GoCement jadi pionir bisnis contech di Indonesia, tengah rampungkan putaran pendanan pra-seri A / GoCement

GoCement Ambil Langkah Disruptif Efisienkan Bisnis Konstruksi

Menurut riset GlobalData, ukuran pasar bisnis konstruksi di Indonesia telah mencapai $234,6 miliar atau setara Rp3,591 triliun pada tahun 2021 lalu. Diproyeksikan sektor ini akan mendapati average annual growth rate (AAGR) lebih dari 4% dalam periode 2023-2026 mendatang. Pertumbuhan ini berkorelasi langsung dengan sejumlah metriks perekonomian, termasuk PDB nasional yang pada tahun 2022 berhasil tumbuh 5,31%.

Di samping itu, investasi ke bisnis konstruksi juga mengalami peningkatan. Tahun 2018 nilainya telah mencapai $72 miliar, mengindikasikan AAGR 5% sejak tahun 2010. Data BPS juga menyatakan, di tahun 2018 ada lebih dari 131 ribu perusahaan dari berbagai skala (kecil-menengah-besar) yang menggarap bisnis ini di Indonesia. Maka tidak diragukan lagi ini memang industri yang memiliki nilai dan peluang besar.

Namun demikian, industri ini masih dihadapkan pada sejumlah inefisiensi yang berdampak pada produktivitas di sektor ini. Di antara isu-isu yang ada, supply chain yang kurang optimal menjadi salah satu isu mendasar yang punya urgensi lebih untuk diselesaikan. Sebagian besar proses bisnis yang ada juga masih manual, mengandalkan cara kerja perusahaan tradisional yang sudah berkecimpung puluhan tahun.

Menurut data McKinsey, 20% proyek konstruksi selesai lebih lama dan 80% proyek mengalami pembekakan biaya. Dari sana mencuat gagasan, tentang upaya yang dapat membuat sistem kerja yang ada dalam konstruksi menjadi lebih efisien, sehingga berimplikasi pada proyek konstruksi yang lebih baik lagi — salah satunya lewat transformasi digital.

Upaya mendigitalkan sektor konstruksi

Melihat besarnya peluang digitalisasi di sektor konstruksi, Djonny Suwanto bersama dua co-founder lainnya Asanga Abhayawardhana dan Tarun Kakkar menginisiasi GoCement. Misinya menjadi one-stop platform untuk bahan dan alat konstruksi yang lebih murah, sekaligus meningkatkan efisiensi proses penyediaannya. Saat ini platform GoCement berbentuk B2B commerce, menjembatani kebutuhan pemasok dan kontraktor.

Djonny Suwanto bersama co-founder Asanga Abhayawardhana / GoCement

Dalam debutnya, sejumlah investor memberikan dukungan pendanaan, mulai dari BEENEXT, MDI Ventures (melalui dana kelolaan Arise), dan Ideosource. Dan kini perusahaan tengah melanjutkan tahapan pendanaan berikutnya (pra-seri A) melalui dukungan Foundamental, DS/X Ventures, dan sejumlah investor lainnya.

“Konstruksi termasuk sebagai industri yang paling akhir kena disrupsi. Dan saya pikir kami hadir di waktu yang tepat di tahun 2021. Kalau lebih awal 2-3 tahun, mungkin [red: investor dan pasar] belum bisa melihat (model bisnis) ini workable atau acceptable di tanah air,” ujar Djonny.

Di lanskap startup lokal, sejak tahun 2022 juga bermunculan solusi serupa GoCement. Beberapa pemain lain yang hadir termasuk BRIK (didukung pendanaan awal oleh AC Ventures dan sejumlah investor), JuraganMaterial, Proglix (didukung Y Combinator dan sejumlah angel investor), hingga BukaBangunan (unit bisnis dari Bukalapak). Masing-masing tengah menggodok strategi mencapai product-market fit dengan proposisi nilai unik yang dimiliki.

Tidak hanya itu, sejumlah investor lokal juga mengatakan mulai menggarap thesis investasi untuk construction-tech. Salah satunya Mandiri Capital Indonesia yang telah menyiapkan dana kelolaan khusus untuk masuk ke sektor baru tersebut.

