Layanan Google Play Books kini sudah bisa dinikmati pembaca Indonesia. Sekilas ini merupakan kabar gembira bagi para penikmat baca buku. Sebagai sebuah media, buku bisa menjadi pusat ilmu pengetahuan atau hiburan. Alasan individu membaca pun menjadi beragam, termasuk pilihan untuk membaca buku secara konvensional (dalam bentuk fisik) ataupun melalui e-book.
Bagi saya sendiri, e-book merupakan sebuah keajaiban. Dimulai saat penulisan skripsi jaman kuliah dulu, e-book memudahkan saya dalam mengerjakan penulisan dan mencari buku referensi penulisan tugas akhir, tanpa harus datang dan menghabiskan waktu ke perpustakaan atau mengaduk-ngaduk toko buku. Beberapa buku teori yang dibutuhkan saat itu tidak tersedia di toko buku, tetapi dengan mudah bisa ditemukan versi e-book-nya.
Untuk memuaskan hasrat akan novel klasik, e-book pun seolah menjadi jawaban dari doa. Buku-buku klasik mulai dari Shakepeare, Sir Arthur Conan Doyle, Emily Bronte dan masih banyak lagi tersedia dalam versi e-book dengan segudang pilihan. Cepat, mudah dan lebih ekonomis. Belakangan, semakin banyaknya koleksi buku secara fisik juga membawa masalah dalam penyimpanan. Buku fisik sangat memakan ruang. Dengan e-book, semua tersimpan rapi dalam tablet dan smartphone.
Meski saya sendiri menganggap e-book sebagai sebuah berkah, sejak kemunculan e-book hingga saat ini sambutannya tidak luar biasa di Indonesia. E-book belum sampai membuat perusahaan penerbit buku khawatir atau tutup seperti di luar negeri sana. Intinya, di Indonesia e-book sendiri tetap belum bisa menggantikan buku secara fisik. Mayoritas masyarakat Indonesia memang masih memilih membaca buku konvensional dibanding melalui layar perangkat mobile.
“E-book memang diakui punya kelebihan mudah diakses di mana saja dan kapan saja, terutama buat pekerja yang mobile seperti saya. Saya pribadi lebih menyukai membaca buku secara konvensional, lebih personal dan lebih fokus, (serta) tidak terganggu membuka aplikasi lain yang ada di gadget,” ungkap Shanty Heidi, aktivis NGO Dian Desa Jogja.
Selain masalah pengalaman membaca yang tak tergantikan, ternyata tak semua orang nyaman berlama-lama menatap layar monitor. “Membaca melalui layar smartphone tidak nyaman, hurufnya kecil-kecil. Memang bisa di-zoom (in) tapi membutuhkan kelincahan tangan. Intinya butuh usaha ekstra. Sebagai pembaca, saya berharap Google Play Books punya koleksi buku yang beragam. Sering sekali saya ingin baca buku yang sudah tidak keluar cetakannya atau dilarang masuk sini, jadi akhirnya saya membacanya versi e-book,” ujar Ika Virginia yang merupakan jurnalis media online di Deckkercenter.
Sebagian orang telah menjadi maniak e-book tentu saja berharap banyak terhadap kehadiran Google Play Books ini.
“E-book itu ajaib, apalagi kalau untuk membaca saat di perjalanan. Teman macet yang menyenangkan. Soalnya kalau harus bawa-bawa buku kemana-mana (itu) berat. Saya sih berharap Google Play Books lebih banyak menyediakan koleksi buku yang beragam, pasti lebih menyenangkan,” pendapat Rai Rahman, jurnalis gaya hidup.
Berdiskusi lebih lanjut dengan mereka bertiga, dapat disimpulkan bahwa memang belum ada yang bisa mengantikan kepuasan dalam membaca buku secara konvensional. E-book sendiri menjadi alternatif membaca sebatas situasinya memungkinkan (seperti dalam perjalanan) atau saat buku yang dicari lebih mudah ditemukan dalam versi e-book. Pada akhirnya e-book cuma sekedar kompromi yang bisa mengurangi kepuasan pengalaman membaca buku.
