Era digital telah mengubah cara pandang orang dalam berbisnis. Perusahaan-perusahaan digital besar pun kini seolah menjadi kiblat umum bagi masyarakat yang ingin menapaki jalan sukses. Sayangnya, mereka yang memutuskan untuk terjun ke dunia perusahaan rintisan digital (startup) sering kali tidak mengantisipasi realitas bahwa jalan yang diambil bukan jalan yang mudah untuk dilalui.
Berawal dari sebuah mimpi yang meletupkan ide fantastis dan dibumbui keberanian untuk memulai, seseorang sudah bisa ikut bermain dalam industri digital. Di saat yang bersamaan, mereka juga bisa berperan “mengganggu” layanan yang sudah lebih dahulu hadir dan lebih mapan. Namun, itu semua hanya akan menjadi fatamorgana bila pendiri tidak siap untuk menghadapi realitas yang akan menghadang.
Siklus hidup startup sendiri pada dasarnya akan berkutat pada validasi ide, peluncuran produk, scaling, lalu menuju exit. Entah itu lewat jalur Initial Public Offering (IPO) atau akuisisi. Tujuannya agar bisa menjadi market leader di industri terkait. Meski proses tersebut terlihat sederhana, sebenarnya itu bukan proses yang mudah untuk dijalani.
Akan ada banyak dana yang dikeluarkan, waktu yang dihabiskan untuk menjalin networking yang lebih luas, dan mengasah skillset lebih baik lagi. Pun demikian, proses yang menyakitkan ini akan terasa lebih bagi startup yang berada di posisi runner-up dan berusaha untuk mengejar ketertinggalannya.
Meski ada banyak jalan menuju Roma, namun salah satu jalan paling cepat dan favorit yang ditempuh untuk menjadi market leader adalah pendanaan. Dari sini, startup sebenarnya sudah “membeli” momentum untuk mengakselerasi bisnisnya. Pendanaan juga bisa menjadi lingkaran setan yang menjebak bagi startup bila tidak dikelola dengan baik dan bisa membuat ketergantungan dalam artian yang negatif.
Masalah pendanaan sendiri sebenarnya masih banyak diperdebatkan oleh sebagian besar pelaku startup, terutama tentang apakah pendanaan lebih penting dari profit untuk menjaga bisnis startup agar berkelanjutan?
Pendanaan juga merupakan realitas paling kejam yang harus dihadapi oleh para pendiri startup, apalagi dalam dunia e-commerce, baik itu yang ada di belahan dunia lain atau di Indonesia. Sulit bagi para pemain startup baru untuk bersaing di sektor ini karena pemain yang ada sudah memiliki pundi-pundi yang besar. Akan lain ceritanya bila anda bermain di sektor yang masih baru.
Di sisi lain, isu memahami masalah yang ada juga masih menghantui. Pelaku startup biasanya baru menyadari ini setelah menyadari bisnisnya dirasa sulit bertumbuh lagi.
Pada akhirnya, membangun startup memang berbeda dengan membangun sebuah bisnis konvensional. Nyawa startup pun sudah tidak bisa diukur dengan metrik tradisional lagi.
Meski memiliki ide yang fantastis, bila tidak dieksekusi menjadi solusi yang baik startup akan berhadapan dengan sempitnya ruang untuk bertumbuh. Belum lagi masalah kompetisi di pasar yang seringkali diisi dengan pemain yang memiliki pundi-pundi lebih banyak.
Jadi, bila ingin terjun ke dunia startup, pendiri harus punya mental yang kuat. Berani jatuh berkali-kali, tapi tetap bangun dan belajar lebih banyak.