Startup dengan pendekatan "hijau" atau ramah lingkungan mulai bermunculan, didukung pendanaan dari investor, terutama impact investor

Momentum Startup Hijau Naik Panggung

Langit biru, udara yang lebih segar, kembali memasak di dapur, kembali berolahraga adalah sekian pertanda yang dialami banyak orang sejak pandemi. Meski sekarang kondisi tersebut tidak sepenuhnya valid karena sudah ada pelonggaran di banyak sektor, namun ada gambaran bahwa timbul kesadaran untuk mulai hidup sehat.

Muncul kesempatan bagi usaha-usaha yang peduli pada lingkungan dikenali banyak orang. Meski jumlah startup yang memakai pendekatan hijau atau environmental, social, and governance (ESG) masih terbatas, menurut Managing Director Angel Investor Network Indonesia (ANGIN) David Soukhasing, saat ini terjadi tren positif kehadiran usaha berdampak di ekosistem. Investasi berdampak (impact investment) pun bermunculan, sebagaimana yang juga dibahas di laporan DSInnovate tentang agritech di Indonesia.

Mayoritas mereka hadir untuk mendukung kewirausahaan, memberikan dukungan yang lebih spesifik untuk kelompok wirausaha sosial tertentu, misalnya program akselerator fokus energi, fokus pengelolaan limbah program akselerator, atau dukungan wirausaha yang berfokus pada area geografis tertentu.

Bagi Soukhasing, faktor tersebut mampu mengukur kesiapan Indonesia terhadap investasi berdampak. Indonesia butuh ekosistem menyeluruh untuk siap menyambut investor berdampak. Tidak hanya permodalan, pada dasarnya dibutuhkan pipeline yang kuat dari perusahaan/startup.

“Salah satu ukuran kematangan adalah keseluruhan nilai keanekaragaman permodalan, keragaman investor, tahapan yang berbeda, jenis uang yang berbeda, dan semua fungsi pendukung. Dari segi fungsi pendukung, seperti inkubator, akselerator, co-working space, Indonesia sebenarnya cukup berkembang. Ada cukup banyak jaringan pipeline dan investor ada di sini,” terang Soukhasing kepada DailySocial.

Ia melanjutkan, “Namun kita perlu lebih banyak tindakan, keragaman permodalan diperlukan untuk benar-benar berbicara tentang ekosistem yang matang. Aspek kedewasaan lainnya adalah aspek kebijakan, bagaimana regulasi dikembangkan untuk berdampak pada investasi dan kewirausahaan, dan hal ini masih kurang di Indonesia.”

Menurut laporan ANGIN bertajuk Investing in Impact in Indonesia, pada tahun 2013 konsep investasi berdampak masih sangat jarang di Indonesia. Namun sekarang makin familiar karena mulai ada VC yang membuat fund khusus untuk investasi di sektor berdampak.

Ada sejumlah investor berdampak yang telah berinvestasi di Indonesia, baik itu pemain lokal dan asing. Beberapa telah memiliki tim representatif di Indonesia. Totalnya mencapai 66 investor, dengan rincian 61 dari fund luar negeri dan lima sisanya dari Indonesia.

Sementara itu, investor mainstream yang telah mengucurkan sejumlah dananya untuk sektor berdampak jumlahnya jauh lebih banyak, hampir dua kali lipatnya sebanyak 107 investor. Dengan rincian 32 investor lokal dan 75 investor dari luar negeri.

Fokus dari tiap investor berdampak juga berbeda. ANGIN mencatat secara tematik, ada 10 jenis usaha berdampak yang menjadi fokus masing-masing, terbagi menjadi inklusi keuangan, kehutanan, energi bersih, kemiskinan, gender lens, circular economy, perikanan, iklim, agrikultur, dan media. Masing-masing tema ini mencerminkan peluang dan tantangan di Indonesia.

Apa yang dilakukan lembaga non-profit global New Energy Nexus mungkin bisa menjadi contoh konkret di lapangan. Mereka tahu potensi energi terbarukan belum tergali dengan maksimal di Indonesia, memancing mereka untuk hadir di Indonesia sejak 2018 melalui program inkubasi dan akselerasi dan hackhaton yang rutin diadakan.

Sampai saat ini, New Energy Nexus sudah menyelesaikan tujuh angkatan program inkubasi dan akselerasi, serta membimbing lebih dari 40 startup terbarukan dalam mengasah strategi bisnis dan inovasi mereka. “Kami tidak hanya berikan dukungan capacity building tapi juga ada pendanaan untuk memberikan dukungan secara menyeluruh,” ucap Program Director New Energy Nexus Indonesia Diyanto Imam.

Total hibah yang telah diberikan mencapai Rp650 juta sampai Maret 2021, sementara pendanaan berbentuk convertible notes mencapai Rp3,5 miliar. Salah satu portofolionya adalah PT Bina Usaha Lintas Ekonomi (BLUE), startup energi terbarukan yang menyediakan marketplace Warung Energi dan solusi B2B energi surya untuk komersial, industrial, maupun tersentralisasi.

Berbeda dengan filantropi

Soukhasing menerangkan, persamaan mendasar antara filantropi dan investasi berdampak adalah keduanya sama-sama memiliki “niat dampak (impact intention)” dan “pengukuran dampak (impact measurement)”. Namun kita dapat membedakannya berdasarkan dua faktor, yaitu prioritas dan ekspektasi keuntungan finansial.

