkan game-game “berat” seperti Far Cry 5. Pasalnya, mereka tidak lagi harus membeli PC atau laptop gaming seharga belasan juta rupiah.

Konsep akan cloud gaming sebenarnya telah muncul sejak tahun 2000-an. Layanan cloud gaming pertama adalah OnLive, yang diluncurkan pada Juni 2010. Ketika itu, OnLive menawarkan sejumlah game untuk konsol, seperti Borderlands dan Darksiders. Hanya saja, teknologi cloud gaming masih sangat baru. Alhasil, muncul berbagai masalah teknis, seperti masalah latensi ketika memainkan game-game tertentu. Dalam perusahaan OnLive, juga muncul masalah internal yang mengakibatkan tutupnya perusahaan. Pada akhirnya, mereka menjual aset mereka ke Sony.

Dalam 10 tahun, teknologi berkembang pesat, membuat konsep cloud gaming dapat kembali direalisasikan. Memang, cloud gaming belum sempurna, tapi melalui layanan cloud gaming, Anda sudah bisa bermain game layaknya di PC atau konsol, seperti yang disebutkan Digital Trends.

Ukuran Call of Duty: Black Ops - Cold War mencapai 175 GB.
Ukuran Call of Duty: Black Ops – Cold War mencapai 175 GB.

Alasan lain mengapa cloud gaming kembali populer adalah karena ukuran game-game baru yang semakin besar. Misalnya, Call of Duty: Black Ops – Cold War di PC membutuhkan storage sebesar 175GB. Bayangkan jika Anda memiliki tiga game serupa. Berapa banyak kapasitas storage yang harus Anda siapkan? Berapa lama waktu yang Anda butuhkan untuk mengunduh game itu? Cloud gaming menawarkan solusi untuk masalah-masalah itu. Idealnya, dengan cloud gaming, Anda tidak perlu mengunduh game lagi. Anda bisa langsung terhubung ke server cloud gaming dan memainkan game yang Anda inginkan.

 

Siapa Saja yang Punya Cloud Gaming dan Apa Bedanya?

Microsoft adalah salah satu perusahaan yang mengembangkan layanan cloud gaming. Platform mereka dinamai xCloud. Nama platform tersebut diubah menjadi Xbox Game Pass Cloud Gaming ketika Microsoft menggabungkan Game Pass — layanan berlangganan game dari Microsoft — dengan xCloud pada September 2020, mereka menggabungkan Game Pass dengan xCloud.

Vice President of Cloud Gaming, Microsoft, Kareem Choudhry mengungkap bahwa Microsoft mengembangkan cloud gaming agar para gamer bisa memainkan game di perangkat apapun yang mereka mau. “Sebelum ini, Anda perlu PC spesifikasi tinggi untuk bermain game,” kata Choudhry, lapor CNET. “Dengan menggabungkan Game Pass dan cloud, kami memungkinkan orang-orang untuk melakukan streaming game dari cloud ke konsol dan PC mereka, serta smartphone atau tablet mereka.”

Microsoft menggunakan model berlangganan untuk Cloud Gaming. Biaya berlangganan dari Cloud Gaming adalah US$15 per bulan. Biaya berlangganan ini memang lebih mahal dari layanan cloud gaming lain. Namun, dengan berlangganan Cloud Gaming, Anda juga sudah bisa mendapatkan akses ke Xbox Game Pass Ultimate, yang menawarkan lebih dari 100 game populer. Microsoft juga memastikan bahwa game-game buatan studio game mereka — seperti franchise Halo, Hellblade, The Medium, dan game-game yang Bethesda buat di masa depan — akan selalu tersedia di Cloud Gaming. Hanya saja, daftar game-game buatan studio game pihak ketiga akan terus berubah. Microsoft akan mengganti game-game yang sudah berumur tua dengan yang lebih baru.

Saat ini, Xbox Game Pass Cloud Gaming tersedia 26 negara. Sayangnya, Indonesia tidak termasuk dalam daftar itu. Untuk bisa bermain di Cloud Gaming, Microsoft merekomendasikan pengguna memakai jaringan dengan kecepatan setidaknya 10Mbps. Namun, GSM Arena menyebutkan, kecepatan 10Mbps cukup untuk memainkan game pada resolusi 720p. Jika Anda ingin bermain game pada resolusi 1080p, Anda sebaiknya menggunakan internet dengan kecepatan 20-25Mbps. Cloud Gaming juga sudah dilengkapi dengan fitur Save Cloud Sync. Hal itu berarti, Anda bisa melanjutkan game Anda, tak peduli perangkat apa yang digunakan.

