FACEIT, event organizer yang biasanya dikenal menggelar ajang kompetitif untuk CS:GO, menjadi yang pertama menggelar esports Apex Legends yang berlisensi resmi dari Respawn Entertainment dan EA Games. Turnamen resmi pertama ini bertajuk FACEIT Pro Series: Apex Legends.
Rangkaian turnamen ini akan mempertandingkan 16 tim yang terdiri dari 8 event dengan total hadiah sebesar US$50 ribu. Turnamen pertamanya akan dimulai tanggal 31 Mei 2019.
Dari 16 tim yang bertanding, ada 14 tim undangan (invited) dan 2 tim dari Closed Qualifier. Nama-nama klub esports besar yang sudah dikonfirmasi akan mengikuti kejuaraan ini adalah 100 Thieves, CLG, G2 Esports, Cloud9, compLexity, Dignitas, GenG, Misfits, NRG, dan Fnatic. SKT T1 dan Team Liquid juga sudah mendapatkan undangan menurut laman resmi Pro Series.
We’re delighted to announce we’ll be hosting the first officially-licensed @PlayApex tournament: FACEIT Pro Series: Apex Legends
Sedangkan dua tim yang lolos dari kualifikasi adalah Alliance dan Fire Beavers. Sayangnya, kejuaraan ini memang masih terbatas untuk regional Amerika Utara.
Menariknya, meski ini turnamen berlisensi resmi, pertandingannya akan ditandingkan menggunakan public matches alias tanpa custom lobby.
Mengutip jawaban dari perwakilan FACEIT yang diwawancarai oleh Dot Esports, “ajang ini tidak akan dimainkan melalui custom lobby karena Apex Legends memang masih baru jadi belum punya fitur itu. Kejuaraannya juga akan menggunakan format ‘pub stomp’ yang artinya setiap tim bertarung satu sama lain untuk mendapatkan jumlah kill dan kemenangan terbanyak.”
Buat yang masih bingung dengan bagaimana sebuah turnamen Apex Legends berjalan (setidaknya di masa awal-awal sekarang ini) dan penasaran dengan esports resmi pertamanya, Anda bisa menonton sendiri pertandingan-pertandingannya yang ditayangkan langsung di kanal Twitch resmi untuk FACEIT.
Tanggal 24 – 26 Mei 2019 kemarin adalah tanggal yang sangat spesial bagi para penggemar fighting game, terutama di Amerika Serikat. Dalam dua hari itu, telah digelar sebuah kompetisi fighting game besar-besaran di wilayah Illinois, kompetisi bernama Combo Breaker yang sudah jadi tradisi tahunan sejak 2015. Para penggemar fighting game dari seluruh dunia berkumpul dalam acara yang berlokasi di gedung The Mega Center yang memiliki luas 5,5 km2.
Selama tiga hari, kita dimanjakan dengan lusinan turnamen yang mengusung judul-judul game terkenal dari berbagai era. Tak hanya judul-judul baru seperti Mortal Kombat 11 dan Super Smash Bros. Ultimate, namun juga beragam game populer lawas seperti Capcom vs. SnK 2: Mark of the Millennium 2001 dan Street Fighter III 3rd Strike ada di sini. Combo Breaker 2019 juga menjadi wadah untuk tiga turnamen resmi, yaitu Capcom Pro Tour 2019 (Premier Event), Tekken World Tour 2019 (Master Event), serta Mortal Kombat Pro Kompetition 2019 (Premier Event).
Ada banyak drama dan pertandingan menarik di acara ini, yang mungkin akan terlalu panjang bila kita bahas semua. Berikut ini adalah rekap Combo Breaker 2019 untuk lima cabang game terpopuler yang dimainkan di sana. Simak keseruannya.
Street Fighter V: Arcade Edition
Komunitas Street Fighter V belakangan ini sedang dilanda drama karena Daigo Umehara mulai menggunakan controller baru yang dikenal dengan nama “hitbox”. Sebetulnya hitbox bukanlah controller yang benar-benar baru, namun baru-baru ini saja jadi buah bibir karena Daigo. Kelebihannya adalah controller ini memiliki bentuk seperti arcade stick, tapi tidak menggunakan lever untuk arah, melainkan tombol seluruhnya. Selain memberi kemampuan input lebih cepat, hitbox juga dapat diatur peletakan tombolnya secara custom. Daigo misalnya, menggunakan 3 tombol berbeda sebagai arah atas (Up).
https://www.youtube.com/watch?v=FNp_38QlnLw
Berhubung Combo Breaker 2019 merupakan bagian dari Capcom Pro Tour, peraturannya pun harus disetujui oleh pihak Capcom. Setelah pertimbangan yang cukup panjang akhirnya Capcom memutuskan untuk melarang penggunaan hitbox karena dinilai “memberikan keuntungan kompetitif”. Mereka mengatakan bahwa peraturan CPT di masa depan bisa saja berubah, tapi untuk sekarang hitbox secara tegas dilarang.
Daigo sendiri tidak masalah dengan pelarangan itu. Tapi karena selama ini ia berlatih menggunakan hitbox, tiba-tiba berganti controller tentu menempatkannya di posisi kurang menguntungkan. Apalagi turnamen ini penuh dengan nama-nama besar. Daigo harus puas di peringkat 17, seri dengan pemain-pemain veteran lain seperti Nemo, Fujimura, Xiao Hai, dan Dogura.
Pemain yang berhasil merangsek hingga ke babak Grand Final adalah “Sang Alpha” dari Amerika, Punk. Ia bertemu dengan sang juara EVO 2018, Problem X alias Benjamin Simon dari Inggris. Grand Final ini adalah pertempuran kontras antara Karin (Punk) yang lincah melawan Abigail (Problem X) yang berbadan raksasa. Anda dapat menonton replay pertandingannya dalam video di atas, pada timestamp 6:27:10.
Dalam pertandingan berformat best-of-5, Problem X berhasil memimpin melibas Punk dengan skor 0-3. Akan tetapi Punk datang dari Winners’ Bracket, sehingga Problem X harus menang 2 set untuk jadi juara. Berbeda dengan EVO 2017 di mana mental Punk jatuh setelah terkena bracket reset, kali ini ia justru tampil semakin tenang. Ia memanfaatkan kecepatan Karin untuk memberi tekanan ofensif yang sangat besar, kemudian menghajar Problem X tanpa balas!
— Richard Suwono (Commissions: OPEN) (@richardsuwono) May 27, 2019
Menang dengan skor 3-0, Punk pun keluar sebagai juara Combo Breaker 2019. Begitu dominan permainan Punk di set terakhir Grand Final ini sehingga ilustrator terkenal Richard Suwono mengibaratkannya seperti game Sonic the Hedgehog.
Peringkat Top 8 Street Fighter V: Arcade Edition:
Juara 1. REC|Punk (Karin)
Juara 2. Mouz|Problem X (M. Bison, Abigail)
Juara 3. YOG|Machabo (Necalli)
Juara 4. FD|Haitani (Akuma)
Juara 5. RB|Gachikun (Rashid)
Juara 5. Liquid|John Takeuchi (Rashid)
Juara 7. iDom (Laura)
Juara 7. Takamura (Akuma)
Tekken 7
Tekken 7 sama spesialnya dengan Street Fighter V: Arcade Edition, karena kedua game ini sama-sama mengadakan turnamen yang dinaungi oleh sirkuit esports resmi. Combo Breaker 2019 dalam Tekken World Tour termasuk ke dalam turnamen tingkat Master, dengan kata lain merupakan turnamen kasta tertinggi di luar EVO 2019. Sudah jelas bahwa turnamen ini pun akan menarik para “dewa” Tekken dari seluruh dunia, seperti JDCR, Jeondding, Rangchu, dan banyak lagi.
Salah satu pertandingan paling seru terjadi di babak Top 8 Losers’ Bracket, di mana Knee bertemu dengan Rickstah. Knee dalam turnamen ini menggunakan beberapa karakter berbeda, dan di pertandingan yang satu ini ia bermain mengandalkan Bryan. Sementara itu lawannya tampil dengan Akuma, karakter yang tergolong jarang digunakan oleh pemain-pemain di level profesional.
