Demand pengguna tak lagi terbatas pada konten berbasis video dan gambar / Pexels

Popularitas Podcast Tandai Kebangkitan Industri Konten Berbasis Suara di Indonesia

Konten berbasis suara sebetulnya sudah ada sebelum zaman internet, yakni melalui radio. Seiring berkembangnya kecanggihan teknologi, kini konten berbasis suara berkembang menjadi konten on-demand yang dapat diakses melalui platform.

Salah satunya adalah podcast atau siniar web yang mulai populer dalam beberapa tahun terakhir ini. Podcast adalah konten berseri berbasis suara yang dapat diunduh pada perangkat. Istilah podcast atau kombinasi dari kata “iPod” dan “broadcasting” lahir seiring dengan kelahiran perangkat besutan Apple ini pada 2001. Mengacu data Podcast Hosting, terdapat 1,75 juta siaran podcast dengan 43 juta episode per Februari 2021 di dunia.

Kini konten berbasis suara menjelma menjadi konten on-demand dan dapat dinikmati di berbagai platform, seperti Apple Podcast, Spotify, Google Play Music, hingga Anchor. Tak cuma on-demand, platform berbasis audio Clubhouse juga mulai populer di kalangan pengguna di Indonesia.

Clubhouse sebetulnya adalah aplikasi media sosial berbasis audio-chat yang memungkinkan penggunannya untuk berdiskusi berbagai macam topik dengan pengguna lain. Bersifat eksklusif, aplikasi ini seperti menghadirkan format podcast, tetapi secara live. Lalu, bagaimana penerimaan pasar Indonesia terhadap konten berbasis suara?

Podcast mulai kuasai lanskap media

Berdasarkan informasi yang kami kutip dari sejumlah sumber, ada beberapa alasan mengapa podcast mulai mendominasi lanskap media di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Pertama, Podcast hadir dengan format yang memungkinkan pendengar melakukan aktivitas lain atau multitasking. Situasi ini berbeda apabila menikmati konten berformat video, e-book, atau gambar,

Tentu bagi konsumen, format ini dinilai pas untuk mengisi kehidupan mereka yang sibuk. Keragaman konten podcast juga dinilai punya kemampuan untuk membangun komunitas yang memiliki preferensi sama.

Faktor-faktor  tersebut dinilai relevan bagi pasar Indonesia. Mengacu riset Podcast User Research in Indonesia di 2018, variasi konten dan fleksibilitas menjadi dua alasan besar mengapa konsumen mendengarkan konten audio berbasis digital ini.

Sumber Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial
Sumber Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial

Selain itu, kehadiran smartphone menjadi salah satu driven factor mengapa podcast membuka jalan dari media khusus menjadi media arus utama. Yang kita ketahui awalnya konten podcast memang hanya dapat diakses di media tertentu saja, seperti iPod, media player, dan dekstop/laptop.

Menurut riset Grand View Research, terbatasnya media untuk mengakses podcast saat itu, koneksi internet, dan ruang penyimpanan yang rendah, menghambat pertumbuhan industri ini. Kini kehadiran smartphone dengan koneksi internet dengan bandwith tinggi justru mulai mendorong kembali industri ini.

Tren platrform podcast lokal

Nilai pasar podcast global diestimasi mencapai $9,28 miliar pada 2019 dan diprediksi mencapai $11,7 miliar di 2020 menurut data Grand View Research. Di Indonesia, konten maupun jumlah pendengar masih dikuasai oleh platform asing, seperti Spotify dan Google Podcast.

Setidaknya demikian mengacu data Podcast User Research in Indonesia di 2018, di mana Spotify (52,02%) tercatat sebagai platform terpopuler untuk mendengarkan konten podcast. Kendati demikian, rupanya ada Inspigo yang masuk sebagai satu-satunya pemain lokal di jajaran 10 besar.

Sumber: Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial
Sumber: Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial

Ini menandakan awareness terhadap platform podcast lokal sudah mulai terbangun. Tren pertumbuhan podcast di Indonesia juga mendorong sejumlah pelaku bisnis untuk mengembangkan platform sejenis, misalnya Noice dan PodMe.

Inspigo diluncurkan pada Oktober 2017, tetapi platformnya baru dirilis ke publik pada April 2018. Adapun, Inspigo menawarkan konten audio yang dikemas secara beragam, mulai dari konten on-demand, talkshow, dan sesi interaktif.

