TaniHub melakukan perombakan bisnis dengan menghentikan kegiatan operasional di dua pergudangan (warehouse) miliknya di Bandung dan Bali sebagaimana pertama kali dilaporkan Katadata. Startup agritech ini juga menghentikan kegiatan jual-beli produk pangan di segmen Business-to-Consumer (B2C) yang melayani segmen rumah tangga.
Corporate Communication Manager TaniHub Bhisma Adinaya menyebutkan, penutupan tersebut merupakan bagian dari strategi penajaman lini bisnis perusahaan. TaniHub Group memiliki lini bisnis e-commerce (TaniHub), rantai pasokan (TaniSupply), dan modal usaha pertanian (TaniFund).
“Kami ingin mempertajam fokus dan meningkatkan pertumbuhan [bisnis] di segmen B2B (Horeca, UMKM, MT, dan mitra strategis). Dengan begitu, jumlah serapan hasil panen petani akan semakin meningkat,” tutur Bhisma kepada DailySocial.
Karena penghentian operasional ini, sejumlah karyawan ikut terdampak. Tidak diketahui jumlah pegawai yang dirumahkan oleh TaniHub. Berdasarkan pantauan DailySocial di laman LinkedIn, sejumlah eks pegawai TaniHub terlihat tengah mencari lowongan pekerjaan baru.
“Kami dapat pastikan bahwa seluruh hak karyawan terpenuhi dengan baik. Bahkan CEO kami, Pamitra Wineka, mengikuti proses pemenuhan hak karyawan ini,” tambahnya.
Meskipun demikian, pihak Tanihub belum merespons pertanyaan kami lebih lanjut terkait latar belakang perubahan strategi ini.
Tahun lalu, TaniHub menyebutkan transaksi produk pangan untuk rumah tangga mengalami lonjakan dua hingga tiga kali lipat per harinya. Untuk memenuhi permintaan ini, perusahaan mengaku situasi ini menjadi tantangan untuk mengimbangi pasokan dan ketersediaan pangan bagi konsumen di masa pandemi.
TaniHub Group mengklaim menjadi perusahaan agritech pertama di Indonesia yang mencetak GMV di atas Rp1 triliun dengan pertumbuhan gross revenue sebesar 639% secara tahunan (YoY).
Sejak beberapa tahun belakangan, TaniHub juga berupaya memperkuat jaringan distribusinya sehingga penyebaran produk pertanian dapat lebih merata. Dengan begitu, tantai pasok komoditas akan lebih efisien dan harga dapat terkendali.
Menurut catatan terakhir, TaniHub punya lima pusat distribusi di Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali. Rencananya, TaniHub akan menambah di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Tantangan pasar B2C
Managing Partner Tunnelerate Ivan Arie Sustiawan menilai bahwa persaingan agritech/e-grocery di segmen B2C secara umum sangat ketat. Situasi ini akan sulit bagi platform yang punya modal terbatas untuk subsidi di perang harga dan logistik. Menurut Ivan, kedua hal tersebut menjadi elemen penting untuk mempertahankan loyalitas pelanggan mengingat konsumen Indonesia cenderung menyukai promo/diskon.
Ia menilai, untuk memenangkan pasar agritech di B2, startup perlu membangun dan menerapkan model supply chain yang paling sustainable dan efisien dari hulu ke hilir. Mereka juga perlu memikirkan profitable assortment strategy bagi bisnisnya. “Don’t sell everything to everyone for the instant or quick commerce where you do the self-fulfillment,” tuturnya kepada DailySocial.
Di konteks TaniHub, perusahaan menyebut bahwa penajaman fokus bisnis di segmen B2B dapat membantu meningkatkan serapan hasil panen dari para petani lokal. Diasumsikan ada isu seputar logistik dan ketidakseimbangan permintaan dan jumlah pasokan yang ada di B2C yang mendorong pivot ini.
Berbeda dengan B2C, model B2B dianggap lebih stabil karena ada kepastian demand dan supply dengan pesanan dalam jumlah besar dan permintaan secara berkala. Contohnya permintaan bahan pokok segar ke industri restoran atau perhotelan.
Di segmen B2C, khususnya produk barang segar seperti buah dan sayuran, masyarakat Indonesia masih terbiasa berbelanja ke supermarket atau pasar tradisional agar dapat memilih sendiri barang yang diinginkan. Tantangan utama lainnya adalah bagaimana penyedia platform dapat memenuhi ekspektasi pengiriman dengan cepat untuk menjaga kualitas produk.
Dalam tulisan kami terdahulu, online grocery memang diprediksi punya masa depan cerah di tengah pertumbuhan adopsi digital dan konsolidasi antar-platform dan ritel yang membaik. Namun, hal ini mengacu pada pasar di kawasan Jabodetabek. Sementara di luar area ini, masih ada banyak PR yang harus divalidasi karena sulit untuk mengubah perilaku belanja ke online, terutama bagi kalangan ibu rumah tangga.
Terlepas dari potensi pasarnya, sektor agritech di Indonesia memang cukup berisiko, baik itu potensi gagal panen, akses permodalan, distribusi, hingga rantai pasokan. Berdasarkan catatan kami, ada beberapa startup P2P lending untuk petani yang tersandung kasus karena ada kegagalan pembayaran usaha. Kemudian, baru-baru ini, startup social commerce Chilibeli juga diberitakan telah menutup kegiatan operasionalnya secara sementara.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan meminta para pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mengoptimalkan serapan hasil panen lokal. Menurut pemerintah, saat ini produktivitas pertanian sudah membaik terlepas dari situasi ekonomi yang melemah. Namun, peningkatan produktivitas ini harus diimbangi dengan akses pasar dan sinergi.