Knee sempat mencuri angka terlebih dulu, namun Rickstah menunjukkan perlawanan yang baik dengan memenangkan game kedua. Di game ketiga, terjadi sebuah adegan yang sangat dramatis. Ketika kedua pemain sama-sama bertarung agresif, bertukar combo hingga sama-sama sekarat, Knee mencoba menutup pertarungan dengan serangan Rage Drive. Namun Rickstah cepat tanggap, ia membalas serangan itu dengan Rage Drive juga.
Sayangnya meski dengan permainan gemilang demikian, Rickstah tetap harus menyerah pada Knee. Knee akhirnya melaju ke babak Grand Final dan berhadapan dengan Anakin, setelah mengalahkan LowHigh, JDCR, serta Rangchu yang merupakan juara Tekken World Tour Finals 2018.
Pertarungan antara Knee dengan Anakin di Grand Final disebut-sebut oleh banyak orang sebagai pertarungan terseru di tahun 2019. Atlet Tekken 7 Indonesia, R-Tech (Christian Samuel) juga merasa bahwa pertarungan ini menarik. “Menurut saya USA di turnamen kali ini banyak memberi kejutan. Dan untuk Grand Final Anakin vs Knee sangat menghibur karena Knee dari loser (bracket) yang akhirnya comeback dan bisa jadi juara. Anakin juga memberikan perlawanan yang bagus,” ujarnya kepada Hybrid.
Di babak Grand Final ini pada awalnya Knee bertarung menggunakan Devil Jin. Tapi kemudian di tengah-tengah ia berganti karakter menjadi Paul. Performa Knee dengan Paul sangat dahsyat, bahkan ada salah satu ronde di mana ia menghabisi Jack-7 milik Anakin dalam waktu 12 detik saja! Paul-lah yang menyelamatkan Knee dari eliminasi, hingga akhirnya melakukan bracket reset dan menjadi juara.
Peringkat Top 8 Tekken 7:
Juara 1. ROX|Knee (Geese, Paul, Devil Jin, Bryan, Steve, Jin)
Juara 2. RB|Anakin (Jack-7)
Juara 3. Tasty|Rangchu (Panda, Katarina)
Juara 4. JDCR (Armor King)
Juara 5. ROX|Chanel (Julia, Alisa, Eliza)
Juara 5. UYU|LowHigh (Shaheen)
Juara 7. Princess Ling (Xiaoyu, Lei)
Juara 7. Rickstah (Akuma)
Mortal Kombat 11
Turnamen dalam Mortal Kombat Pro Kompetition hanya terbagi ke dalam dua jenis, yaitu Premier (offline) dan Online. Combo Breaker 2019 ini adalah turnamen Premier pertama sejak Mortal Kombat 11 dirilis pada bulan April lalu. Hebatnya, game ini berhasil menarik jumlah partisipan terbesar di acara Combo Breaker 2019 dengan 750 peserta. Mortal Kombat 11 juga memiliki posisi spesial karena merupakan game yang paling baru dirilis dalam ajang ini, serta memiliki posisi “menu utama” sebagai game terakhir yang dipertandingkan dalam Combo Breaker.
Turnamen Mortal Kombat 11 kali ini dihiasi oleh nama-nama besar, termasuk SonicFox, Semiij, A Foxy Grampa, Big D, dan banyak lagi. Bila kita berbicara tentang Mortal Kombat, tentu nama yang menjadi andalan adalah SonicFox alias Dominique McLean. Tapi ada satu masalah besar. SonicFox terkenal memiliki “kutukan” dalam kariernya: ia sama sekali belum pernah bisa memenangkan turnamen Mortal Kombat di ajang Combo Breaker, entah mengapa.
Tahun lalu, SonicFox baru saja mendapatkan penghargaan Best Esports Player dari acara The Game Awards. Combo Breaker 2019 ini merupakan ajang pembuktian apakah ia benar-benar layak menyandang gelar tersebut, sekaligus mematahkan kutukan yang menghantuinya selama bertahun-tahun. Tapi apakah ia berhasil?
SonicFox berhasil maju hingga babak Grand Final setelah mengalahkan sederet penantang kuat, namun perjalanannya bukan tanpa kesulitan. Pertarungan seru terjadi di babak semifinal Losers’ Bracket, ketika SonicFox berhadapan dengan Semiij. Menjagokan Kitana, Semiij tampil sangat dominan melawan Erron Black milik SonicFox. Ia bahkan nyaris mengeliminasi SonicFox dengan skor memimpin 2-0.
Merasa bahwa Erron Black sulit melawan Kitana, SonicFox mengganti karakternya ke Jacqui Briggs setelah kehilangan 1 angka. Namun ia masih tetap belum bisa menang dari Semiij. Akhirnya SonicFox mengganti karakter sekali lagi ke Skarlet. Bermain di jarak menengah dengan berbagai serangan tak terduga, SonicFox akhirnya membalikkan kedudukan.
Pertarungan Grand Final Mortal Kombat 11 ini pun tak kalah seru, dengan SonicFox (Jacqui Briggs) melawan Scar (Sonya) yang ia sebut sebagai “teman latihan”. Pertarungan ini terasa menegangkan sebab keduanya sama-sama bermain dengan pertahanan yang kuat. Satu kali serangan masuk saja sudah bisa membuat lawan terkena combo panjang dan terdesak hingga ke ujung arena.
SonicFox dan Scar kejar-mengejar angka, dari skor 1-1 berubah menjadi 2-2. Namun di ronde terakhir SonicFox melakukan beberapa kesalahan yang berdampak fatal. Mulai dari bantingan yang meleset hingga kegagalan menangkis serangan proyektil dari Sonya, SonicFox pun tumbang dalam pertarungan yang menegangkan namun berakhir sedikit antiklimaks.
Peringkat Top 8 Mortal Kombat 11:
Juara 1. END|Scar (Sonya, Scorpion)
Juara 2. FOX|SonicFox (Jacqui, Erron Black, Skarlet)
Juara 3. Noble|Tweedy (Baraka, Geras, Jacqui)
Juara 4. Noble|Semiij (Kitana)
Juara 5. Dragon (Cetrion)
Juara 5. PXP|A Foxy Grampa (Cassie Cage, Kung Lao)
Juara 7. Big D (Cetrion, Jade)
Juara 7. Deoxys (Geras, Kitana)
Dragon Ball FighterZ
Dragon Ball FighterZ berhasil menjadi salah satu turnamen paling ramai juga di ajang Combo Breaker 2019, meskipun ini bukan turnamen resmi. Sejak Dragon Ball FighterZ World Tour Saga pertama berakhir pada bulan Januari lalu, memang masih belum ada kabar tentang pengadaan sirkuit turnamen resmi lanjutan untuk game ini. Apalagi sempat muncul isu bahwa game ini bermasalah gara-gara lisensi. Singkatnya, esports Dragon Ball FighterZ sedang lesu. Tapi Go1 yang merupakan salah satu atlet terbaik Dragon Ball FighterZ berkata bahwa ini hanya sementara, dan para penggemar pasti akan ramai lagi bila Bandai Namco mengumumkan sirkuit turnamen resmi (Anda dapat menonton wawancaranya di bawah).
Akan tetapi itu semua tidak menyurutkan semangat para pemain yang datang ke Combo Breaker 2019. Turnamen ini tetap didatangi oleh pemain-pemain veteran baik dari dalam maupun luar negeri. Kazunoko yang merupakan juara Dragon Ball FighterZ World Tour 2018/2019 memang tidak hadir, namun masih ada jagoan-jagoan seperti Go1, SonicFox, HookGangGod, Dogura, dan lain-lain.
Rivalitas SonicFox dan Go1 sayangnya tidak terwujud kembali, karena SonicFox harus gugur terlebih dahulu di babak semifinal Losers’ Bracket melawan Shanks. SonicFox memang mengikuti banyak turnamen sekaligus. Ia terhenti di peringkat 4 Dragon Ball FighterZ dan peringkat 2 Mortal Kombat 11, namun berhasil meraih juara di cabang Skullgirls.