Filantropi jelas memiliki tujuan sosial dan lingkungan, menempatkan investasi yang diberikan sebagai hibah sehingga tidak mengharap imbal hasil. Tidak seperti filantropi, investor berdampak memprioritaskan dampak dan keuntungan.

Dengan demikian, investor berdampak mengharapkan keuntungan finansial. Akan tetapi, ada investor yang mengadopsi pendekatan keduanya yang disebut venture philanthropy.

Pendekatan hibrida ini mengambil sisi terbaik dari kedua sisi. Keuntungan yang didapat adalah penciptaan dampak sosial dan ekspektasi keuntungan finansial. Investor dampak menilai peluang dengan cara yang berbeda dari filantropis. “Penting untuk diperhatikan bahwa tidak setiap dampak (yang sering dibahas oleh para filantropis) selalu cocok untuk investasi berdampak dan sebaliknya.”

Cara monetisasi dan tantangan usaha berdampak

Menariknya, saat ini usaha berdampak banyak yang menempatkan diri sebagai startup, alias memanfaatkan pendekatan teknologi untuk menjangkau para target penggunanya, melakukan monetisasi, dan menerima investasi dari pihak ketiga.

Salah satu contohnya adalah Siklus yang fokus mengurangi sampah plastik. Siklus menyediakan pos pengisian isi ulang mobile untuk sampo, deterjen, hingga cairan pembersih lantai. Satu jerigen sampo yang dibawa petugas diklaim mampu menghemat biaya pembuatan sebanyak 2.500 sachet. Konsumen dapat membeli sedikit atau banyak isi ulang dengan harga lebih murah.

Model bisnis yang dimanfaatkan Siklus adalah B2C karena mereka melakukan belanja modal dan membutuhkan sejumlah pesanan per stasiun yang sulit dilakukan jika memakai B2B2C.

“Nilai jual kami adalah bahwa kami lebih murah dan mengirimkan ke rumah konsumen, cocok untuk mereka yang sensitif terhadap harga. Namun, kami juga melihat bahwa ada segmen konsumen yang terus bertumbuh yang peduli dengan keberlanjutan,” terang Founder dan CEO Siklus Jane von Rabenau.

Fokus yang sama, tapi dengan pendekatan yang berbeda, diambil Rekosistem. Mereka fokus pada daur ulang sampah anorganik dengan membuat titik penampungan atau menghampiri konsumen dengan armada logistik yang disediakan dipesan melalui aplikasi.

Setiap sampah anorganik yang diterima akan diproses kembali menjadi material daur ulang, energi, dan material bahan bangunan ramah lingkungan. Sementara sampah organik diolah menggunakan biodigester menjadi pupuk cair dan biogas yang akan diberikan kepada konsumen.

Di sektor lainnya ada nafas yang fokus menyediakan data kualitas udara lewat aplikasi. Kesadaran masyarakat Indonesia terhadap baik buruknya kualitas udara belum menjadi topik umum bagi keseharian banyak orang. Kini selain bermain di bidang aplikasi, nafas merambah produk air purifier berbasis smart home bernama aria. Co-Founder & CEO nafas Nathan Roestandy menerangkan, tantangan terbesar bagi startup seperti nafas, selain meningkatkan awareness di pasar, adalah akses untuk mendapat pabrik berkualitas baik untuk kemudahan proses manufakturnya.

“Manufaktur di Indonesia masih didominasi brand elektronik besar yang mampu setup pabrik besar. Resources [sebesar itu] itu tidak accessible bagi startup. Akan tetapi kami punya pengalaman untuk bangun supply chain buat mengatasi hal tersebut,” kata Nathan.

Produk aria memang secara kasat mata tidak berbeda dengan produk keluaran brand lain. Nathan mengklaim, aria memiliki sensor terhubung dengan nafas untuk monitor kualitas udara di dalam ruangan yang paling aktual. Kelebihan tersebut yang ditawarkan ke pasar.

Soukhasing menambahkan, tantangan usaha berdampak cukup beragam dan tidak bisa dibandingkan secara apple-to-apple dengan jenis usaha lainnya. Ia mencontohkan sektor green energy memiliki karakteristik dan profil pemangku kepentingannya sendiri yang tidak dapat dibandingkan dengan jenis startup lainnya.

Membahas tentang “daya tarik” juga memiliki arti yang berbeda, karena startup energi hijau juga terdiri dari berbagai vertikal — apakah mereka bekerja dengan rumah tangga / pemukiman perkotaan, penduduk pedesaan, atau perusahaan B2B.

“Jadi, kami akan mengatakan bahwa kami tidak dapat mengukur startup energi hijau dengan metrik kesuksesan yang sama yang biasanya kami miliki untuk startup biasa. Sebab ini akan membawa konteks lain untuk masalah yang dihadapi oleh para startup energi hijau, yaitu menemukan investor yang tepat dan sistem pendukung yang memahami sektor mereka dengan baik.”

Sebagian besar investor yang tidak mengenal startup energi hijau mungkin menganggap model bisnisnya adalah modal berat (belanja modal tinggi), membutuhkan jangka waktu yang lebih lama, dan membutuhkan lebih banyak upaya untuk menembus dan mendidik pasar yang lebih akrab dengan solusi yang ada (misalnya energi berbasis fosil). Oleh karena itu, startup memiliki pekerjaan rumah “mengedukasi” pelanggan maupun investor, dengan didukung program atau pelaku ekosistem lainnya.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian