Dilema Penggiat Startup Hardware di Indonesia

shutterstock_239068000

Sejak dua atau tiga tahun yang lalu di Amerika Serikat dan juga beberapa belahan bumi lain sebenarnya ada satu tren yang menjadi perhatian di sektor teknologi selain startup di bidang perangkat lunak, yaitu startup hardware. Beberapa di antaranya malah sudah menjadi pemain yang dikenal di Indonesia, seperti Pebble atau perangkat temperatur ruangan Nest. Lalu bagaimana keadaannya di Indonesia sendiri? Apakah sudah ada pemain-pemain teknologi yang menggeluti bidang hardware ini? Seperti apa juga kondisinya?

Dengan segala potensi yang dimiliki, laju pertumbuhan dunia teknologi yang pesat dan membuat industri startup teknologi menjadi bergairah, sebenarnya Indonesia juga sudah punya para penggiat startup di sektor hardware. Beberapa di antaranya adalah Cubeacon, E-Fishery, dan Myokidz. Tapi sepak terjang mereka seolah tenggelam di tengah keriuhan masyarakat akan menjamurnya industri digital lain yang memanfaatkan teknologi perangkat lunak.

Bukan berarti para pemain di industri digital yang fokus pada ranah “perangkat lunak” ini sepenuhnya salah, karena pada dasarnya perlakuan antara hardware dan software sangatlah berbeda. Kasarnya, di Indonesia ini sudah banyak ide bermunculan untuk hardware startup, tetapi eksekusi setelah tahap “prototype” inilah yang masih menjadi kendala utama para pemainnya di Indonesia.

Sebagai contoh, menurut salah satu penggagas Cubeacon Tiyo Avianto, di ajang INAICTA dari tahun 2013-2014 sebenarnya ada banyak kreasi di ranah hardware dan juga robotika. Tapi, untuk membuat produk yang liquid di market bukanlah hal yang mudah karena banyak hal yang harus diperhatikan agar dapat membuatnya dapat bertahan di sana dan itu akan cukup banyak menguras tenaga, terutama bagi mereka yang masih sangat hijau.

Tantangan dalam mengembangkan produk hardware di Indonesia

shutterstock_162589757

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, perlakuan hardware dan software sangatlah berbeda 180 derajat. Di sisi hardware, ketika engineer ingin membuat prototype, dia haruslah menanamkan modal untuk membeli segala material yang dibutuhkan. Selain itu, saat terjadi hardware failed, terbakar misalnya, mereka harus investasi ulang, tak cukup hanya menekan “delete” atau “ctrl+alt+del” saja.

Sedangkan untuk engineer software, untuk membuat prototype produk, mereka dapat memanfaatkan komputer yang sudah dimilikinya dan bisa memakai software yang jenisnya freeware dan opensource. Jika ada kegagalan di platform yang sedang dikembangkan, cukup hapus dan tulis ulang kembali baris kode yang menyebabkan itu, masalahpun bisa selesai tanpa biaya tambahan lagi.

Tiyo menjelaskan:

“Membuat prototype berbeda dengan produk rilis (software). Ketika membuat prototype memang sederhana, tetapi saat sudah ke tahap mass production, masalah-masalah baru juga muncul. Misalnya Life Time Product, Quality Product dan proses Quality Control, Moulding, PCB Cutting dan piranti tools lainnya yang harus dipikirkan di awal, dan Standarisasi produk (SNI, CE, FCC, RoHS, dan lainnya).”

Tiyo juga menegaskan, untuk mendukung perkembangan industri ini, setidaknya ada dua elemen penting yang harus diperhatikan, yakni Material dan Machining untuk melakukan beta tester produk. Sayangnya, di Indonesia ini supplier material semiconductor yang dibutuhkan, dan dapat melayani pemesanan dalam jumlah kecil, masih sangat terbatas dan minim menurut Tiyo.