Update baru Dragon Ball FighterZ di bulan April lalu membuat keseimbangan gameplay berubah cukup banyak. Beberapa karakter yang mendapat buff besar antara lain Bardock (yang pada dasarnya sudah top tier), Piccolo, Goku SSGSS, serta Goku SSJ. Jadi wajar bila kita melihat banyak kemunculan karakter-karakter ini.
Go1, yang menguasai Winners’ Bracket hingga ke Grand Final, bahkan menggunakan kombinasi Bardock, Goku SSJ, dan Goku GT yang baru saja dirilis sebagai DLC. Sementara itu lawannya adalah HookGangGod yang telah mengalahkan Shanks di Losers’ Final. Timnya terdiri dari Bardock, Piccolo, dan Vegeta SSJ.
Kekuatan tim HookGangGod terletak pada mixup yang sangat bervariasi. Namun Go1 menunjukkan pertahanan yang sangat baik sehingga HookGangGod sulit menyerangnya dengan optimal tanpa menghabiskan meter. Taktik Hellzone Grenade milik Piccolo yang populer pun tidak menunjukkan ketajaman taringnya di sini.
Sebaliknya, Go1 justru sangat kuat ketika terjadi pertarungan satu lawan satu. Goku SSJ dan Goku GT berperan besar dalam melakukan solo damage. Namun HookGangGod berhasil mencuri poin terlebih dahulu. Di sinilah terjadi adegan lucu di mana Go1 membuka buku catatannya di sela-sela pertarungan, dan HookGangGod berusaha mengintip isinya.
“Contekan” Go1 itu rupanya membawa hasil. Setelah kehilangan 1 poin, Go1 terus menekan HookGangGod, mematahkan berbagai serangannya kecuali beberapa combo yang tidak terlalu optimal. Dalam 2 ronde berikutnya bahkan Go1 menang tanpa ada karakter mati sama sekali. Ronde terakhir, HookGangGod menunjukkan perlawan lebih kuat dan berhasil membunuh Goku GT, tapi itu tak cukup untuk menghentikan langkah Go1 ke podium juara.
Peringkat Top 8 Dragon Ball FighterZ:
Juara 1. CO|Go1 (Bardock, Goku GT, Goku SSJ)
Juara 2. NRG|HookGangGod (Bardock, Piccolo, Vegeta)
Juara 3. VGIA|Shanks (Android 18, Adult Gohan, Goku SSJ)
Juara 4. FOX|SonicFox (Bardock, Fused Zamasu, Android 16)
Juara 5. EG|NYChrisG (Teen Gohan, Tien, Yamcha)
Juara 5. BC|Tachikawa (Kid Buu, Hit, Frieza)
Juara 7. BC|ApologyMan (Piccolo, Tien, Goku SSJ | Piccolo, Teen Gohan, Goku SSJ)
Juara 7. SubatomicSabers (Vegito, Cell, Gotenks)
–
Demikianlah rekap singkat tentang beberapa fighting game terpopuler di acara Combo Breaker 2019. Sebetulnya masih banyak lagi game lain yang dipertandingkan, bahkan ada lebih dari 20 turnamen di festival besar ini. Namun akan menjadi terlalu panjang bila ditulis semuanya. Bila Anda tidak sempat mengikuti acaranya dan tertarik menonton lebih banyak, Anda dapat melihat berbagai klip highlight lewat akun Twitter resmi Combo Breaker 2019 di tautan berikut.
Yummy Corp meresmikan akuisisi pelopor layanan katering online Berrykitchen dengan nilai yang tidak disebutkan. Seluruh tim Berrykitchen telah bergabung ke salah satu unit bisnis Yummy Corp, Yummybox. Aplikasi pun telah dilebur dan bisa diunduh untuk versi Android maupun iOS.
“Tim Berrykitchen menjadi operator untuk divisi Yummybox di bawah Yummy Corp. Dari sisi layanan ada banyak hal yang ditingkatkan baik dari aplikasi kami. Sebab kami ingin pengalaman konsumen yang lebih seamless saat memesan Yummybox,” terang CEO Yummy Corp Mario Suntanu, Rabu (29/5).
Menurutnya, pertimbangan untuk akuisisi Berrykitchen lantaran dalam diskusi antar kedua belah pihak, ternyata memiliki kesamaan visi dan misi. Pangsa pasarnya pun sama dengan Yummybox, menyasar karyawan kantoran yang mulai peduli dengan rasa dan kesehatan dari makanan yang mereka konsumsi.
Dengan akuisisi ini Mario berharap Yummy Corp dapat menjadi pemain terdepan di layanan katering karena kini sudah mencakup semua segmen.
Menurut informasi yang kami terima, Pendiri Berrykitchen Cynthia Tenggara sudah exit dari perusahaan.
“Akuisisi ini merupakan tahap awal kami untuk memperkuat positioning di pasar, serta menghadirkan pengalaman baru bagi para pekerja untuk memperoleh makan siang dengan kualitas dan rasa terbaik.”
Secara total, Yummy Corp memiliki empat lini bisnis usaha, yaitu “Food Service Management” untuk mengelola makanan karyawan secara keseluruhan setiap harinya. Kemudian, “White Label Outlets” untuk layanan outlet maupun kafe yang dapat disesuaikan dengan identitas maupun brand perusahaan masing-masing.
“Yummybox” untuk konsep makan siang praktis setiap hari hingga kebutuhan meeting perusahaan. Terakhir, “Yummy Kitchen” di mana Yummy Corp membangun beberapa brand sendiri maupun kerja sama dengan brand lain untuk menyajikan makanan siap saji dengan pemesanan melalui kanal digital.
Yummy Corp memiliki dua central kitchen untuk mengakomodir semua pesanan, berlokasi di Tangerang dan Jakarta Pusat. Dapur di Jakarta Pusat lebih diarahkan untuk finishing kitchen dan menjadi titik awal pengiriman ke berbagai lokasi konsumen.
Di sana mampu memenuhi pesanan hingga 12 ribu sampai 15 ribu porsi setiap harinya. Adapun saat ini secara keseluruhan Yummy Corp rata-rata pesanan harian diklaim telah tembus di angka 4 ribu sampai 5 ribu porsi. Cakupan layanan Yummy Corp baru tersedia untuk Tangerang dan Jakarta.
Mario menyebut Yummy Corp memiliki lebih dari 50 mitra korporat dengan berbagai kebutuhan, seperti katering untuk event, karyawan, atau mengirimnya ke klien atau konsumen. Beberapa nama di antaranya adalah Unilever dan Wings.
Fitur baru Yummybox
Sejak peleburan Berrykitchen, perusahaan banyak melakukan pengembangan fitur dalam aplikasi untuk menarik banyak konsumen. Seperti Food Playlist, untuk permudah konsumen tidak terlalu pusing memilih makanan setiap hari. Dengan sekali pesan, fitur ini akan menyediakan menu makan siang untuk lima hari atau 10 hari kerja.
Di samping itu, Food Playlist dapat dipilih sesuai kebutuhan pelanggan. Terdapat pilihan menu budget, premium, healthy, internasional maupun pilihan food playlist spesial tema tertentu seperti Ramadan dan Ulang Tahun Jakarta. Harga makanan yang dijual bervariasi mulai dari Rp25 ribu sampai Rp50 ribu per porsi.
Fitur lainnya adalah Skip untuk memudahkan konsumen dengan mobilitas tinggi. Jika mereka mendadak harus meeting keluar kantor, cukup mengaktifkan fitur ini sebelum pukul 10 pagi di hari pengantaran. Maka Yummybox tidak akan mengantarkan makan siang mereka agar tidak terbuang sia-sia.
Terdapat pula fitur Cancel untuk membatalkan pesanan pada ketentuan yang sama dengan Skip. Uang konsumen akan dikembalikan secara penuh oleh Yummybox.
