Belajar Sensor Internet dari Tiongkok

Ilustrasi Penyensoran / Shutterstock

Hal pertama yang saya lakukan setelah mendapatkan SIM card China Unicom, adalah mencari alamat hotel dari browser smartphone yang secara default menggunakan mesin pencari Google. Menunggu lama, tak ada reaksi, tanda loading browser terus berputar. Beberapa saat kemudian saya sadar, pada akhir 2014 itu saya sedang berada di daratan Tiongkok. Negeri yang terkenal dengan sistem sensor Internet yang canggih, “Great Firewall”.

Ada begitu banyak negara yang melakukan sensor terhadap akses layanan atau konten di Internet. Indonesia pun melakukannya. Tetapi tidak semua sensor yang diterapkan itu memberi kontribusi nyata terhadap negara, terutama kontribusi pada sektor ekonomi. Sepengetahuan saya, sejauh ini hanya Tiongkok yang berhasil menerapkan strategi sensor Internet tercanggih sekaligus membangun industri Internet untuk pertumbuhan nasional dan komersial.

Sementara sensor Internet yang dilakukan Indonesia, sejauh ini hanya fokus pada konten pornografi sehingga waktu, uang, dan tenaga, dihabiskan untuk menyensor konten yang mengandung ketelanjangan, hubungan badan, dan segala bentuk yang mereka sebut pornografi. Padahal pornografi hanya sebagian kecil “drama” di Internet, di luar itu masih banyak sisi positif yang bisa digali dari Internet.

Internet bisa mendorong pertumbuhan ekonomi negara dan meningkatkan produktivitas di berbagai sektor. Data ITU (2012) mengatakan bahwa penetrasi broadband sebesar 10 persen akan memberi kontribusi pertumbuhan PDB 1,38 persen.

Yang juga patut diperhatikan dari pemanfaatan Internet ini adalah kelahiran usaha kecil menengah yang menggunakan koneksi Internet untuk menjual produk atau jasanya.

Sisi Positif

Cara Tiongkok mendorong kelahiran perusahaan Internet patut ditiru oleh pemerintah Indonesia. Sistem sensor Internet yang mereka lakukan melahirkan perusahaan yang mampu menyaingi raksasa teknologi dunia. Dan yang paling penting dari pertumbuhan perusahaan Internet lokal adalah, tumbuhnya ekosistem digital yang mendorong inovasi.

Tiongkok berhasil melahirkan Baidu sebagai pengganti Google, Renren si pengganti Facebook, Sina Weibo menggantikan Twitter, Youku menggeser YouTube, QQ gantikan Gmail, WeChat mengambil peran WhatsApp, hingga Alibaba yang menggantikan Ebay, Amazon, dan PayPal. Bebas saja jika ada pendapat yang mengatakan semua perusahaan Tiongkok itu adalah kloning perusahaan Amerika Serikat. Tetapi pada kenyataannya mereka telah melewati proses eksekusi “amati, tiru, modifikasi (ATM)” yang sebenarnya lebih mahal ketimbang sebuah ide.

Di sekitar tahun 2009, setelah pemerintah Tiongkok memblokir Twitter dan Facebook pasca insiden Xinjiang, layanan Internet mikroblog di negara itu tumbuh cepat. Mereka digunakan untuk menyebarkan berita yang berguna untuk sesama warga hingga mengkritik pemerintah setempat. Layanan e-commerce ikut tumbuh, juga perusahaan hardware telekomunikasi Huawei dan ZTE yang membayangi pemain besar dari Eropa. Kini saatnya perusahaan smartphone Tiongkok yang sedang galak memperluas bisnisnya di pasar negara berkembang. Kita telah melihat bagaimana Xiaomi dan OnePlus yang disambut secara baik oleh pasar Indonesia.

Dari ekosistem yang berkembang itu para pelaku bisnis teknologi di Tiongkok juga mengalami proses transfer ilmu pengetahuan. Para karyawan Huawei belajar dari Cisco, Alibaba mempelajari Yahoo selaku salah satu investornya, OnePlus menyerap ilmu dari karyawan Oppo, dan seperti kita tahu bahwa Xiaomi akan sangat memanfaatkan mantan petinggi Google, Hugo Barra, untuk membangun budaya perusahaan ala Silicon Valley dan memperluas bisnis secara global.

