RateS Tutup Sementara Semua Akses Pergudangan

Platform social commerce berbasis keanggotaan RateS tengah menempuh jalur efisiensi bisnis. Hal ini terlihat dari unggahan terkini perusahaan di laman media sosialnya terkait penutupan sementara semua gudang RateS per tanggal 28 Februari 2023.

Disampaikan, RateS akan tetap memproses pesanan yang masuk sebelum 28 Februari 2023 pukul 23.59 WIB. Per 2022, RateS tercatat memiliki enam gudang penyimpanan yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia.

Tim DailySocial.id sempat menghubungi Co-Founder dan COO RateS Albert Ho terkait hal ini. Ia mengaku bahwa langkah tersebut adalah bagian dari efisiensi. “Kami memutuskan untuk menghentikan order dari gudang,” ucapnya.

Ia juga menambahkan bahwa penutupan ini bersifat sementara. “Kami tidak berencana untuk pivot. Saat ini, kami sedang fokus pada sektor yang menghasilkan lebih banyak margin, seperti pesanan marketplace dan lainnya.”

RateS didirikan pada 2016 dengan misi awal membantu transaksi e-commerce lintas negara lebih efisien dan mudah diakses. Seiring perkembangan industri, aplikasi RateS memungkinkan siapa saja bisa berjualan (menjadi reseller) tanpa harus membeli stok barang terlebih dulu.

Pengguna bisa membuat sebuah lapak online berisi berbagai produk sesuai yang ada di katalog RateS, selanjutnya mempromosikannya melalui kanal online dan offline yang dimiliki. Sebagai mitra, reseller akan mendapatkan harga beli khusus dan harga jual ke konsumen sehingga mendapatkan keuntungan.

Startup lulusan program PayPal Incubator di Singapura ini juga telah beberapa kali melakukan penggalangan dana. Pada awal 2022 lalu, perusahaan mengumumkan pendanaan segar senilai $6 juta dalam bentuk ekuitas dan debt.

Dalam pemberitaan terakhir, Albert mengungkap investasi tersebut rencananya dilanjutkan dengan penggalangan dana seri B yang ditargetkan rampung tahun ini. Perusahaan juga tertarik untuk menjajaki produk pembiayaan menyusul bergabungnya Kasikorn Bank dalam jajaran investor.

Terkait bisnisnya di Indonesia, RateS mengaku telah mengalami pertumbuhan pesat pada 2021, dengan peningkatan 4x lipat sejak tahun 2020. Menurut data terkini, perusahaan telah memerdayakan lebih dari 500 ribu reseller di seluruh Indonesia dan mecetak keuntungan lebih dari Rp30 miliar melalui kurang lebih 1 juta pesanan di aplikasinya.

Tantangan di Indonesia

Pada 2022, DSResearch merilis laporan yang membahas perkembangan ekosistem social commerce di Indonesia. Selama satu dekade terakhir e-commerce telah berhasil menjadi lokomotif industri yang mendorong ragam inovasi digital di berbagai sektor. Namun, masih ada gap yang belum terselesaikan, khususnya terkait pemerataan jangkauan layanan.

Gap tersebut dilandasi berbagai faktor, misalnya terkait distribusi layanan di kota tier 3 atau 4. Sampai dengan literasi digital masyarakat rural yang belum maksimal. Selain itu, tantangan yang masih ditemui adalah bagaimana mereka bisa meyakinkan produsen dan principal untuk bisa bersama memberikan layanan kepada kota-kota tier 2 dan 3. Padahal, kota-kota tier 2 dan 3 saat ini disebut tengah mengalami kemajuan pesat.

Berdasarkan laporan Alpha JWC Ventures bersama Kearney terkait potensi pertumbuhan digital non-metropolitan Indonesia, ekonomi digital di area tier 2 dan 3 diproyeksi tumbuh lima kali lipat dalam lima tahun ke depan. Hal ini diperkuat sejumlah faktor, antara lain pertumbuhan makro ekonomi, adopsi layanan digital, hingga upaya pemerintah mendorong ekosistem startup digital di kota tier 2 dan 3.

Sementara, menurut proyeksi dari McKinsey, nilai GMV yang akan dihasilkan industri e-commerce di Indonesia akan mencapai $65 miliar pada 2022 mendatang. Social commerce sendiri memiliki dapat menyumbang sampai $25 miliar pada capaian tersebut.

Di Indonesia, sudah ada beberapa layanan social commerce yang beroperasi, termasuk Evermos, Dagangan atau Woobiz yang menekankan pada aspek pemberdayaan perempuan di daerah. Secara ekosistem, pemain social commerce lokal juga terus berdatangan dengan pendekatan yang unik. Namun satu hal yang menjadi misi utama, dilakukan semua platform, adalah menyasar kalangan pengguna di kota-kota kecil.