“Yummybox sangat memperhatikan pengalaman pelanggan dari setiap sisi, sejak order, proses memasak hingga pengantaran, bahkan kami memiliki tim R&D sendiri untuk memastikan menu makanan yang hadir tiap harinya selalu bervariasi,” tambah Marketing Director Yummybox Raetedy Refanatha.
Yummybox sudah hadir sejak awal 2017. Yummy Corp adalah mitra strategis Ismaya Group, brand gaya hidup F&B terkemuka dengan pengalaman lebih dari 15 tahun di industri kuliner Indonesia.
Sementara Berrykitchen telah beroperasi sejak 2012. Telah melayani ratusan ribu pelanggan yang sebagian besar adalah kalangan pekerja profesional di Jabodetabek. Berrykitchen menerima investasi Seri A dari Sovereign’s Capital di 2015.
Dalam menjalankan sebuah startup menambah anggota tim adalah sebuah keniscayaan. Seiring berkembangnya sebuah bisnis tim juga harus berkembang, untuk mengimbangi peningkatan operasional juga untuk melanjutkan inovasi selanjutnya.
DailySocial beberapa kali menerbitkan tips mengenai perekrutan talenta. Beberapa di antaranya berfokus bagaimana menemukan talenta terbaik dan pengalaman dari beberapa pihak.
Untuk melengkapi tips yang ada, tulisan kali ini akan membahas mengenai bagaimana menghindari kesalahan dalam merekrut talenta.
Media promosi lowongan
Di mana kita mempromsikan lowongan akan berpengaruh dengan siapa saja yang akan datang melamar. Untuk itu tidak ada salahnya untuk mengumumkan lowongan pekerjaan melalui media-media yang lebih fresh, misalnya podcast, youtube, atau bahkan acara offline.
Khusus untuk acara offline, salah satu caranya dengan mengadakan acara temu komunitas, seminar atau bahkan open house. Memperhatikan siapa saja yang datang, siapa saja yang tertarik, dan siapa saja yang antusias. Pendekatan ini bermanfaat untuk mengetahui minat dan keterarikan seseorang terhadap tema yang diadakan. Nilai tambah lainnya kita bisa lebih dekat dengan komunitas dan mendapat akses untuk sumber talenta yang lebih banyak
Head Hunting
Mencari talenta baru bukan berarti harus mencari mereka yang sedang membutuhkan lowongan, alternatifnya adalah mencoba memberi tawaran kepada mereka yang memang sudah ada di bidangnya, meski masih bekerja. Hal ini lazim dilakukan oleh startup, tinggal bagaimana penawaran yang dilakukan.
Sistem “jemput bola” ini bisa sangat mengurangi kesalahan / risiko dalam merekrut talenta baru. Proses head hunting lazimnya akan dimulai dengan pengamatan mendalam mengenai perseorangan, mulai dari posisinya sekarang dan kemampuan yang dimiliki. Kemudian pengamatan akan dilanjutkan dengan profil perseorangan.
Yang perlu dipertimbangkan ketika memutuskan memberikan penawaran untuk mereka yang sudah memiliki posisi/pekerjaan adalah nilai tawar. Mereka tentu akan menimbang keuntungan-keuntungan apa yang akan didapatkan dan selalu akan dibandingkan dengan posisi mereka sekarang.
Di sisi lain, proses head hunting, yang biasanya dilakukan untuk mengisi posisi pimpinan atau setidaknya untuk memimpin sebuah tim, memiliki banyak sekali keunggulan. Salah satunya adalah kemampuan dan pengalaman yang terjamin.
Situs pencarian kerja
Situs pencarian kerja bisa jadi cara paling sederhana untuk melakukan proses pencarian talenta baru. Namun perlu diingat, tidak semua situs pencarian kerja menawarkan talenta yang sesuai dengan kebutuhan bisnis. Untuk mengurangi risiko menyaring terlalu banyak pelamar gunakanlah situs pencarian kerja yang terpercaya, atau situs pencarian kerja yang spesifik. Misalnya situs lowongan khusus programmer, public relation, dan lainnya.
Selain situs pencari kerja media sosial juga bisa jadi kanal untuk mencari talenta berbakat. Selain mengetahui profil, media sosial juga sering dijadikan tempat untuk pamer karya dan keterampilan oleh sebagian orang.
EV Growth, dana investasi untuk startup tahap lanjut Asia Tenggara, mengumumkan telah mengumpulkan dana Fund 1 sebesar $200 juta (hampir 2,9 triliun Rupiah), lebih besar dari target awal $150 juta. Termasuk dalam jajaran investor untuk dana kali ini adalah SoftBank Group Corp, Pavilion CapitaI, Indies Capital, dan investor regional lainnya.
Didirikan pada awal tahun 2018 lalu, EV Growth dikelola East Ventures, SMDV, dan Yahoo Japan (YJ) Capital untuk membantu startup yang membutuhkan dana tahap Seri B atau lebih lanjut (growth stage). Sejauh ini EV Growth telah menginvestasikan 40% dananya ke 12 startup, 90% di antaranya berasal dari Indonesia, termasuk Sociolla, Ruangguru, IDN Times, Moka, dan Warung Pintar.
Partner EV Growth Willson Cuaca mengatakan, “Kami mendirikan EV Growth untuk membantu para startup terbaik di Indonesia, termasuk namun tidak terbatas pada portofolio East Ventures. Waktu pendirian, besarnya dana investasi, dan kecepatan kami dalam mengeluarkan dana investasi, semuanya tepat, dan kami senang bisa mengundang dana investasi ‘pintar’ [smart money] selama masa penggalangan dana yang singkat ini. Kami percaya bahwa EV Growth akan memberikan pengaruh kepada ekonomi digital di Asia Tenggara dalam waktu yang cepat.”
Masuknya Softbank Group sebagai investor di dana ini menegaskan besarnya potensi startup di pasar Asia Tenggara ini. Sebelumnya Softbank telah berinvestasi di beberapa startup unicorn, seperti Tokopedia dan Grab.
“Bagi SMDV, kolaborasi ini menandai evolusi selanjutnya dari apa yang telah kami lakukan di sektor teknologi Asia Tenggara selama lima tahun terakhir. [..] Kami percaya bahwa kami telah memiliki sistem dan tim yang tepat untuk menghadapi peluang yang terus berkembang dalam pendanaan startup di tahap pertumbuhan (growth stage) di Asia Tenggara,” ujar Partner EV Growth Roderick Purwana.
PEAK6 adalah sebuah perusahaan investasi dan teknologi yang berbasis di Chicago, Amerika Serikat. Mereka pun mengumumkan bahwa telah mengakuisisi Evil Geniuses (EG) dan menunjuk CEO baru untuk organisasi ini sebagai bagian dari kesepakatannya.
Nilai kesepakatan akuisisi organisasi ini memang tidak dibuka ke publik. Menurut The Esports Observer, tim ini pun menolak untuk mengungkap informasi lebih lanjut tentang nilai akuisisinya.
Nicole LaPointe Jameson, yang sebelumnya seorang associate untuk divisi Strategic Capital di PEAK6, akan menjadi CEO Evil Genius yang baru. Sedangkan Phillip Aram, COO EG, masih akan menjabat posisi yang sama sejak dipilih dari bulan September 2017 yang lalu.
Dikutip dari The Esports Observer, Jenny Just, Co-Founder PEAK6, sempat memberikan komentarnya tentang akuisisi ini. “Kami memang telah lama menjadi investor untuk olahraga tradisional dan kami sangat bersemangat bisa terjun langsung ke komunitas gaming kompetitif.”
Ia pun melanjutkan, “melihat industri esports yang berkembang dan berevolusi, kami memang memiliki kesamaan visi dengan EG untuk menciptakan pengalaman yang inovatif sekaligus berkesan untuk para fans dan atletnya. Kerjasama ini menguatkan misi kami untuk memimpin semangat kompetitif dan hasrat untuk merangkul pengguna melalui teknologi.”
After years of searching for the right partner, we can say that we’ve finally found them. Evil Geniuses is happy to announce that we’ve been acquired by PEAK6 Investments.