Construction-tech ini juga makin tervalidasi dengan sejumlah startup yang menjadi unicorn, termasuk salah satunya Infra.Market dari India yang berhasil melambungkan valuasinya menjadi $2,5 juta setelah putaran seri D mereka di 2021. Bahkan di India, juga ada pemain lainnya yang sudah menjadi unicorn yakni Moglix dan Ofbusiness.

Hadir dengan model vertical marketplace

Djonny menyampaikan, di fase awalnya GoCement menghadirkan layanan vertical marketplace untuk melayani pasar di Jawa Timur. Konsep ini dinilai relevan untuk diaplikasikan di industri konstruksi, karena dalam proses bisnisnya mereka turut melakukan kurasi dan pengelolaan stok barang secara in-house. Di tingkat taktis, GoCement bahkan turut mendirikan infrastruktur (pergudangan, pemenuhan, dan logistik) untuk memastikan ketersediaan dan distribusi yang terjangkau.

“Sekarang ini semua lari dari horizontal marketplace [red: seperti Shopee, Tokopedia dll] menjadi vertical marketplace. Perbedaannya, model ini menyuguhkan kepada pelanggan sistem curated-managed marketplace. Proses seleksi dan kurasi ini menjadi penting bagi kami yang bermain di B2B, untuk memastikan pengalaman pengguna yang lebih baik,” jelas Djonny.

Lebih lanjut dijelaskan mengenai konsep vertical marketplace ini. Djonny bercerita, di awal kemunculan layanan marketplace seperti Tokopedia, kebanyakan merchant di dalamnya bersifat dropshipper — mereka berjualan tanpa harus memiliki stok barang tersebut secara fisik. Jika diaplikasikan ke B2B marketplace, hal seperti itu dinilai bisa menghasilkan user experiences yang buruk. Konsumen bisnis, dalam hal ini pengembang properti, mengemban proyek dengan perencanaan (termasuk biaya, timeline) yang sudah matang.

Proses pengelolaan dan kurasi tersebut memastikan bahwa selain ketepatan, para konsumen bisnis mendapatkan value lain dengan pemesanan secara digital. Value ini bisa berupa apa saja, termasuk salah satunya harga yang lebih terjangkau.

Tampilan aplikasi GoCement di platform Android / GoCement

Melalui situs dan aplikasinya, GoCement memudahkan pengelola proyek untuk berbelanja berbagai kebutuhan konstruksi dan penyewaan berbagai alat pendukung. GoCement juga memastikan kualitas produk yang dijual telah berstandar SNI, ISO, dan lulus uji produk; plus memberikan jaminan transparansi dan stabilitas harga.

Model pengelolaan pengantaran juga dinilai menyelesaikan masalah yang sering dihadapi pekerja bangunan. Seringkali untuk mendapatkan harga bersaing mereka harus membeli bahan tertentu dalam jumlah besar, sayangnya kadang tidak ada tempat untuk menaruh barang tersebut. GoCement bisa memudahkan dengan proses pengantaran yang terjadwal, sesuai kebutuhan di proyek tersebut. Di area operasionalnya juga ada jaminan pengantaran di hari yang sama saat pemesanan terselesaikan.

Memperkenalkan construction tech

Di awal berdiri, Djonny mengaku kesulitan untuk menemukan terminologi tepat untuk menjelaskan bisnisnya, terutama ke investor. “April 2021 saya bingung mau ngomong, kita ini e-commerce kah, marketplace kah […] akhirnya bilang sebagai supply chain dan logistic solution (untuk konstruksi), karena waktu itu last-mile logistic masih hot di industri. Hingga akhirnya bertemu seed investor kami, BEENEXT, yang memberikan pemahaman bahwa construction tech (contech) ini sudah ada di region lain dan banyak yang sudah menjadi unicorn.”

Bagai gayung bersambut, justru sejak dari titik itu minat terhadap model bisnis ini di Indonesia menjadi tinggi. Dan yang paling menarik, sejumlah VC strategis masuk ke jajaran investor GoCement, salah satunya Foundamental. Bagi Djonny, Foundamental menjadi mitra strategis, pasalnya pemodal ventura ini memiliki thesis dan pengalaman khusus di construction tech.

