GoTo, perusahaan merger dari Gojek dan Tokopedia, menjadi nama berikutnya yang disinggung Bursa Efek Indonesia untuk melantai setelah Bukalapak. Direncanakan aksi korporasi tersebut dapat terealisasi kuartal IV 2021. Kabar terbaru yang beredar, sebelum aksi korporasi tersebut diselenggarakan, GoTo melakukan penawaran pra-IPO untuk kalangan institusi dan VC secara terbatas.
Nilai yang diincar tak main-main antara $1 miliar-$2 miliar (sekitar Rp15 triliun-Rp29 triliun) untuk penawaran umum saham perdana di Indonesia dan Amerika Serikat. Lantas, mengapa perlu pra-IPO?
Menurut Investopedia, pra-IPO adalah penawaran saham dalam jumlah besar sebelum dicatatkan di bursa publik. Pembeli biasanya perusahaan ekuitas swasta, hedge fund, dan lembaga lain yang bersedia membeli saham dalam jumlah besar. Karena besarnya investasi dan risiko yang ada, biasanya pembeli saham pra-IPO mendapat diskon dari harga yang tercantum dalam IPO.
Disebutkan juga, pembelian ini biasanya dilakukan tanpa prospektus dan tanpa jaminan bahwa listing akan terjadi. Dari sisi perusahaan, pra-IPO adalah strategi mengimbangi risiko saat IPO nanti apabila antusiasme publik tidak seperti yang diprediksi. Oleh karenanya, ganjaran harga diskon inilah yang menjadi kompensasi atas ketidakpastian tersebut.
Perusahaan, mau bagaimanapun, pasti tidak ingin para pembeli pra-IPO ini langsung menjual semua saham ketika harga saham melonjak begitu melantai bursa. Untuk mencegah hal ini, periode penguncian (lock-up period) umumnya disertakan dalam skema pra-IPO.
Pra-IPO merupakan hal baru bagi Indonesia. Berkaca dari pengalaman perusahaan teknologi raksasa Alibaba, sebelumnya mengambil langkah ini sebelum melantai di NYSE sebagai $BABA pada September 2014.
Dalam hajatan akbar tersebut, Alibaba mengundang investor kelas kakap dan wealthy private individu. Salah satu namanya adalah Ozi Amanat, venture capitalist asal Singapura. Ia membeli saham pra-IPO Alibaba sebesar $35 juta dengan harga per lembar saham $60.
Pada hari pertama melantai di publik, BABA mencatatkan harga per lembar saham sebesar $90. Kemudian pada November 2020, harganya melambung ke level $276.
Karena ada risiko ketidakpastian inilah membuat GoTo mantap untuk menggelar pra-IPO. Apabila mengacu pada Investopedia kembali, aksi bertujuan untuk mendapatkan dana segar dalam waktu cepat dan nominal besar. Pun bila langkah IPO GoTo sukses besar, yang diuntungkan tentu semua pihak.
Terlebih pada beberapa tahun sebelumnya, dalam sebuah kesempatan, CEO Tokopedia William Tanuwijaya sempat menyinggung keinginannya untuk melakukan pra-IPO.
Kawal antusiasme hingga akhir tahun
Kendati label “perusahaan tech-unicorn pertama yang melantai di bursa” sudah diambil Bukalapak, mereka harus menyiapkan strategi serangan balik (counter attack) yang harus melebih dari yang Bukalapak tawarkan. Toh dari segi kapitalisasi pasar, GoTo memimpin dengan angka $18 miliar yang melampaui BUKA sebesar $6,05 miliar.
Tidak hanya GoTo, perusahaan teknologi lain yang berencana IPO, pasti akan menjadikan kesuksesan BUKA sebagai tolak ukur.
Pemberitaan Bukalapak yang begitu ramai, di satu sisi memang memunculkan dua kubu jenis investor. Mereka yang melihat rekam kinerja perusahaan dan mereka yang melihat potensi perusahaan ke depan. Kondisi inilah yang menjadi catatan lebih lanjut, bagaimana GoTo dapat membendung hal tersebut.
Seluruh pembelajaran dari BUKA ini tentunya menambah khazanah GoTo dalam mengatur strategi menjaga antusiasme publik. Ditambah lagi, biasanya akhir tahun itu pasar saham selalu diwarnai dengan tren bullish. Ibarat mendayung satu dua pulau terlampaui, GoTo ingin memastikan semua pihak senang dengan seluruh skenario yang dibuat.