Sebelumnya, EG sendiri dimiliki oleh Twitch, sebuah platform streaming untuk komunitas gaming; saat mereka mengakuisisi Good Game Agency di 2014. Desember 2016, Twitch pun melepas kepemilikan mereka dan memberikannya kepada para pemainnya. Kala itu, para pemainnya bahkan dipersilakan untuk memilih manajemennya sendiri.
EG memang punya banyak divisi seperti Dota 2, Rainbow Six Siege, Fortnite, Call of Duty, dan Rocket League. Namun demikian, divisi Dota 2 mereka lah yang membuat organisasi ini meroket popularitasnya. EG adalah tim yang membesarkan pemain muda berbakat Sumail Hassan. EG juga pernah jadi juara dunia di Dota 2 saat menjuarai The International 2015.
Momen Hari Raya Idul Fitri identik dengan libur panjang. Ada yang menggunakannya untuk mudik atau pulang ke kampung halaman. Ada pula yang mengisinya dengan traveling, bepergian ke beberapa destinasi wisata.
Yang pasti bakal ada banyak hal yang terjadi, baik yang menyenangkan maupun yang mungkin tidak mengenakkan. Tentu saja, Anda membutuhkan sebuah perangkat yang andal untuk menemani dan sekaligus membantu memudahkan aktivitas selama liburan Anda – seperti OPPO F11 misalnya.
1. Layar Besar dengan Notch
Sebelum berangkat tentunya Anda telah melakukan persiapan khusus, apalagi kalau tujuan lokasinya baru pertama kali Anda kunjungi. OPPO F11 dengan layar sebesar 6,53 inci Full HD+ dan notch mini di atasnya, mampu menampilkan lebih banyak konten.
Browsing cari tempat rekomendasi kuliner yang enak, pesan tiket hotel, petunjuk arah dengan Google Maps, hingga mencari konten hiburan – semua yang Anda butuhkan dapat ditampilkan lebih banyak pada OPPO F11 yang lapang.
2. VOOC Flash Charge 3.0
Buat Anda yang menempuh perjalanan jauh dengan mobil dan lewat jalan tol, rest area bisa menjadi penolong untuk melepas lelah, mengisi bahan bakar, makan, hingga charge smartphone.
Meski kapasitas baterai OPPO F11 sejatinya sudah cukup besar; 4.020 mAh. Namun, untuk jaga-jaga sebaiknya charge smartphone selagi ada kesempatan. Nah berkat inovasi VOOC Flash Charge 3.0, baterai akan terisi lebih cepat meski hanya punya sedikit waktu mengisi ulang.
3. Kamera Utama 48 MP
Bila sudah sampai di destinasi wisata, nikmatilah saat itu juga. Dengan OPPO F11, kita bisa menghasilkan foto dengan resolusi sangat tinggi yakni 48 MP. Sehingga mampu menangkap pemandangan alam yang indah atau kemegahan arsitektur bangunan dengan sangat detail.
Sensor kamera yang digunakan ialah Sony IMX586. Dengan teknologi Quad Bayer, setiap 2×2 piksel bekerja sebagai satu piksel dan menghasilkan foto 12 MP dengan piksel besar 1,6 μm.
Diperkuat dengan fitur AI Scene Recognition, kamera OPPO F11 akan mengenali berbagai macam objek. Sehingga Anda dapat memotret kebersamaan keluarga maupun foto menu makanan sajian khas, baik siang atau malam hari dengan optimal.
4. Memori Internal 128 GB
Dengan ruang penyimpanan sebesar ini, bukan hanya foto yang bisa Anda simpan melainkan juga video. Jadi, Anda bisa merekam footage atau cuplikan-cuplikan perjalanan liburan dan nge-vlog dengan kamera depan yang beresolusi 16 MP.
Baik kamera depan maupun belakang OPPO F11, mampu merekam video pada resolusi 1080p 30 fps. Hasil rekamannya bisa langsung diedit di smartphone, saya biasanya menggunakan aplikasi Quik atau Adobe Premiere Clip. Ditenagai chipset Mediatek Helio P70 dan berpadu RAM 4 GB, proses rendering video dapat diproses dengan cukup cepat.
5. Mode Gaming
Meski liburan sudah direncanakan dengan matang, kadang muncul masalah yang tak terduga. Misalnya kena macet saat menuju ke tempat wisata berikutnya atau menunggu dalam antrean yang panjang.
Biar nggak bosan saat menunggu, asyiknya tentu bermain game favorit. OPPO F11 ini sudah dioptimalkan untuk aktivitas gaming dan memiliki mode gaming yang disebut Game Space. Lewat fitur ini Anda bisa mengaktifkan mode ‘high performance‘, game populer seperti PUBG Mobile dan Mobile Legends dapat dimainkan dengan lancar di level grafis HD.
Itulah lima fitur dari OPPO F11 yang membuatnya cocok untuk teman liburan lebaran Anda. Meskipun smartphone ini menawarkan banyak hal buat Anda, jangan lupa fokus nikmati liburan Anda ya.
Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh OPPO.
Industri esports telah berkembang dengan begitu pesat dalam lima tahun terakhir. Perkembangan yang dimaksud terjadi di banyak aspek, termasuk ukuran pasar, jumlah uang yang berputar, hingga persebaran platform dan demografi yang mendukungnya. Berbagai pihak berlomba-lomba melakukan investasi di bidang ini, apalagi setelah mereka melihat besarnya potensi yang masih terus tumbuh.
Tahun 2018 terutama telah menjadi tahun yang sangat signifikan, karena dalam satu tahun itu saja, total investasi di dunia esports global telah mencapai angka US$4,5 miliar. Angka tersebut luar biasa besar, tapi sebetulnya ada yang lebih penting daripada besarnya angka. Dinamika investasi esports dalam lima tahun terakhir menunjukkan bahwa industri ini memiliki suatu staying power. Ada kekuatan dalam esports untuk terus bertahan dan menjadi industri yang dewasa di masa depan, bukan sekadar bubble yang akan pecah lalu menghilang.
Media bisnis esports The Esports Observer beberapa waktu lalu telah merilis laporan yang menunjukkan kondisi iklim investasi industri esports selama lima tahun terakhir. Seperti apa perkembangannya, dan wawasan apa yang bisa kita dapatkan dari sana? Berikut ini beberapa intisarinya.
Mereka yang berinvestasi di bidang esports
Permainan game kompetitif sudah ada sejak lama, tapi keberadaannya sebagai bidang profesional (esports) masih terhitung baru. Di tahun 2000an, esports mesih merupakan suatu hobi yang mahal. Jumlah game yang mendukung kompetisi jaringan (LAN dan online) masih sedikit, perangkat untuk memainkan game berkualitas masih relatif mahal, dan infrastruktur online masih merupakan kemewahan yang tidak dimiliki semua orang. Apalagi diperburuk dengan adanya krisis ekonomi global pada tahun 2007 – 2008. Di era ini pun sarana untuk menyiarkan pertandingan video game masih sangat terbatas. Lebih-lebih monetisasi, mungkin bahkan belum terpikirkan.
Titik awal yang melejitkan pertumbuhan esports adalah terjadi di era 2010an. Banyak faktor terjadi secara bersamaan yang membuat esports berkembang pesat. Di antaranya adalah tren model bisnis baru yaitu games as a service (GaaS), di mana penerbit/developer game tidak hanya merilis game sebagai barang sekali jadi tapi terus memberikan update serta mendapatkan revenue dari sana.
Model bisnis GaaS memberi alasan bagi para penerbit/developer untuk terus menjalankan sebuah game hingga bertahun-tahun lamanya—bahkan hingga beberapa dekade. Popularitas GaaS juga didorong oleh menjamurnya berbagai game free-to-play, salah satunya League of Legends yang meledak hebat di pasar barat. Karena penerbit/developer perlu terus-menerus mendatangkan revenue, mereka juga perlu terus-menerus melakukan usaha marketing. Dukungan terhadap ekosistem kompetitif sejatinya merupakan perpanjangan dari upaya marketing itu. Karena itu wajar bila penerbit/developer game merupakan salah satu stakeholder terbesar di dunia esports, juga salah satu investor terbesar di dalamnya.