Perusahaan telekomunikasi sebagai pengelola jaringan, juga mendorong penggunaan layanan Internet lokal karena dengan ini mereka bisa menekan pengeluaran untuk tidak membayar bandwidth mahal ke luar negeri. Tiongkok mematok harga IP transit sangat mahal, yaitu US$ 120/Mbps dibandingkan dengan Amerika Serikat US$ 0,50/Mbps.

Dengan memakai layanan lokal pula, uang tidak melayang begitu saja ke luar negeri, seperti yang sering dikeluhkan para pebisnis teknologi dan pejabat pemerintah Indonesia, yang selalu memperdebatkan “Apakah Google dan Facebook membayar pajak di Indonesia?”

Sinergi dan peran aktif pemerintah Tiongkok pun semakin terlihat belakangan ini. Mereka kian gencar menekan perusahaan asing yang dinilai terlalu dominan di pasar lokal. Ini adalah cara halus kerja sama antar pemerintah dan swasta demi memajukan perusahaan lokal.

Baru-baru ini kita juga membaca berita komitmen pemerintah Tiongkok yang ingin mendorong industri teknologi dan ekonomi dari pertumbuhan jumlah paten. Mereka mempercepat proses review paten dan merek dagang. Untuk paten, waktu review dipercepat jadi 20,2 bulan pada tahun 2020 dari 22,3 bulan pada 2013. Sementara untuk merek dagang dipercepat menjadi 9 bulan dari 10 bulan pada 2013.

Sisi negatif

Dalam kondisi sekarang, sensor Internet di Tiongkok memberi efek samping menangkis persaingan bisnis Internet dari pemain internasional dan melindungi perusahaan teknologi lokal. Masyarakat seakan dipaksa, sekaligus diedukasi, untuk menggunakan layanan lokal dan pada akhirnya memberi kesempatan kepada perusahaan lokal untuk menjadi raja di negeri sendiri.

Tetapi, bukan itu tujuan awal Great Firewall dibangun! Sistem sensor Internet di Tiongkok ini dilandasi atas ideologi politik untuk membatasi arus informasi yang keluar-masuk dari luar negeri. Bisa disebut mereka menganut prinsip “semi tertutup” untuk urusan Internet. Mereka hanya membuka akses kepada layanan Internet global yang dianggap “aman” dan mau bernegosiasi dengan pemerintah dalam arti bisa dikendalikan.

Pada Januari 2015 ini, sensor Internet Tiongkok memasuki babak baru. Kali ini menuju sistem yang lebih “tertutup.” Dengan teknik yang diakui sangat canggih, mereka memblokir VPN ilegal atau yang tidak terdaftar di regulator setempat. Ibarat sebuah tembok, Tiongkok terus menambah bata demi bata untuk meninggikan tembok sehingga sangat sulit bagi orang awam memanjatnya dan melihat apa yang terjadi di luar tembok.

Hal paling menarik dari pelarangan VPN ini adalah soal waktunya. VPN sudah jadi rahasia umum di Tiongkok, tetapi kenapa baru sekarang?

Menurut laporan sejumlah media, pemerintah merasa tidak bisa lagi mentolerir keberadaan VPN setelah Presiden Tiongkok Xi Jinping mengeluarkan perintah untuk memperkuat kontrol ideologi di seluruh bidang hingga ke sekolah-kampus. Para guru dan dosen dilarang mempromosikan nilai budaya Barat. Presiden Xi Jinping bahkan menghimbau untuk memperbanyak “panduan ideologi” di universitas, termasuk materi soal Marxisme.

Bagi pelancong seperti saya, sensor internet macam ini akan sangat mengganggu produktivitas. Saya merasa hak mengakses informasi telah direnggut. Sulit sekali mengakses Gmail dan email kantor. Saya tidak bisa mendapatkan informasi dari orang-orang Indonesia maupun luar negeri yang saya follow di Twitter. Notifikasi aplikasi pesan instan Line masuk, tetapi saya tidak bisa membuka dan membacanya. Ini membuat frustasi sekaligus menyadarkan betapa mahal nilai kebebasan mengakses informasi.