Melalui Cloud Gaming dari Microsoft, Anda akan bisa memainkan game di ponsel kentang sekalipun. | Sumber: VG27
Melalui Cloud Gaming dari Microsoft, Anda akan bisa memainkan game di ponsel kentang sekalipun. | Sumber: VG27

Selain Microsoft, NVIDIA juga membuat layanan cloud gaming, yang dinamai GeForce Now. Mekanisme GeForce Now agak berbeda dengan Cloud Gaming dari Microsoft. Jika Anda ingin bermain game melalui GeForce Now, Anda harus membeli game-nya terlebih dulu. Kabar baiknya, NVIDIA bekerja sama dengan beberapa toko game digital populer, seperti Steam, Epic Game Stores, UPLAY, dan GOG. Namun, daftar game yang bisa Anda mainkan melalui GeForce Now terbatas. Anda bisa melihat game apa saja yang tersedia di GeForce Now di sini.

Sama seperti Microsoft, NVIDIA juga menggunakan model berlangganan. Karena Anda masih harus membeli game yang ingin Anda mainkan, biaya berlangganan GeForce Now jauh lebih murah, hanya US$5 per bulan atau US$25 per enam bulan. NVIDIA bahkan menyediakan versi gratis dari GeForce Now. Tapi, Anda hanya bisa bermain selama satu jam per game. Selain itu, Anda juga tidak bisa mengaktifkan Ray Tracing.

GeForce Now bisa digunakan untuk memainkan game di Android, iPhone atau iPad, Window dan Mac. Melalui cloud gaming dari NVIDIA ini, Anda bisa memainkan game pada 1080p dan 60fps. Anda juga bisa mengaktifkan Ray Tracing dan DLSS. Jika Anda menggunakan NVIDIA Shield, Anda bahkan bisa mendapatkan resolusi 4K. Sama seperti Cloud Gaming, kecepatan minimal yang Anda butuhkan untuk mengakses GeForce Now adalah 10Mbps. Untuk memastikan pengalaman bermain lancar, sebaiknya Anda menggunakan internet dengan kecepatan 22-25Mbps. Jika dibandingkan dengan Cloud Gaming, jangkauan GeForce Now jauh lebih luas, mencapai lebih dari 50 negara. Sayangnya, layanan ini juga tidak tersedia di Indonesia.

Sony juga membuat cloud gaming, yaitu PlayStation Now. Melalui layanan ini, Anda bisa memainkan ratusan game dari PS2, PS3, dan PS4 di PS4, PS5, atau PC Windows. Memang, PS Now belum mendukung perangkat mobile atau Mac. Hanya saja, biaya berlangganan PS Now cukup mahal. Sony menawarkan tiga model berlangganan, yaitu US$20 per bulan, US$45 per 3 bulan, atau US$100 per tahun.

Stadia merupakan platform gaming dari Google. | Sumber: Digital Trends
Stadia merupakan platform gaming dari Google. | Sumber: Digital Trends

Walau jarang berkutat di dunia game, Google juga menunjukkan ketertarikan dengan cloud streaming. Mereka memperkenalkan Stadia pada November 2019. Mereka menyebutkan, untuk mengoperasikan Stadia, mereka menggunakan teknologi yang sama dengan teknologi untuk streaming YouTube.

Sama seperti GeForce Now, untuk memainkan game di Stadia, Anda harus membelinya terlebih dulu. Hanya saja, Google tidak bekerja sama dengan toko digital pihak ketiga seperti Steam. Hal itu berarti, Anda harus membeli game langsung di Stadia. Untungnya, Google menyediakan versi gratis dari Stadia. Di sini, Anda bisa memainkan game dengan resolusi 1080p. Jika Anda rela membeli Google Chromecast Ultra dan membayar versi Pro Stadia — seharga US$10 per bulan — Anda bisa memainkan game yang Anda punya pada resolusi 4K. Selain itu, Google juga menyediakan katalog game yang bisa dimainkan oleh para pengguna berbayar.

Sama seperti Cloud Gaming dan GeForce Now, kecepatan minimal yang dibutuhkan untuk mengakses Stadia adalah 10Mbps. Namun, GSM Arena menyarankan untuk menggunakan internet dengan kecepatan sekitar 20Mbps untuk bisa bermain dengan resolusi 1080p dengan lancar. Sementara jika Anda ingin memainkan game pada resolusi 4K HDR, Anda harus menggunakan internet dengan kecepatan lebih dari 35Mbps.

