Langkah untuk mendigitalkan layanan publik sepertinya menjadi salah satu jalan yang paling pas untuk dipilih pemerintah Indonesia. Walaupun belum semua layanan mampu ter-cover dengan baik dalam sistem digital yang ada saat ini, setidaknya sistem e-Tendering dan e-Katalog yang diimplementasikan di lembaga pemerintahan telah membuktikan manfaatnya dengan penghematan biaya belanja pemerintah hingga 40%.
Menurut Ketua Lembaga Kebijakan Pengadaaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Agus Rahardjo, sistem tender elektronik yang telah diupayakan sejak tahun 2008 telah memberikan kinerja yang cukup baik dalam hal penghematan. Ia menyebutkan penghematan biaya ini didapat di antaranya lantaran pemerintah tidak perlu lagi harus mengeluarkan budget lebih untuk biasa transportasi dan akomodasi untuk menghampiri pihak-pihak yang berminat ikut tender atau lelang. Semua dikerjakan secara online.
Agus, seperti dikutip dari Tribun News, mengatakan:
“Penghematannya cukup bagus, kami tinggal duduk saja tanpa bergerak untuk e-Tendering yang berlaku sejak 2008 penghematan sampai 10 persen, kalau dihitung dari 2008 sampai saat ini, hemat sebesar Rp 6,2 triliun. Untuk e-katalog penghematan lebih besar lagi, yakni 30 sampai 40 persen.”
LKKP sendiri mengharapkan inisiatif digital ini dapat terus ditumbuh-kembangkan. Pihaknya juga gencar mendorong belanja pemerintah lewat sistem elektronik. Tahun ini ditargetkan bahwa belanja pemerintah yang dicover sistem tersebut dapat mencapai Rp 850 triliun. Dengan perincian 50 triliun pembelanjaan melalui e-Katalog dan sebanyak Rp 800 triliun lewat e-Tendering.
“Tahun lalu itu mencapai Rp 300-400 triliun dengan kurang lebih Rp 15 triliun berasal dari e-Katalog atau e-Purchasing. Saat ini, tadi pagi saya lihat belanja e-Purchasing sudah mencapai Rp 1,76 triliun,” pungkas Agus optimis dengan sistem digital yang diimplementasikannya.
Sistem e-Katalog dan e-Tendering sendiri memang menjadi agenda transformasi sistem pembelanjaan pemerintah yang cukup banyak didengungkan pemerintah. Meskipun juga menyebabkan kegoyahan antar lembaga, seperti yang terjadi di DKI Jakarta (kasus Ahok menggunakan e-Katalog), namun sistem digital yang tentunya mudah dipantau oleh publik akan menyiutkan celah-celah tindakan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pengadaan barang dan jasa.
Sudah saatnya pemerintah Indonesia untuk mulai memperhitungkan dan memberikan porsi lebih untuk realisasi layanan semacam ini. Melihat dari sisi sumber daya manusia di bidang teknologi. Jika dulu masih berdalih dengan isu seputar kesiapan sumber daya manusia, untuk saat ini tentu keadaan sudah berubah. Yang terpenting kini justru kesungguhan pemerintah untuk menciptakan transparansi dan kemudahan publik untuk mengakses informasi yang menjadi haknya untuk mengetahui.