Seorang dosen di Tiongkok mengatakan kepada saya, dengan kondisi Internet seperti sekarang, mungkin akan menghambat mahasiswa atau ilmuwan dalam melakukan riset online mencari makalah dan buku dari luar negeri mengingat hasil pencarian artikel berbahasa Inggris sangat terbatas di mesin pencari lokal. Baidu hanya fokus menjaring situs web yang ditulis dalam bahasa Tiongkok, karena sebagian besar pelanggan mereka menggunakan bahasa tersebut.

Dalam jangka panjang, Tiongkok telah membatasi proses transfer ilmu pengetahuan positif yang sepatutnya bisa diadopsi. Ini melukai proses pertukaran ide global karena hanya mereka yang bisa menembus Great Firewall saja yang dapat menikmati “World Wide Web,” sementara yang lain hidup di “Tiongkok Wide Web.”

Pemblokiran VPN dan membuat sistem Internet yang makin tertutup juga menghadang langkah usaha kecil menengah yang ingin mencapai pasar seluas mungkin, di mana saja di dunia. Usaha kecil menengah yang terlanjur punya pelanggan di luar negeri, berarti wajib mengeluarkan uang tambahan untuk membayar VPN komersial secara rutin kepada penyedia lokal yang terdaftar. Dan itu berarti menambah beban pengeluaran

Solusi untuk Indonesia

Bukan berarti Indonesia harus mengikuti Tiongkok dalam hal blokir Internet ini, tetapi kita bisa mempelajari sisi positif dari negara itu serta tak mengadopsi sisi negatif yang dapat melukai budaya demokrasi. Belajar bagaimana Tiongkok membangun ekosistem digital dan membangun masyarakat digital. Hingga akhir 2014, menurut China Internet Network Information Center (CNNIC), populasi online di sana telah mencapai 648 juta pada akhir 2014 dan 557 juta di antara mengakses Internet dari perangkat mobile.

Mereka juga berkomitmen mendorong investasi terhadap perusahaan yang sedang berkembang, termasuk perusahaan teknologi dan Internet. Pada Januari 2015, Tiongkok mengumumkan akan meluncurkan dana sebesar RMB 40 miliar atau sekitar USD 6,5 miliar untuk mendukung pertumbuhan perusahaan yang sedang berkembang dengan harapan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih besar. Mereka ingin mengurangi ketergantungan ekonomi pada investasi aset tetap di bidang infrastruktur dan properti.

Indonesia, perlu segera mengubah kebijakan sensor Internet dan regulasi teknologi informasi dengan mengambil langkah yang pro-pertumbuhan. Bukan langkah yang nihil hasil. Tiada guna menghabiskan sumber daya untuk menyensor pornografi, karena negara lain sedang berkutat dalam penelitian dan pengembangan internet mobile 5G atau bahkan membangun mobil yang bisa berjalan otomatis tanpa kendali sopir.

Pemerintah Indonesia perlu segera mengubah pandangan pada bisnis berbasis Internet dan memberi perhatian lebih terhadap mereka. Langkah ini sekaligus membangun sumber daya manusia yang cakap dalam sektor teknologi, informasi dan komunikasi. Jangan melulu melihat bahwa perusahaan Internet adalah bisnis yang penuh risiko. Mari melihat bahwa perusahaan teknologi atau Internet adalah bagian dari masa depan yang akan menyimpan segudang informasi penting.

Saya adalah seorang yang percaya dengan prediksi Alvin Toffler (dalam buku The Third Wave) yang membagi peradaban manusia dalam tiga gelombang, yaitu pertanian, industri, dan informasi. Sekarang, dunia sedang atau mungkin akan segera masuk pada peradaban informasi. Era di mana informasi akan menjadi aset berharga. Sangat mahal!

Pemerintah Tiongkok sudah mulai membangun peradaban informasi dengan caranya sendiri. Bagaimana dengan Indonesia?

Leave a Reply

Your email address will not be published.