Berawal dari mengembangkan layanan pengelolaan data kesehatan finansial berbasis API (Application Programming Interface), Brick kini telah berkembang menjadi sebuah layanan treasury tool yang dapat digunakan untuk semua aspek bisnis.
Dalam kanal podcast bertajuk “Startup Simplified, a Ketitik Podcast”, Co-Founder & CEO Brick Gavin Tan mengungkap perjalanan kariernya dengan latar belakang pendidikan di bidang hukum, hingga akhirnya memutuskan terjun ke dunia fintech.
Gavin mengakui punya ketertarikan kuat dengan angka dan hal-hal yang berbau finansial. Beranjak dewasa, ia mulai diharuskan fokus pada hal yang akan menjadi pilihan karirnya. Sempat mempertimbangkan beberapa hal, ia akhirnya memutuskan untuk fokus masuk ke jurusan hukum.
Setelah lulus kuliah, Gavin sempat menjalani karier sebagai pengacara yang fokus pada kasus kriminal, kepentingan publik, juga untuk pemerintahan Singapura selama sekitar dua tahun.
“Saya melihat yang dilakukan pengacara itu baik, memutuskan ini sebagai pilihan karier. Ilmu ini tidak hanya tentang berpikir logis, tetapi juga ada unsur humanity yang mengharuskan kita untuk bisa memproses banyak hal dalam waktu singkat,” jelasnya Gavin kepada Co-Founder & CEO KeTitik Bipin Mishra yang menjadi pembawa acara dalam podcast.
Lalu, di satu waktu ia kembali teringat masa kecilnya yang diisi oleh angka dan ketertarikan di industri finansial.
Ia berpikir keras dan akhirnya berbicara pada dirinya sendiri, “Jika aku terus menggeluti bidang hukum, maka akan sangat mudah untuk terjebak di sini.” Sementara cinta pertamanya masih pada financial markets, ia terus berpikir keras bagaimana bisa mengawinkan keduanya. Ketika itu, fintech belum jadi apa-apa, bahkan tidak dianggap pekerjaan.
Dari situ, ia mulai mengikuti komunitas terkait fintech, wealthtech, dan menghadiri berbagai acara. Sampai pada akhirnya ia menerima tawaran untuk bekerja pada sebuah perusahaan e-money asal Kuala Lumpur yang beroperasi di Myanmar. Ia mulai kembali membangun mimpinya di industri finansial bersama platform fintech Aspire.
Gavin menghabiskan 8 tahun terakhir untuk membantu mengembangkan platform fintech di Asia Tenggara. Di Aspire, timnya berhasil melakukan ekspansi ke tiga negara hanya dalam waktu 6 bulan. Ia melihat banyak tantangan ketika bekerja di Aspire, salah satu yang utama adalah infrastruktur yang masih kurang di pasar yang tengah berkembang.
“Hal ini sebenarnya yang menginspirasi saya untuk mengembangkan Brcik,” ungkapnya.
Mengembangkan Brick
Gavin belajar banyak hal dan mendapat mentor yang luar biasa selama di Aspire. Salah satu pelajaran terbaik yang ia dapatkan adalah “momentum is the lifeblood of startups“, bahwa momentum itu sangat penting. Ketika kamu sudah mengetahui arahnya, kamu harus bergerak, cepat.
Hal ini juga yang meyakinkan Gavin untuk memulai Brick. Ia mengaku bahwa motivasi awalnya adalah rasa takut akan melewatkan kesempatan yang baik. Sementara ia tidak merasa sebagai seorang pengusaha “by nature“, bahkan tidak pernah terpikir menjadi salah satunya. Namun ia bekerja di antara pemilik bisnis dan “got hit by entrepreneurship bug“.
Memulai bisnis sama sekali tidak mudah, ada banyak hal yang harus bisa dipersatukan. “Tidak cukup hanya dengan mendapatkan ide yang cemerlang, kamu juga harus mencintai ide itu. Dari situ, ide harus bisa dieksekusi menjadi bisnis yang profitable. Waktu juga sangat krusial. Ketika sudah banyak sekali kompetitor di pasar, akan lebih sulit melakukan penetrasi,” jelasnya.
