Memperketat Aturan Investasi Langsung Asing Hanya Beri Keuntungan Pada Konglomerat Lokal

Andi S. Boediman dan Magnus Ekbom / DailySocial

Dua tahun lalu, industri e-commerce Indonesia menerima kabar yang tidak enak, yakni diterbitkannya aturan yang membatasi pelaku retail online menerima investasi langsung asing. Limitasi Foreign Direct Investment (FDI) tersebut memang membuat penanam modal asing menjadi kesulitan untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Tapi di saat yang bersamaan, aturan tersebut juga memberi keuntungan pada konglomerat lokal untuk mulai masuk ke segmen industri kreatif yang baru merintis.

Turunnya aturan tersebut memang terasa seperti hantaman ombak besar ke arah perahu kecil industri e-commerce Indonesia. Para pelaku industri e-commerce pun sempat memberi tanggapan terkait dengan hal ini dan mengusulkan agar aturan tersebut dihapus atau direvisi demi pengembangan industri e-commerce lokal itu sendiri. Pada intinya, para pelaku industri e-commerce ingin pemerintah mengubah pola pikirnya dari “keuntungan negara dalam jangka pendek”, menjadi “keuntungan industri e-commerce dalam jangka panjang”.

Pun demikian, Pemerintah bukannya tidak berbuat apa-apa. Melalui Kemenkominfo, pemerintah terus berupaya untuk mencari skema terbaik untuk model FDI ini. Bahkan mencoba mendorong Bank untuk memberikan Investasi di dunia startup dan industri kreatif lain, meskipun hal tersebut belum tentu ide yang bagus juga.

Dalam workshop yang terselenggara atas kerja sama CSIS dengan Kementrian Luar Negeri kemarin, Co-Founder dan Managing Partner Ideosource Andi S. Boediman mengatakan, “Resiko untuk berinvestasi melalui Venture Capital [untuk industri kreatif] itu besar. Pada dasarnya bank tidak akan berinvestasi kalau resikonya tidak masuk akal [karena akan berujung pada kegagalan].”

Memberi keuntungan pada konglomerat lokal untuk masuk ke segmen startup

Dengan adanya pembatasan ini, para pelaku industri kreatif lokal pun berharap pada penanam modal lokal. Sayangnya, penanam modal lokal juga selektif dalam memberikan investasi karena bisnis startup dan industri kreatif lain memang berisko tinggi dan cenderung memberikan Return of Investment (ROI) dan profit yang lama. Hal ini berujung pada konglomerat lokal yang memiliki dana melimpah untuk masuk dalam dunia startup.

Faktanya, kini semakin banyak konglomerat yang mulai masuk ke sektor bisnis ini, seperti Djarum, Lippo melalui MatahariMall, dan Grup Salim yang mulai menunjukkan ketertarikannya. Masih ada juga delapan perusahaan besar lain yang mulai merambah sektor yang tak jauh berbeda. Namun, hal tersebut juga bisa memberikan dampak negatif karena tidak semua konglomerat lokal memilki visi yang sama dengan Startup yang memiliki jiwa lebih dinamis.

Andi mengatakan, “Yang minta itu [model FDI] diperketat adalah konglomerat lokal untuk proteksi supaya tidak bisa disusupi oleh pihak luar. […] Ini tidak menguntungkan VC lokal, tidak mendukung entrepreneur lokal, [tetapi] menguntungkan konglomerat lokal.”

“Jadi yang diuntungkan itu someone yang punya kepentingan. Contoh saya [konglomerat – Red] tidak suka dengan Youtube, soalnya [bisnis] TV saya jadi mati. Larang saja itu Youtube untuk masuk sini!’. Jadi, yang melarang itu konglomerat, karena tidak suka [bisnisnya] terganggu,” jelas Andi lebih jauh.

Namun Andi juga memberikan saran kepada pemerintah, ketimbang membatasi soal FDI, lebih baik pemerintah memberikan insentif agar lebih banyak investasi yang dapat masuk demi mendorong pertumbuhan startup atau industri kreatif yang lebih tinggi lagi.

Saat ini, selain polemik Daftar Negatif Invetasi (DNI), pelaku e-commerce Indonesia juga masih harus berhadapan dengan beberap aturan lain yang direncanakan pemerintah untuk segera terbit. Contohnya, seperti roadmap e-commerce yang direncanakan untuk segera rampung dalam waktu dekat ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published.