Paralel dengan mulai membesarnya ekosistem esports, dunia layanan streaming video juga sedang berkembang pesat. Popularitas platform-platform seperti YouTube dan Twitch memungkinkan penyelenggara esports untuk menyiarkan pertandingan secara rutin, juga menjangkau audiens dalam jumlah besar. Peningkatan minat masyarakat terhadap esports memungkinkan para penyelenggara ini tumbuh menjadi perusahaan mandiri yang bergerak di bidang event (tournament operators).
Perusahaan-perusahaan event itu kemudian menarik minat investasi dari berbagai brand teknologi raksasa dunia. Lagi pula, audiens yang menikmati esports itu kebanyakan memang sejalan dengan demografi konsumen penikmat produk-produk teknologi. Beberapa perusahaan venture capital juga menunjukkan minat untuk memberikan sokongan, tapi beberapa faktor risiko seperti potensi high-growth, sejarah operasi yang masih pendek, serta stabilitas industri esports awal yang kurang baik membuat perusahaan-perusahaan konglomerat besar ragu untuk berinvestasi.
The Esports Observer mencatat sejumlah investasi signifikan yang berperan besar dalam mempercepat pertumbuhan esports selama satu dekade terakhir. Investasi-investasi ini diterima oleh perusahaan-perusahaan developer game, streaming, event, teknologi, serta tim esports. Sementara pelaku investasinya adalah perusahaan-perusahaan developer game, teknologi, media, serta perusahaan ekuitas. Delapan contoh investasi tersebut dapat Anda lihat dalam tabel di bawah.
Menginjak tahun 2018, industri esports mulai bergerak ke fase kedewasaan (maturity). Prioritas sudah mulai bergeser, dari sekadar mengejar pertumbuhan menjadi mengejar keberlanjutan (sustainability). Tanda-tandanya dapat kita lihat dari munculnya kompetisi-kompetisi esports tingkat pelajar/mahasiswa, program-program franchise, lembaga-lembaga regulasi, dan lain-lain. Masyarakat pun telah semakin menerima esports sebagai bagian dari hiburan di era modern.
Fase kedewasaan ini menarik minat industri-industri yang bertetanggaan dengan esports untuk turut berpartisipasi. Industri tetangga yang dimaksud adalah industri olahraga dan entertainment. Tim-tim besar dunia olahraga telah banyak yang membuka divisi esports, bahkan turut berpartisipasi mengadakan liga esports tertentu. Perusahaan venture capital pun menunjukkan peningkatan minat.
Meskipun nilai investasi terbesar di tahun 2018 masih datang dari penerbit game, platform streaming, dan developer software, jumlah investasi dari venture capital tahun tersebut meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Terdapat 49 investasi venture capital di industri esports sepanjang 2018. Total pendanaan yang diraih lima tim esports terbesar di tahun ini mencapai US$150 juta, namun investasi venture capital ini tidak hanya untuk tim saja. Tim esports hanya mengisi 18% dari keseluruhan investasi itu, sementara sisanya tersebar ke platform media dan periklanan (45%) serta developer (31%).
Menariknya, banyak investasi dari venture capital tersebut adalah investasi yang sangat erat dengan teknologi baru. Contohnya investasi BITKRAFT Esports Venture ke Epics.gg yang merupakan platform trading card digital. Perusahaan analitik dan kecerdasan buatan juga diminati. Di samping venture capital, investasi dunia esports ini juga diisi oleh para individu atau keluarga (family office), perusahaan private equity (PE), dan perusahaan-perusahaan strategis, namun jumlahnya masih jauh di bawah venture capital.
Sebagai catatan tambahan, sebetulnya ada dua investasi besar lain yang terjadi di tahun 2018 namun tidak tertera dalam tabel dan grafik di atas. Pertama yaitu investasi Tencent Holdings terhadap dua perusahaan streaming terkemuka Tiongkok, Douyu TV dan Huya TV, senilai total US$1,1 miliar. Epic Games juga telah mendapatkan investasi senilai US$1,3 miliar dari berbagai perusahaan venture capital. Dua transaksi merupakan kasus khusus dengan nilai investasi tunggal yang sangat besar, sehingga dikhawatirkan dapat membuat grafik investasi menjadi timpang dan kurang representatif.
Mengapa berinvestasi di industri esports?
Setiap investasi pasti memiliki dua sisi, yaitu potensi keuntungan (benefit) dan potensi tantangan atau kerugian (risk). Dua sisi ini pun harus kita lihat lagi dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang investor dan sudut pandang penerima investasi (investee). Secara umum, esports adalah industri yang menawarkan potensi keuntungan besar, namun setiap investasi harus disertai juga dengan riset mendalam untuk menghindari investasi salah sasaran, terutama untuk investor non-endemic.
The Esports Observer mencatat bahwa ada tiga faktor utama yang bisa menjadi daya tarik industri esports terhadap para investor. Tiga faktor itu adalah:
Profil pertumbuhan yang kuat. Dengan total revenue senilai US$869 juta sepanjang 2018 dan prediksi nilai pertumbuhan tahunan (CAGR) sebesar 34,9% dalam empat tahun ke depan, industri esports jelas merupakan pasar yang menjanjikan. Selain itu industri ini juga merupakan industri yang bersifat disruptif terhadap media dan olahraga tradisional. Ada potensi untuk menjadi “the next big thing” yang merupakan daya tarik tersendiri bagi investor.
Kesempatan diversifikasi. Keunikan industri esports dapat menjadi pilihan bagi investor-investor tradisional yang sedang mencari cara diversifikasi. Ditambah lagi esports adalah industri yang masih baru, sehingga tren yang terjadi di dalamnya belum tentu merepresentasikan industri secara keseluruhan. Implikasinya, investasi dalam esports bisa menawarkan hedging yang kuat, dan itu berarti pengurangan risiko.
Akses ke demografis kunci. Industri esports di tahun 2018 memiliki basis penggemar global sebanyak 370 juta jiwa, dengan 37% di antaranya adalah pria berusia 21 – 35 tahun, dan 16% di antaranya adalah wanita berusia 21 – 35 tahun. 61% dari penikmat esports Amerika Serikat memiliki penghasilan di atas US$50.000 per tahun. Artinya ada porsi besar demografis esports ini yang merupakan orang-orang dengan buying power. Mereka juga merupakan demografis yang semakin lama semakin kurang tertarik dengan media-media tradisional. Demografis seperti ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan awareness terhadap brand non-endemic tertentu, melakukan penjualan silang dengan produk-produk dan jasa yang ada di bawah satu investor yang sama, atau potensi lainnya. Yang pasti, demografis penggemar yang unik ini dapat menjadi faktor kunci investasi.
Sementara dari sudut pandang penerima investasi (investee), ada satu hal penting yang patut diketahui. Yaitu bahwa keuntungan yang datang dari investasi ini bukanlah dukungan finansial semata, tapi juga mengandung banyak keuntungan lain. Pemahaman terhadap keuntungan-keuntungan tersebut dapat menjadi pertimbangan investee dalam memilih partner yang akan menjadi investor mereka, juga menentukan sejauh mana peran investor dalam operasi perusahaan investee.
Ada tiga keuntungan utama yang didapat oleh investee dari sebuah investasi, antara lain:
Pemasukan (Proceeds). Keuntungan yang paling jelas dan langsung diterima perusahaan adalah masuknya modal. Di tengah industri esports yang tumbuh begitu cepat, banyak perusahaan esports yang mengandalkan investasi modal untuk meraih oportunitas baru, atau mempertahankan market share mereka. Selain itu, beberapa liga esports ternama seperti LoL Championship Series dan Overwatch League menggunakan sistem franchise, di mana tim partisipan wajib membayar biaya franchise yang besarnya bisa mencapai US$ – 20 juta. Ini bukan angka yang kecil, dan banyak tim esports belum bisa mendatangkan cukup revenue untuk membayar biaya tersebut. G2 Esports adalah salah satu contoh tim yang memanfaatkan modal investasi untuk membiayai franchise, ketika mereka mendapat pendanaan senilai US$17 juta pada bulan Februari 2019.