“Membaca buku (secara fisik) tetap menjadi pilihan pertama. E-book hanya sebatas judul-judul tertentu yang bikin penasaran dan ditungguin kelamaan masuk di sini,” lanjut Ika.
Terlepas dari simpelnya bentuk buku yang didigitalisasikan serta kemudahan didapat, Retta Oktaviani, Senior Editor Indonesia Tatler, justru tak keberatan membawa buku kemana-mana. Ia mengatakan saat tugas luar negeri pun ia akan menyertakan satu buku bersamanya. Meski di Jakarta sekalipun yang macet, ia lebih nyaman membaca dengan menggenggam buku ketimbang gadget.
Hal yang sama diakui oleh Barbara Noira, PNS di Departemen Luar Negeri yang menyangsikan Google Play Books bakal sukses di sini. Noira menuturkan bagi teman-teman di sekelilingnya yang bisa dikategori hardcore dalam soal membaca buku, mereka tidak menyukai e-book. Mereka bahkan kontra terhadap hadirnya e-book.
Menurut Noira, meskipun orang di lingkungannya (terbiasa) mobile sekalipun, mereka lebih rela membawa buku yang berat kemana-mana. “Saat berpergian, teman-teman saya yang gila baca lebih rela packing atau bawa beberapa buku yang berat, ketimbang membaca (via) e-book. Jadi menurut saya Google Play Books tidak akan terlalu berpengaruh di sini.”
Noira sendiri mengakui bahwa ia termasuk penggemar e-book, karena baginya e-book sangat praktis. Ia bisa menyimpan buku kesukaan dalam smartphones dan membacanya kapan saja. “Yang bikin kesal, e-book sering mengklaim kalau bisa memotong biaya produksi tanpa mencetak atau distribusi buku harusnya (harganya) lebih murah. Tapi malah harganya sama. Kalau seperti itu, akhirnya saya beli buku fisiknya saja sekalian.”
Satu lagi penggemar e-book, Kiky Rifqi, Sekretaris di PT. Penjaminan Kredit Daerah Kalimantan Timur, angkat bicara soal Google Play Books. “Kalau sebatas aplikasi buat belanja e-book sih sudah banyak. Nah keunggulan Google Play Books sendiri apa? Kalau bisa memberi layanan download free book itu baru lebih oke. Kalau tidak, menurut saya sama juga bohong,” ujar Kiky.
Sesungguhnya Google Play Books tidak melulu perlu dilihat dari kacamata negatif. Google Play Books jelas memberikan akses informasi yang lebih baik, termasuk kemudahan dalam mendapatkan buku dan harapan untuk meningkatkan minat membaca, seperti yang diungkapkan Aulia Halimatussadiah, CTO Nulis Buku,
”Saya senang sekarang Indonesia punya lebih banyak akses untuk mendapatkan beragam buku.Diharapkan ini akan merangsang minat baca dan menulis bagi generasi muda. Ini adalah momen yang penting bagi pembaca, penulis dan penerbit. Saya bahkan ingin mempelajari lebih lanjut untuk bisa berintegrasi dengan Google Play Books,”ungkapnya.
Google Play Books akan menghadapi tantangan yang cukup keras di pasar Indonesia. Pertama adalah minat baca yang masih rendah. Meski terjadi peningkatan yang signifikan pada pengguna smartphone di Indonesia, berapa banyak sih orang yang menghabiskan waktu menunggu atau mengisi waktu di perjalanan dengan membaca buku? Kebanyakan pengguna smartphone akan lebih mengisi waktu mereka berselancar di dunia maya atau asyik dengan layanan chat dan sosial media. Belum lagi habit/kebiasaan bagi orang-orang Indonesia yang hobi membaca, di mana mereka masih lebih nyaman dengan buku (dalam bentuk fisik) ketimbang e-book.
[ilustrasi foto: Shutterstock]