Walau lebih dikenal sebagai perusahaan e-commerce atau penyedia cloud, Amazon juga tertarik untuk masuk ke industri game. Setelah membeli platform streaming game Twitch pada 2014, Amazon juga mulai mengembangkan cloud gaming. Saat ini, platform cloud gaming Amazon — yang dinamai Amazon Luna — masih dalam tahap closed beta. Jadi, Amazon Luna hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu di Amerika Serikat. Melalui Luna, Anda bisa berlangganan “channel”, yang memungkinkan Anda untuk mengakses game-game dalam channel tersebut.

Amazon menggunakan sistem channel pada Luna. | Sumber: Android Authority
Amazon menggunakan sistem channel pada Luna. | Sumber: Android Authority

Saat ini, Luna hanya memiliki dua channel, yaitu Luna Plus dan Ubisoft Plus. Dihargai US$6 pr bulan, Luna Plus menawarkan 50 game, yang kebanyakan merupakan game indie. Meskipun begitu, Luna Plus juga menawarkan beberapa game AAA, seperti Control, Metro Exodus, GRID, dan The Surge 1&2. Sementara melalui Ubisoft Plus, Anda bisa memainkan game-game buatan Ubisoft. Namun, harga berlangganan dari channel ini lebih mahal, yaitu US$15 per bulan.

Saat ini, para pengguna Luna bisa memainkan game pada resolusi 1080p. Untuk itu, mreeka membutuhkan jaringan dengan kecepatan minimal 10Mbps walau 20Mbps masih menjadi kecepatan yang direkomendasikan. Amazon berencana untuk menambahkan fitur streaming game 4K pada 2021.

 

Tantangan Cloud Gaming

Tantangan terbesar untuk para penyedia layanan cloud gaming adalah koneksi. Pasalnya, untuk bisa bermain game dengan lancar menggunakan cloud gaming, Anda tidak hanya memerlukan jaringan internet yang cepat, tapi juga berlatensi rendah. Bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat sekalipun, tidak semua orang bisa mendapatkan akses ke jaringan internet yang diperlukan untuk bermain menggunakan cloud gaming.

Kabar baiknya, jaringan 5G telah tersedia — setidaknya di luar sana. Jaringan 5G tidak hanya menawarkan kecepatan yang lebih tinggi, tapi juga latensi yang jauh lebih rendah. Di beberapa negara maju, jaringan 5G telah digelar. Sayangnya, proses penggelaran itu tidak secepat harapan, apalagi di era pandemi seperti sekarang.

Di Indonesia sendiri, jaringan 4G baru digelar secara nasional pada Desember 2015. Sementara untuk jaringan 5G, Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate mencanangkan untuk menggelar jaringan baru pada 2021. Masalahnya, Indonesia adalah negara kepulauan. Sudah jadi rahasia umum bahwa pembangunan jaringan telekomunikasi di Indonesia tidak merata. Untuk pembangunan jaringan 5G sendiri, pemerintah berencana untuk memprioritaskan kawasan pariwisata, industri, dan kota mandiri, menurut laporan Kompas.

5G dianggap akan membantuk adopsi cloud gaming. | Sumber: Deposit Photos
5G dianggap akan membantuk adopsi cloud gaming. | Sumber: Deposit Photos

Selain koneksi, masalah lain yang harus dihadapi oleh penyedia cloud gaming adalah harga. Penyedia layanan cloud gaming harus bisa mematok harga yang pas: cukup tinggi sehingga mereka tidak rugi, tapi juga cukup terjangkau untuk menarik minat para gamer. Untungnya, harga game AAA terus naik. Saat ini, harga game AAA berkisar di rentang Rp500 ribu sampai Rp1 juta.

“Jika harga game AAA terus naik, menjadi US$70-80 per game, layanan cloud gaming akan sangat menarik bagi orang-orang yang tidak bisa terus membeli game-game baru dari franchise populer, seperti Call of Duty,” kata Lead Analyst, Juniper Research, James Moar pada Polygon. Juniper Research adalah perusahaan riset asal Inggris yang telah melacak data tentang layanan digital, termasuk cloud gaming, sejak 2001.

Lebih lanjut, Moar menjelaskan, jika layanan cloud gaming mengharuskan para penggunanya untuk membeli game sendiri — seperti di Stadia atau GeForce Now — maka biaya berlangganan harus ditekan. Dia memperkirakan, untuk menarik para pelanggan, biaya berlangganan cloud gaming setiap bulan sebaiknya tidak lebih dari biaya berlangganan Netflix. Alasannya, dia mengungkap, jumlah game yang bisa seseorang mainkan dalam sebulan jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah film yang bisa dia tonton. Sebagai referensi, di Indonesia, biaya berlanggan Netflix ada di rentang Rp54 ribu sampai Rp186 ribu.