Pengetahuan (Knowledge). Industri esports adalah industri baru, dan dalam proses menuju kedewasaan, masih memiliki sisa-sisa karakteristik akar rumput. Banyak perusahaan, baik itu tim, organizer, atau startup yang berdiri pada mulanya sebagai passion project. Mereka memang memiliki keahlian tertentu dan paham tentang industri esports, tapi mungkin masih kekurangan pengetahuan, pengalaman, serta koneksi untuk membesarkan bisnis mereka. Investor memiliki kesempatan untuk masuk sebagai anggota dewan, penasihat, atau posisi strategis lainnya dalam perusahaan investee. Justru sering kali perusahaan esports bukan mencari investor yang sekadar menyuntikkan dana, tapi lebih butuh investor yang bisa mengarahkan mereka agar berkembang.
Kredibilitas (Credibility). Dalam setahun terakhir industri esports telah mendapatkan kredibilitas yang baik, namun masih butuh perbaikan agar dapat dipandang setara dengan industri-industri tradisional. Sering kali, ketika terjadi diskusi dengan partner, investor, sponsor, atau pemerintah, pelaku esports masih harus mengedukasi mereka tentang bagaimana industri ini bekerja. Begitu pula para investor masih perlu diyakinkan tentang potensi ekonomi yang ada. Memiliki ikatan dengan investor ternama dapat membuat organisasi esports jauh lebih dipercaya. Sebagai contoh brand non-endemic mungkin tidak pernah mendengar nama aXiomatic, atau tidak begitu mengenal nama Team Liquid. Tapi begitu mereka tahu bahwa salah satu investor aXiomatic dan Team Liquid adalah sang legenda NBA Michael Jordan, mereka akan lebih berminat untuk melirik. Kekuatan selebritas atau perusahaan investasi tradisional (venture capital, private equity, dan sebagainya) dapat menjadi pendongkrak kredibilitas organisasi esports yang menjadi investee.
Peran infuencer, kekuatan dan ancamannya
Sama seperti olahraga konvensional, esports pun memiliki pemain-pemain bintang yang keahliannya dapat memikat banyak penggemar. Kemajuan teknologi streaming tidak hanya menguntungkan event organizer, tapi juga memberi ruang bagi pemain-pemain tersebut untuk berinteraksi secara langsung dengan penggemar sambil unjuk keahlian. Beberapa streamer besar dapat menarik jutaan penggemar, dan ini merupakan kekuatan tersendiri.
Uniknya, di industri esports istilah “influencer” memiliki konotasi yang dipandang negatif. Walaupun sebetulnya sama saja dan penggunaan istilah ini sudah umum di dunia marketing, para selebritas internet ini—dan penggemarnya—lebih suka menggunakan istilah streamer atau content creator. Penyebabnya adalah karena kultur industri esports yang sangat mengutamakan kejujuran, atau keaslian, atau autentisitas dari para pelakunya. Ide tentang autentisitas ini bertentangan dengan peran para gamer profesional sebagai sebuah kekuatan marketing.
Sebetulnya tidak ada yang salah dengan influencer secara mendasar, tapi kemudian muncul kasus-kasus yang membuat nama influencer menjadi jelek. Contohnya skandal CSGO Lotto di tahun 2016, atau kontroversi beberapa nama besar seperti Pewdiepie (Felix Kjellberg). Skandal CSGO Lotto, di mana dua YouTuber populer mempromosikan situs judi skin tanpa menginfokan bahwa merekalah pemilik situs tersebut, menjadi kasus pertama yang dilayangkan oleh Federal Trade Commission (FTC) terhadap influencer.
Fenomena influencer menjadi sebuah ironi ketika beberapa influencer—yang notabene mendapat nama besar dari bermain di tim—justru memperoleh popularitas dan kesuksesan finansial lebih tinggi dari tim-tim esports. Bagi organisasi esports, influencer bisa menjadi ancaman karena brand bisa lebih tertarik untuk berinvestasi terhadap influencer individu ketimbang tim. Apalagi bila ongkos yang dikeluarkan lebih kecil dan timbal balik yang didapat lebih besar.
Dalam beberapa kasus, pro player akhirnya meninggalkan timnya, fokus pada karier sebagai influencer, dan sukses besar. Contohnya yang sangat terkenal adalah Shroud (Michael Grzesiek), mantan atlet Counter-Strike: Global Offensive. Selain menjadi saingan terhadap timnya sendiri (dari sisi marketing), langkah seperti ini juga membuat tim kehilangan talenta penting, dan pada akhirnya berpotensi untuk menurunnya minat penggemar. Kompetisi tambahan datang dari agensi-agensi tradisional yang menciptakan divisi gaming sendiri dan kemudian “menculik” talenta-talenta dari organisasi-organisasi esports.
Meski demikian tak selamanya influencer dan tim esports itu berseberangan. Tim-tim esports populer justru memiliki pemain atau divisi khusus yang terdiri dari para influencer ini. Mereka menggunakan sosok-sosok populer dunia gaming untuk mempromosikan produk sponsor (misalnya lewat konten video), dan membagi keuntungannya dengan si pemain.
Fortnite adalah cabang esports yang memiliki posisi unik. Game ini memiliki ekosistem kompetitif, lengkap dengan turnamen dunia bertajuk Fortnite World Cup yang event utamanya menjanjikan hadiah senilai US$30.000.000—terbesar sepanjang sejarah esports. Tapi sebetulnya value utama tim-tim profesional Fortnite bukanlah sebagai kompetitor, namun sebagai streamer.
Lebih dari sebuah game, Fortnite kini telah berevolusi menjadi sesuatu yang disebut “video game social media platform”. Fortnite bukan hanya tempat bermain, tapi juga tempat untuk berkumpul dan bersenang-senang bersama teman-teman. Ekosistem Fortnite pun kini sudah banyak dimasuki selebritas, mulai dari Deadmau5, Chance the Rapper, dan lain-lain. DJ Marshmello bahkan pernah mengadakan konser khusus di dalam game Fortnite.
The Esports Observer mengibaratkan fenomena influencer di dunia esports seperti tayangan gulat profesional yang sempat booming di era 1980an. Bukan berarti hasil pertandingan Fortnite itu direkayasa, tapi sebetulnya masyarakat memandang Fortnite bukan sebagai sebuah kompetisi sungguhan, melainkan suatu bentuk hiburan. Bedanya, pegulat profesional tidak mengancam keberlangsung olahraga lainnya. Sementara popularitas influencer bisa jadi menempatkan tim esports dalam posisi sulit, bahkan mungkin saja influencer akan menjadi aspek dominan dari dunia siaran video game dan lebih menarik minat stakeholder.
Melihat potensi serta risiko di atas, ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab oleh tim esports yang juga memberdayakan influencer, antara lain:
Bisakah organisasi esports tersebut menjamin kesuksesan influencer mereka?
Jika investor dan brand bisa memperoleh ROI dan reach lebih tinggi lewat influencer, bagaimana pengaruhnya terhadap para pemain kompetitif?
Perlukah organisasi esports mengubah model bisnis untuk memfasilitasi tren influencer?
Apa yang harus dilakukan bila brand value (jumlah follower, nilai sponsorship, dll) seorang influencer melampaui tim tempat ia bekerja?
Apa yang dicari oleh para investor?
Seiring industri esports memperoleh popularitas, jumlah investor yang berminat untuk terjun ke ekosistem ini pun semakin bertambah. Namun investor pun tidak semuanya punya tujuan yang sama, atau value proposition yang sama. Supaya sebuah organisasi esports bisa meraih potensi investasi dengan optimal, ada baiknya terlebih dahulu mengetahui jenis-jenis investor yang ada di industri ini dan apa saja yang mereka inginkan.