Sementara Noice meluncur pada 2018 di bawah naungan PT Mahaka Radio Digital, perusahaan joint venture bentukan PT Mahaka Radio Integra Tbk (MARI) dan PT Quatro Kreasi Indonesia. Quatro merupakan konsorsium empat perusahan rekaman di Indonesia, yakni Musica, Aquarius, My Music, dan Trinity.

Terakhir, PodMe dikembangkan oleh konglomerasi media, yakni Media Group. Platform PodMe dirilis pada Oktober 2019 lalu dan menawarkan sejumlah konten audio on-demand, seperti komedi, bisnis, hingga program Kick Andy.

Presiden Direktur Mahaka Radio Adrian Syarkawie mengungkap, Noice yang awalnya dikembangkan sebagai platform radio streaming dinilai tak cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar yang terus berkembang. Padahal, konten on-demand dinilai sedang berkembang pesat di sejumlah negara, termasuk Indonesia.

“Kalau hanya dari radio streaming saja, kelihatannya [kurang] untuk aplikasi digital. Terlebih orang masih bisa mendengar radio dari media lain. Jadi, kami melihat ke depan apa yang menarik bagi konsumen lewat aplikasi ini, dan maka itu kami masuk ke konten podcast,” ujarnya kepada DailySocial.

Tak hanya itu, konten audio on-demand juga mulai dilirik investor sebagai salah satu tren bisnis digital menarik ke depan. Misalnya, CEO dan Co-founder Kopi Kenangan Edward Tirtanata yang baru setahun belakangan merangkap sebagai angel investor lewat fund miliknya, yakni Kenangan Kapital, dikabarkan bakal berinvestasi di salah satu platform podcast lokal.

Meski belum mengonfirmasi kabar ini, Edward sempat menyebutkan dalam wawancara dengan DailySocial, bahwa Indonesia masih membutuhkan disrupsi lebih banyak di segmen consumer tech. Menurut pengamatannya, produk/layanan segmen ini di Indonesia masih terbilang underrated dari sisi teknologi.

Kerikil saat monetisasi

Terlepas dari itu semua, apapun formatnya, konten on-demand akan selalu bermuara pada satu tantangan besar, yakni bagaimana cara memonetisasi model bisnis. Umumnya, konten on-demand mengandalkan dua skema, yakni melalui iklan (ads) dan sistem berlangganan (subscription).

Opsi kedua memang menarik bagi penyedia platform untuk meraup pendapatan. Selama pelanggan dapat melihat/menikmati value yang diberikan, mereka akan terus membayar. Sayangnya, opsi ini dinilai masih sulit untuk pasar Indonesia yang punya willingness to pay yang rendah.

Bahkan Spotify yang sudah go public pun sampai harus bertaruh dengan menjadikan konten podcast sebagai cara untuk menuju profitabilitas. Jika mengacu data Spotify di Indonesia, tampaknya strategi tersebut masuk akal.

Spotify mencatat bahwa Indonesia mendominasi konsumsi podcast terbanyak se-Asia Tenggara pada 2020. Sebanyak 20% dari total pengguna Spotify di Indonesia mendengarkan podcast setiap bulan, dan jumlah tersebut lebih tinggi dari persentase rata-rata global.

Head of Studios Spotify untuk Asia Tenggara Carl Zuzarte mengatakan bahwa pendengar podcast Indonesia memiliki karakteristik tersendiri, yakni mayoritas menyukai konten yang bisa didengarkan di malam hari sebelum tidur. Konsumsinya meningkat dalam beberapa bulan terakhir terutama saat PSBB.

Sementara dari sisi podcaster, Co-founder Box2Box ID Tio Prasetyo Utomo juga mengakui adanya tantangan monetisasi. Menurutnya, saat ini podcaster masih mengandalkan pendapatan dari konten yang disponsori oleh brand. Di sini, klien umumnya meminta seluruh episode disiarkan untuk promosi mereka sendiri, mirip dengan radio.

“Bedanya adalah, jika dibandingkan radio, kami dapat memberikan data yang lebih akurat, seperti jumlah pendengar secara real-time dan jangkauan kepada klien,” ujar Tio sebagaimana dikutip dari krAsia.

Menurut Tio, podcaster bisa mendulang penghasilan tambahan dengan model lain, misalnya menjadi pembicara di acara offline atau menyebarkan materi yang disiarkan di platform podcast untuk kampanye berbayar.