Foundamental juga berinvestasi ke startup contech lain, di antaranya Tül dan Infra.Market. Posisi Tül di pasar Kolombia juga menjadi menarik, startup tersebut berhasil mendapatkan pendanaan lanjutan $181 juta dengan valuasi $800 juta sejak 20 bulan mereka berdiri — menjadikan startup ini menjadi perusahaan teknologi dengan pertumbuhan tercepat di Amerika Latin.

Tül dan Infra.Market memiliki pendekatan yang berbeda. Di sisi segmen konsumen, Infra.Market fokus pada pengembang proyek konstruksi skala besar, sementara Tül fokus ke pemenuhan toko bangunan skala kecil-menengah.

Ini bukan tanpa alasan, kendati nilai pasar industri konstruksi di Amerika Latin bernilai lebih dari $120 miliar, struktur distribusinya masih berpangku pada toko bangunan (setidaknya 50% dari total penyaluran yang ada saat ini). Namun sebagian besar toko tersebut tidak memiliki supply chain yang efisien, karena sebagian dijalankan di level UMKM.

Sementara di India, pasar konstruksi saat ini banyak didorong proyek infrastruktur skala besar dan perumahan. Para kontraktor diharapkan dengan tantangan untuk menghadirkan bahan bangunan secara lebih efisien dan murah.

GoCement hadir dengan pendekatan yang lebih holistik, gabungan model bisnis yang dimiliki Tül dan Infra.Market. Hal ini dikarenakan secara pelayanan GoCemenet lebih menempatkan platformnya sebagai one-stop shop, menjajakan ribuan SKU produk di satu tempat. Divergensi tersebut juga dibungkus untuk melayani klien bisnis, peritel, dan konsumen akhir. Di sisi lain, GoCement turut menyediakan infrastruktur pemenuhan dan sistem operasi pendukungnya.

Model bisnis GoCement

GoCement melihat sejumlah paint points utama yang sering mengganggu kelancaran proyek konstruksi. Mulai dari ketersediaan stok material, pelayanan/pengantaran yang tidak terkontrol, dan sistem pembiayaan yang kurang menguntungkan (termasuk untuk pemilik toko material). Melalui platform yang dimiliki, perusahaan berupaya menyelesaikan masalah tersebut sembari mencoba mengaplikasikan sejumlah model bisnis.

“Hampir semua marketplace akan punya income generation salah satunya dari private label. Kemudian dengan infrastruktur yang dimiliki akan masuk juga ke 3PL & 4PL (logistik). Dan tentunya fintech. Fintech ini akan unlocking all the bottleneck, termasuk di konstruksi, di sini akan memudahkan kontraktor untuk melakukan financing. Terlepas dari itu, kami ada kearifan lokal dan pengalaman yang pernah kami kerjakan di industri ini,” ujar Djonny.

Pembuatan produk private label ini menjadi salah satu yang menarik. Mengingat GoCement punya legacy bisnis dan jaringan yang kuat dari pendirinya, mereka mengklaim memiliki rantai distribusi yang matang untuk bisa menghadirkan sejumlah produk materialnya sendiri. Selain agar menghasilkan net margin yang lebih menguntungkan di sisi bisnis, adanya “cloud manufacturing” yang tersebar di wilayah distribusi bisa membuat pemenuhan stok lebih efisien.

GoCement implementasikan multi-model bisnis, salah satunya dengan menghadirkan produk private label / GoCement

Di sisi transaksi, selain mendapatkan gross margin dari pembelian bahan material melalui B2B commerce yang dimiliki, GoCement juga memberikan layanan sewa berbagai alat konstruksi seperti molen, stamper, vibro, hingga loft cor. Sementara untuk financing, perusahaan juga masih terus memperluas kerja sama dengan sejumlah mitra, termasuk fintech dan perbankan.

“Yang jelas pasarnya sangat besar dan kami saat ini masih di Sidoarjo dan Surabaya, Jawa Timur. Tentunya kami akan segera melakukan ekspansi ke daerah lain seperti Jawa Tengah, namun yang harus dipastikan kami ingin membereskan sisi supply-nya dulu, baru mencari (atau membentuk) demand di pasar baru,” imbuh Djonny.

Sebagai tech-enabler, GoCement memiliki tiga pilar yang akan selalu dipastikan ada untuk menjadi proposisi nilai utama yang diberikan kepada para penggunanya, yakni convenience, reliability, dan fair pricing.