Selain itu, ia juga mengaku bahwa memiliki co-founder dengan value yang sama adalah esensial. Ia bertemu dengan Deepak Malhotra yang juga Co-Founder dan CTO Brick ketika mereka dijadikan satu tim di Antler. Mereka berinteraksi secara sosial melalui akselerator ini dan menemukan bahwa keduanya memiliki ketertarikan yang kuat di satu subjek yang sama, fintech.
Mereka memulai Brick sebagai pengembang layanan pengelolaan data kesehatan finansial berbasis API (Application Programming Interface), kapabilitasnya memungkinkan pelaku fintech atau perusahaan teknologi untuk mendapatkan insight lebih dalam terkait kesehatan keuangan para penggunanya. Tujuannya untuk membawa aplikasi finansial yang lebih personal dan inklusif.
Ketika menginisiasi platform ini, Gavin sadar bahwa suatu saat mereka akan semakin berkembang dan masuk ke ranah money movement. Dengan klien yang kebanyakan datang dari industri fintech, bookeeping, maka semakin banyak permintaan akan layanan yang semakin menyeluruh. Dari situ, mereka akhirnya masuk ke ranah transaksi.
“Saat ini, aku memosisikan Brick sebagai treasury tool yang membantu para pemilik bisnis, juga divisi finansial untuk bisa meningkatkan fungsi finansial di perusaaan dengan pembayaran pintar, automasi pekerjaan, dan menentukan kesepakatan finansial secara cepat. Kami telah berkembang sangat pesat dari hanya sebuah platform open finance“
Rencana ke depan
Belum genap tiga tahun beroperasi, Brick sudah mengumpulkan total pendanaan lebih dari $8 juta dalam 2 kali putaran pendanaan. Dalam perjalanannya, Gavin juga mengaku bahwa tidak mudah menjalani bisnis di tengah gempuran pandemi. Perusahaan sempat menganut nilai “grow at any cost“, namun pada akhirnya harus mulai bergeser menjadi “revenue oriented”.
Satu hal yang ia bangga adalah, sejauh ini perusahaan masih bisa mempertahankan healthy runway yang membuat mereka bisa dengan mudah melakukan pivot atau mengganti fokus. Sebagai perusahaan, bahkan di saat genting Brick masih bisa bertahan. Hal itu tidak terlepas dari orang-orang yang ada di dalam perusaaan.
“Sebagai founder, saya sendiri harus bisa mengelola pengeluaran dengan baik sembari memastikan bahwa kita tetap bisa melakukan eksperimen. Saya melihat di beberapa negara Eropa, iklim investasi sudah mulai membaik. Harapannya adalah hal itu akan terjadi di Indonesia,” ujarnya.
Terkait rencana ke depan, Gavin menegaskan bahwa saat ini mereka tengah fokus untuk bisa doubling down for being a treasury tool. Pergerakan uang sangat esensial, hal ini menyentuh seluruh aspek dalam bisnis.
“Yang kami lakukan sekarang adalah melihat celah use case yang besar dan masih belum bisa terselesaikan, lalu datang sebagai solusi. Harapannya, tidak hanya terkait dengan dunia pembayaran, tetapi juga dalam hal automasi,” jelasnya.
Untuk platform real-time financial data, Gavin juga mengungkapkan bahwa mereka telah span off menjadi Boiva, sistem autentikasi yang memudahkan konsumen untuk login tanpa proses onboarding yang panjang dan berulang.
“The vision for Brick from day one was always to make financial services to be more accessible, across SEA. Indonesia is just the first stop. We also plans to expand to the second and third markets in the next one to two years. However, right now we are still focusing on the Indonesian market before we get out to other markets,” tutup Gavin.
–
Disclosure: DailySocial.id merupakan print partner dari program “Startups Simplified, a Ketitik Podcast”