Lalu, bagaimana jika harga layanan cloud gaming tak bisa ditekan? Penyedia cloud gaming bisa menawarkan game eksklusif. Menyediakan game eksklusif bukan strategi baru di dunia game. Sony juga menggunakan taktik ini untuk mendorong penjualan PlayStation. Dan tampaknya, baik Google maupun Amazon menyadari hal ini. Karena itulah, Google membuat Stadia Games & Entertainment pada November 2019. Amazon juga masih kukuh untuk membuat game sendiri.

Sayangnya, membuat game tidak mudah. Buktinya, meskipun dikabarkan telah menggelontorkan hampir US$500 juta per tahun, divisi gaming Amazon masih mengalami berbagai masalah. Salah satu game yang hendak mereka buat, Crucible, bahkan berhenti dikembangkan. Sementara itu, Google bahkan menutup studio game mereka, Stadia Games & Entertainment (SG&E).

Jade Raymond juga keluar dari Stadia. | Sumber: 9to5Google
Jade Raymond juga keluar dari Stadia. | Sumber: 9to5Google

Melalui blog resmi Stadia, Phil Harrison, Stadia GM dan Vice President mengungkap bahwa alasan Google menutup SG&E adalah karena membuat game membutuhkan uang dan waktu lebih banyak dari yang mereka kira dan Google ingin fokus pada pengembangan teknologi di Stadia. Selain mengumumkan akan penutupan SG&E, Harrison juga mengonfirmasi bahwa Jade Raymond, yang ditunjuk sebagai Vice President dketika SG&E dibentuk pada 2019, telah meninggalkan Stadia. Meskipun begitu, Harrison meyakinkan, Google masih akan terus mengembangkan Stadia. Mereka juga akan terus membantu para developer dan publisher untuk dapat memasukkan game mereka di Stadia.

“Kami tetap berkomitmen pada cloud gaming dan kami akan melanjutkan usaha kami berperan serta dalam industri ini,” ujar Harrison, menurut laporan Polygon. “Fokus kami tetap untuk membuat platform terbaik untuk para gamer dan menyediakan teknologi terhebat bagi rekan-rekan kami sehingga kami bisa menawarkan layanan cloud gaming ke semua orang.”

 

Potensi Cloud Gaming di Indonesia?

Membeli satu set PC gaming seharga Rp30 jutaan memang bukan tugas yang mudah buat mayoritas gamer di Indonesia — apalagi kebanyakan gamer di Indonesia bermain game di mobile yang membutuhkan ‘mesin’ yang lebih murah. Membeli PS5 ataupun Xbox Series S|X  pun juga terhitung lebih mahal ketimbang membeli ponsel — mengingat console memang hanya bisa berfungsi sebagai mesin gaming semata. Apalagi dengan kelangkaan barang sekarang ini (GPU ataupun konsol), yang punya uang pun jadi malas membeli barang jika harganya tak masuk akal.

Cloud gaming sebenarnya bisa menjadi solusi atas semua masalah tadi. GPU langka gara-gara harga Bitcoin naik? Anda tak perlu pusing rebutan GPU dengan para miner. Pengeluaran Anda untuk bermain game juga bisa lebih terjangkau karena ibaratnya bisa ‘dicicil’. Anda tak perlu menyediakan uang belasan juta untuk sebuah GPU kelas atas. Apalagi jika biaya berlangganan cloud gaming bisa lebih rendah ataupun setara dengan Netflix ataupun Disney+.

Mari kita coba hitung-hitungan sedikit. Harga berlangganan Disney+ adalah Rp199 ribu sebulan. Sedangkan paket Netflix yang paling mahal ada di Rp186 ribu sebulan. Biar gampang, anggaplah harganya Rp200 ribu sebulan. Harga RTX 3070, kalau normal, mungkin mencapai Rp9 jutaan. Jadi, jika Anda menyisihkan uang Rp200 ribu sebulan (harga langganan streaming) untuk bisa membeli RTX 3070,  Anda butuh waktu 45 bulan alias hampir 4 tahun. Itu Anda belum bisa bermain game karena baru beli GPU saja.

Jika memang benar langganan cloud gaming bisa setara dengan langganan streaming video premium, akan ada banyak sekali gamer di Indonesia yang bisa menikmati game-game AAA — bukan yang Free-to-Play. Buktinya, ada 2,5 juta pelanggan berbayar untuk Disney+ dan 850 ribu pelanggan Netflix di Indonesia.