Fair pricing ini selalu kami tekankan. Kami gak pernah mengklaim memiliki harga yang paling murah, karena kita bermain dengan produk bulky item, kebanyakan low value. Jadi fair pricing ini lebih penting, karena semua punya banyak ketergantungan, misalnya karena faktor demand-supply dan lokasi geografi,” jelasnya.

Disrupsi bisnis konstruksi

Sebagai industri yang menymbangkan 11% total GDP nasional (urutan ke-4), konstruksi jelas berperan signifikan dalam perekonomian. Jika didalami, bisnis konstruksi juga punya turunan yang cukup banyak dilihat dari jenis/skala proyek yang dikerjakan. Adapun GoCement saat ini memilih untuk mengambil segmen kecil-menengah, memfasilitasi kebutuhan bahan/alat konstruksi pada proyek-proyek di daerah dengan ukuran yang kecil, namun memiliki kuantitas yang banyak.

“Bisnis konstruksi besar, seperti pembangunan gedung pencakar langit atau proyek strategis nasional, biasanya dilakukan oleh kontraktor kelas besar yang sudah memiliki jaringan dan distribusi yang matang karena berpengalaman puluhan tahun. Kami tidak bermain di sana, GoCement melayani small-medium construction. Yang besar ini akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk didisrupsi,  sedangkan yang kecil memiliki potensi yang lebih menarik,” ujarnya.

Djonny bercerita, salah satu mitra distribusi perusahaannya adalah Jawa Berkat yang telah melayani pembelian semen Gresik ke sekitar 2 ribu pelanggan. Diakui sulit untuk mendigitalkan perusahaan konstruksi dengan skala tersebut — walau di sisi lain, pihak seperti Semen Indonesia sebenarnya sudah mengembangkan sistem terintegrasi yang memudahkan toko melakukan pemesanan ke distributor. Selama berpuluh-puluh tahun alur supply-chain bisnis konstruksi adalah dari pabrik, ke distributor, ke toko grosir, ke toko kecil, lalu konsumen akhir.

“Jika melihat alur tersebut, adanya GoCement medisrupsi di sisi distribusinya. Namun yang perlu dicatat, tidak serta-merta peran distributor tersebut hilang, melainkan beralih fungsi, salah satunya sebagai stock point. Peran stock point tidak mungkin dihilangkan, apalagi melihat kondisi geografis di Indonesia. Kami melakukan ini dengan mendisrupsi diri kami sendiri (red: Djonny sebelumnya memiliki bisnis konstruksi konvensional),” cerita Djonny.

Sementara salah satu masalah paling mendasar dalam industri konstruksi, khususnya di skala kecil-menengah, berujung pada pembiayaan. “Game di level ini diadukan pada term of payment, ada yang 30 hari, 45 hari, bahkan sampai setengah tahun. Ada kejadian proyek rumah sudah jadi, namun penjual belum mendapatkan pembayaran atas bahan yang dibeli. Di luar itu memang tidak dimungkiri banyak kontraktor yang ‘ngemplang’ dan bayarnya telat.”

“GoCement tetap mengakomodasi ‘kultur’ tersebut, namun dengan memberikan additional value berupa transparansi, misalnya lewat fitur tracking dan jaminan delivery on-time. Dari sini kita mulai memberikan pemahaman tentang pentingnya decentralized procurement untuk konstruksi ini,” jelas Donny.

Dengan model bisnis yang solid dan pertumbuhan bisnis yang konsisten, GoCement telah cukup percaya diri untuk melangkah dan memperlebar sayapnya. Dari perjalanan yang ada, Djonny mengaku bahwa pasar ini masih memerlukan effort edukasi yang besar. Ada perbedaan proses adopsi antara pengguna di kota tier-1, 2, dan 3, yang membuat GoCement harus menyesuaikan kembali strategi untuk menembus tiap area pasar.

Tim GoCement / GoCement

“Di sisi pendanaan, kami masih tetap membuka putaran pra-seri A dengan fokus utama menemukan mitra strategis. Fokus utama perusahaan dalam satu-dua tahun ke depan adalah peningkatan growh dan operasional, penguatan tim, dan pengembangan produk,” tutup Djonny.

Application Information Will Show Up Here

Disclosure: DS/X Ventures (bagian dari DailySocial Group) merupakan salah satu investor GoCement