Itu baru dari sisi perangkat-perangkat yang dibutuhkan hingga pengembangannya menjadi suatu prototype. Dari sisi Investor, di Indonesia juga rasanya belum banyak investor yang tertarik dengan ini. Tiyo sendiri merasa beruntung dapat bertemu dengan investor yang pas dan mengerti kondisi startup yang ia bangun.

Dari sisi non-teknis, pendiri industri hardware juga wajib memiliki keberanian lebih untuk menyatakan dan membuktikan bahwa kualitas produknnya tak kalah dengan produk dari luar. Meskipun saat ini kondisinya lebih baik, tapi rasanya masih banyak juga masyarakat Indonesia yang beranggapan bahwa produk dari luar negeri kualitasnya lebih baik dari produk dalam negeri.

Komunitas Makers dan perannya

shutterstock_111752036

Meskipun terlihat sulit, namun sebenarnya masih ada peluang untuk mulai tumbuh di sektor hardware ini. Saat ini ada satu gerakan yang mulai muncul ke permukaan dan menjadi perhatian khalayak, yakni Makers Movement.

Meskipun sebenarnya secara spesifik Makers tidak selalu fokus pada teknologi, namun dalam dunia teknologi Makers sering merujuk pada sekumpulan orang yang berkolaborasi dalam memecahkan masalah dengan inovatif melalui sebuah produk yang lebih dari sekedar membuat aplikasi tapi juga mengembangkan perangkat kerasnya. Sebagai contohnya adalah mereka yang berpatisipasi dalam ajang Hardware Hackathon yang digelar oleh Mediatrac dan MakeDoNia beberapa waktu lalu.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa para Makers ini nantinya bisa menjadi garda terdepan dalam pengembangan produk hardware yang berkaitan dengan IoT dengan memanfaatkan komputer mini seperti Arduino, Rasperberry, dan Intel Galileo. Akan tetapi, Makers juga memiliki kesulitan yang tak jauh berbeda dengan yang dijelaskan oleh Tiyo.

Menurut Imanzah Nurhidayat dari Makerspace MakeDoNia, masalah utama Makers Indonesia adalah mereka tidak dapat memantaskan dirinya untuk mendapatkan harga yang layak dari produk yang dibuatnya. Makers di Indonesia pun tak jarang kesulitan untuk mendapatkan tools yang sesuai.

Imanzah mangatakan, “Sebagai makerspace kita bisa bantu itu. Kami dari MakeDoNia secara spesifik provide access dan tools. Akses ini misalnya seperti akses ke pasar, pendanaan, edukasi, researcher, hingga ke pabrik yang menerima pesanan barang satuan. Untuk tools, kita berikan design thinking, microcontroller board serta komponen lain, hingga mentoring.”

Imanzah juga mengingatkan bahwa untuk berkembang Makers tak dapat berjalan sendiri. Perlu peran dari berbagai pihak untuk membuat ekosistem, yang disebutnya Innovation Ecosystem, ini berjalan.

Imanzah mengatakan:

“Setidaknya ada empat unsur yang diperlukan, yaitu Komunitas–terdiri dari Maker, Researcher, dan Business Development, Investor untuk pendanaan, Pendidikan sejak dini, dan juga Pemerintah. Keempatnya perlu saling komunikasi biar bisa ekosistemnya jalan.”

Saat ini kita memang masih tenggelam di tengah-tengah hiruk pikuknya dunia digital yang erat kaitannya dengan perangkat lunak. Toh nyatanya pemerintah juga masih sibuk dengan urusan aturan untuk pemain di sektor ini. Meskipun tak dapat dikerjakan secara bersamaan, bukan tak mungkin kita juga seharusnya mulai melirik peluang lain yang ada, seperti di sektor hardware ini misalnya.

“Harapan saya industri semikonduktor di Indonesia mulai melihat peluang tumbuhnya startup hardware dan memahami kasus klasik dari sebuah startup,” ujar Tiyo.

Leave a Reply

Your email address will not be published.