Mendorong Peran Aktif Perempuan di Dunia Digital

shutterstock_124923551

Perjuangan kesetaraan upah antara perempuan dan laki-laki telah lama didengungkan dan sampai sekarang masih terus diperjuangkan dalam setiap lini industri. Hal ini bukan masalah yang bisa dianggap enteng. Tak cuma soal kesetaraan upah, sesuatu yang membuat CEO Microsoft Satya Nadella sampai harus minta maaf karena mengeluarkan pernyataan kontroversial, tapi juga soal kepemimpinan.

Masalah kekosongan suara perempuan dalam dunia teknologi tidak hanya terjadi di Indonesia. Hal ini terjadi di seluruh dunia. Data yang dihimpun oleh Ernst & Young menunjukkan bahwa bisnis yang dikelola pemimpin laki-laki 3,5 kali lebih mungkin untuk melampaui penjualan $1 juta ketimbang perusahaan yang dikelola pemimpin perempuan. Hanya 2% perusahaan yang dimiliki perempuan yang pernah menembus angka satu juta dolar.

Tentu saja kesenjangan ini bukan hal yang mutlak dan tak bisa diubah.

Kini sudah mulai banyak perempuan yang terjun ke dunia bisnis digital. DailySocial menghubungi sejumlah CEO dan founder perempuan yang mendirikan atau menahkodai startup digital untuk membahas masalah ini. Mereka sepakat bahwa peran perempuan di dunia bisnis digital belum sedominan laki-laki. Meskipun demikian hal ini bisa diubah karena penyebabnya bukan karena perempuan kurang mampu, dibanding laki-laki, di bidang ini.

Pilihan pendidikan dan minat

Co-founder Think.web Anantya Van Bronckhorst berpendapat bahwa pilihan profesi biasanya juga ditentukan oleh pilihan pendidikan dan kebanyakan pilihan pendidikan yang diambil oleh pendidikan dan minat perempuan terhadap dunia komputer atau teknologi masih kurang. Menurutnya membuka wawasan akan pilihan dan opsi pada anak perempuan mengenai pilihan profesi di bidang digital bisa menjadi salah satu langkah yang bisa ditempuh.

female engineering

“Ada banyak sekali kemungkinan sebabnya. Pertama, bisa jadi perempuan merasa bisnis digital itu sesuatu yang rumit dan sulit untuk dimulai sehingga mereka merasa takut duluan. Kedua, perbedaan prioritas dalam manajemen waktu antara pria dan wanita. Dan yang terakhir, masih kurangnya role model perempuan yang menjalankan bisnis digital,” cetus pendiri NulisBuku Aulia Halimatussadiah.

Sementara pendiri BerryKitchen Cynthia Tenggara melihat hal ini lebih kepada kultur yang sangat timur perempuan itu identik “kodratnya” menjadi ibu rumah tangga, mengurus rumah, dan mengurus anak. Makanya mereka cenderung tidak terlalu ambisius mengejar karier.

Dominasi lelaki bukan hal mutlak

Anantya mengatakan hal ini bisa berubah dengan semakin banyaknya perempuan yang bekerja ataupun berada di sekitar industri digital. Dengan demikian kesempatan mereka untuk membuat bisnis di industri ini semakin besar.

“Di kantor sendiri tadinya komposisi pegawai perempuan dan laki-laki 40%-60% dan bahkan pernah 30%-70%, dengan mayoritas pegawai laki-laki. Namun beberapa tahun terakhir prosentasenya berubah dan sekarang almost 50-50 antara perempuan dan laki-laki,” tutur Anantya.

Aulia dan Anantya juga berusaha memulai inisiatif Girls in Tech Indonesia. Menggelar event tiap tiga bulan dan mengundang pembicara perempuan yang sukses di bidang IT. “Saya juga menulis buku berjudul Girls & Tech untuk meng-highlight para wanita yang menjalankan bisnis digital agar menginspirasi wanita-wanita Indonesia yang lebih junior untuk mencoba berbisnis digital,” ujar Aulia.

Perempuan kurang berani mengambil risiko

Perempuan makin banyak yang terjun ke dunia bisnis. Apalagi sekarang tersedia banyak platform mulai dari media sosial hingga marketplace yang menyediakan kesempatan perempuan untuk mulai berbisnis. Meskipun demikian, bisnis-bisnis berskala besar masih dikuasai lelaki.

Banyak yang berpendapat bahwa perempuan biasanya lebih berhati-hati dan memiliki banyak concern dan perhitungan, sedangkan untuk bisa scale up bisnis dibutuhkan biaya yang tidak sedikit dan risiko yang cukup besar.

“Bahkan terkadang harus mengusahakan loan dengan bunga yang cukup tinggi kalau belum bertemu investor, pengambilan keputusan ini terkadang cukup sulit dilakukan. Sikap hati-hati dan keputusan yang diambil dalam bisnis sebenarnya murni keputusan individual dan tidak terkait dengan gender,” bantah Anantya.

Menurut Anantya, faktor risiko tersebut bisa dikurangi dengan banyak berkonsultasi dengan mentor atau mereka yang sudah memiliki bisnis. Hal ini akan semakin memperbesar pengetahuan dan membantu proses pengambilan keputusan, terutama yang terkait dengan proses scale up dan pembangunan bisnis.

Investasi dan koneksi

“Pendanaan dari VC sama seperti halnya seputar peminjaman modal, sebenarnya adalah masalah koneksi. Beberapa tahun belakangan, semakin banyak VC dan juga angel investor yang membuka diri untuk membantu pengusaha wanita atau bahkan mengkhususkan diri untuk pengusaha perempuan,” ujar Anantya.

Pendapat ini diamini oleh Aulia dan Cynthia yang berpikir bahwa sedikitnya bisnis perempuan yang diinvest oleh VC dan kemampuan perempuan untuk scale up bisnisnya tidak ada hubungannya dengan gender.

“Gender tidak ada hubungannya sama scaling up dan investasi dari VC. Mungkin karena memang pelaku bisnis digital permpuan yang sedikit, jadi kesannya yang di-invest juga sedikit,” tutup Cynthia.

Leave a Reply

Your email address will not be published.