Dengan UMP Jakarta terbaru yang sebesar Rp4,4 juta saja, membayar biaya langganan Rp200 ribu per bulan untuk hobi/hiburan memang masih masuk akal. Namun, memiliki console ataupun PC gaming belasan juta atau malah puluhan juta memang jadi tidak masuk akal dengan UMP tadi — kecuali memang tiap hari makan nasi kecap. Karena itu tadi, potensi pasar cloud gaming (andai harganya sama dengan layanan streaming film) sebenarnya sangat besar — apalagi di Indonesia ada lebih dari 100 juta orang yang menggunakan smartphone di 2018.

Sayangnya, permasalahan soal koneksi internet di Indonesia memang seperti benang kusut yang mungkin baru bisa terurai ketika para pengambil kebijakan di masa depan lebih peduli dengan kemajuan teknologi ketimbang soal moralitas. Pemerataan infrastruktur juga jadi PR besar dan berat mengingat Indonesia adalah negara kepulauan. Belum lagi aturan main soal bisnis layanan internet di Indonesia juga belum kondusif untuk menyuburkan kompetisi dagang — jika melihat fenomena dominasi layanan internet kabel di tanah air.

Cloud gaming sendiri, meski tidak butuh perangkat high-end, tetap butuh koneksi internet kelas atas karena butuh latency rendah dan bandwith besar. Biasanya kedua hal tersebut dibutuhkan di dua layanan yang berbeda. Untuk bermain game online, misalnya, tidak butuh bandwith besar namun Anda butuh latency/ping yang kecil agar bisa nyaman bermain. Sebaliknya, jika Anda streaming video, Anda tak butuh latency rendah namun bandwith yang besar. Cloud gaming butuh keduanya, yang saat ini mungkin hanya bisa ditawarkan oleh ISP macam Biznet, MyRepublic, CBN, atau yang sekelas.

ISP untuk GSM (koneksi 4G misalnya) ataupun yang masih pakai FUP, tentunya tidak ideal digunakan untuk cloud gaming karena Anda akan terlalu boros dengan kuota data yang sangat terbatas. Dengan demikian, potensi cloud gaming di Indonesia memang nyaris nol besar. Meski potensi pasarnya besar, hal-hal semacam infrastruktur ataupun mindset para pengambil kebijakan bukan perkara yang mudah diselesaikan.

 

Kesimpulan

Salah satu alasan mengapa masyarakat bersedia mengadopsi teknologi baru — seperti smartphone misalnya — adalah karena teknologi itu memudahkan kehidupan mereka. Pertanyaannya, kemudahan apa yang ditawarkan oleh cloud gaming? Salah satunya adalah menurunkan biaya yang seseorang keluarkan untuk bisa bermain game. Dengan cloud gaming, Anda tidak perlu lagi merakit PC gaming atau membeli laptop gaming dengan harga selangit. Anda bisa menggunakan laptop kuliah atau laptop kerja Anda untuk bermain game. Dan semakin banyak jumlah gamer, industri game akan semakin berkembang. Buktinya, mobile game kini memberikan kontribusi sebesar hampir 50% pada total industri game.

Kemudahan lain yang ditawarkan oleh cloud gaming adalah Anda akan bisa memainkan game di manapun. Memang, sekarang, para gamer sudah bisa bermain mobile game di smartphone mereka. Namun, para gamer AAA tentu tahu bagaimana kualitas game di ponsel. Jika mereka ingin memainkan Grand Theft Auto V atau The Witcher 3, mereka masih harus menggunakan PC, konsol, atau laptop gaming. Cloud gaming membuka kemungkinan bermain game-game berat di laptop kentang atau bahkan perangkat mobile.

Sayangnya, cloud gaming masih punya satu tantangan besar, yaitu jaringan internet. Di negara berkembang seperti Amerika Serikat, kecepatan rata-rata internet mencapai 50Mbps. Walaupun, sama seperti di Indonesia, pembangunan infrastruktur internet di negeri itu tidak merata. Di beberapa kota, seperti Bayside, New York dan Longmont, Colorado, kecepatan internet bisa mencapai 100Mbps. Sementara di beberapa kota lain, seperti Sylvia, North Carolina dan Stowe, Vermont, kecepatan internet bisa hanya mencapai 6Mbps.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Asia Quest Indonesia, kecepatan internet rata-rata di Indonesia hanyalah 6,65 Mbps. Kecepatan internet puluhan Mbps hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang tinggal di kota besar dengan infrastruktur internet yang memadai. Jadi, tampaknya Indonesia tidak akan menjadi target market dari para penyedia platform cloud gaming dalam waktu lamaaaaaaaaaaa.

Sumber header: Windows Central