Jumlah investasi di dunia esports di tahun 2018 tercatat sebanyak 68 investasi, dan mayoritas investor ini terdiri dari venture capital. Sering kali, investasi venture capital ini diberikan pada perusahaan/organisasi yang masih berada di tahap awal. Investasi demikian dipandang punya risiko tinggi karena tidak adanya rekam jejak performa atau keuangan dari si investee. Karena itu, venture capital sering menginginkan nilai return on investment yang lebih tinggi daripada biasanya.
Di sisi lain, perusahaan private equity lebih lazim melakukan investasi dengan holding period selama 5 tahun, dan biasanya melakukan pembelian kepemilikan minoritas (di bawah 50%) atau mayoritas (di atas 50%). Pembelian investee secara penuh (100%) tergolong jarang, karena private equity biasanya ingin agar investee tetap menjalankan bisnis sendiri namun memberi insentif untuk pertumbuhannya. Dibanding venture capital, private equity lebih sensitif terhadap risiko, dan ingin melihat adanya rekam jejak keuangan yang baik dari investee.
Investasi individu atau family office lebih bervariasi. Wujudnya bisa bermacam-macam, tergantung dari ukuran perusahaan investornya. Target investee mereka pun bisa perusahaan baru (seperti investasi venture capital) atau perusahaan yang sudah mapan (seperti investasi private equity). Tujuan family office biasanya lebih ke arah mempertahankan nilai modal daripada mencari timbal balik sebesar-besarnya. Oleh karena itu, investasi family office biasanya tidak terikat pada jangka waktu, dan bisa saja menanamkan modal berjangka lebih dari lima tahun tanpa ragu-ragu.
Memandang karakteristik tiga jenis investor mayoritas di atas, tim esports adalah target investasi yang jarang diminati oleh private equity. Ini karena tim esports biasanya memiliki cash flow serta risiko yang masih tergolong sulit diprediksi. Penghasilan dari hadiah turnamen ataupun sponsorship bisa berubah-ubah kapan pun, dan perubahannya bisa besar sekali. Sulit untuk memperkirakan maupun memastikan pertumbuhan tim esports di masa depan.
Alih-alih tim esports, private equity lebih suka berinvestasi di perusahaan bidang-bidang pendukung esports, misalnya produk-produk konsumen atau perusahaan software. Tapi bila sebuah tim esports sudah berhasil membesarkan diri dan mendatangkan cash flow yang stabil, private equity bisa tertarik untuk berinvestasi. Di masa depan, seiring semakin banyak organisasi esports yang bisa menunjukkan performa finansial stabil, investasi private equity pun akan semakin banyak, dan ini menjadi sinyal bagi investor-investor lain untuk ikut terjun karena itu artinya investasi esports telah dipandang relatif aman.
Organisasi-organisasi esports yang belum bisa membuktikan performa cash flow dapat mencoba pendekatan lain untuk meyakinkan investor. Misalnya dengan cara menunjukkan rencana bisnis yang dapat mendatangkan revenue secara konsisten, seperti penjualan merchandise. Adanya sponsor yang konsisten berkontribusi—walaupun nilai finansialnya kecil—juga menunjukkan bahwa ada standardisasi cash flow yang merupakan faktor penting di mata investor.
Aset lain yang bisa ditonjolkan adalah basis penggemar yang besar, seperti follower di platform-platform gaming dan media sosial. Ini menarik karena investor mungkin memiliki kekuatan untuk memanfaatkan aset tersebut untuk mendatangkan revenue dengan cara yang tidak terpikirkan oleh investee sebelumnya.
The Esports Observer memaparkan beberapa poin penting yang akan menjadi pertimbangan ketika investor dan investee hendak menjalin kerja sama, antara lain:
Kepemilikan. Berapa besar ekuitas yang dilepas pemilik organisasi? Apakah pemilik awal masih tetap ingin memiliki kendali atas bisnisnya?
Pengalaman dan koneksi industri. Hal ini penting bila pemilik bisnis ingin melebarkan sayap ke pasar global, atau menurunkan biaya operasional.
Keputusan pergi atau tinggal. Apakah pemilik bisnis masih akan terus menjalankan bisnisnya, atau ingin melakukan exit? Lazimnya, investor esports lebih menyukai yang pertama.
Keselarasan. Seperti apa kecocokan visi antara investor dan investee? Apakah setelah investor masuk operasi bisnis investee akan berubah banyak? Venture capital dan private capital umumnya lebih fleksibel, namun private equity sering kali lebih ketat dalam hal ini.
Kekuatan manajemen. Mengingat esports adalah industri baru (dari sudut pandang investment viability), investor lebih suka bila investee memiliki tim manajemen yang kuat, supaya mereka dapat memanfaatkan wawasan serta merespons perubahan yang terjadi. Ini aspek penting untuk segala macam investee, mulai tim esports, developer, organizer, media, dan lain-lain.
Pengalaman. Kebanyakan investor tidak punya pengalaman mendalam di industri esports. Karena itu pengalaman harus dimiliki oleh pihak manajemen. Pengalaman ini juga mencakup koneksi, partner, serta jaringan yang dimiliki para pejabat senior sepanjang karier mereka di industri ini.
Dinamika industri. Investor akan memandang industri esports dari kacamata makroekonomi untuk melihat performa dan risiko yang mungkin terjadi. Dengan riset-riset mendalam, mereka akan bisa memprediksi pergerakan industri ini di masa depan. Investor juga akan mempertimbangkan ukuran pasar yang dicakup oleh perusahaan. Bila perusahaan sudah melayani sebagian besar pasar yang ada, kemungkinan untuk melakukan pengembangan menjadi lebih kecil karena market penetration lebih lanjut sulit dilakukan.
Kualitas finansial. Aspek ini mungkin tidak begitu disyaratkan oleh investor venture capital, namun lebih penting bagi private equity. Sifat venture capital memang cenderung suka mengeksplorasi hal baru, karena itulah mereka yang merupakan penggerak utama investasi esports di masa awal (sekitar tahun 2014). Kebanyakan tim esports masih belum bisa menunjukkan profitability yang konsisten, jadi aspek ini lebih penting untuk jenis perusahaan lain, misalnya perusahaan produk.
Modal kerja. Modal kerja adalah jumlah aset operasi yang ada dikurangi dengan jumlah liability. Aspek ini akan menentukan “harga beli” yang disepakati oleh investor. Tapi di dunia esports aspek ini masih belum terlalu penting, sebab kebanyakan perusahaan target investasi saat ini masih belum punya cukup waktu atau modal untuk menghasilkan aset yang cukup banyak.
Relasi dengan influencer. Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, influencer punya kekuatan besar yang mungkin bahkan bisa melampaui nilai ekonomi dari sebuah tim esports. Keberadaan influencer populer bisa menarik minat brand untuk ikut berpartisipasi, karena brand exposure yang mereka dapatkan akan sangat besar. Investor juga akan melihat kontrak yang berlaku antara perusahaan dengan influencer. Kontrak berisi revenue share besar dalam jangka panjang bisa membuat investor ragu, sebaliknya kontrak jangka pendek dengan revenue share kecil akan lebih menarik. Sering kali sposorship merupakan satu-satunya revenue konsisten dari sebuah organisasi esports, jadi kontrak-kontrak sponsorship ini akan menjadi pertimbangan besar untuk memperkirakan masa depan perusahaan investee.
Kesimpulan
Industri esports boleh berbangga hati dengan tingkat pertumbuhannya yang pesat. Tapi dari sudut pandang investasi tradisional, sebetulnya industri ini masih penuh gejolak dan masih sangat muda secara viability. Wajar saja bila kemudian ada investor-investor yang hati-hati dalam melangkah, terutama bila perusahaan target masih belum memiliki rekam jejak yang kuat.
Salah satu aspek terbesar yang dapat menjadi daya tarik terhadap investor adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan revenue secara konsisten. Revenue sebuah perusahaan bisa terdiri dari banyak aspek, seperti merchandise, sponsorship, iklan, hadiah turnamen, dan sebagainya. Sebagian jenis revenue ini sifatnya sementara, jadi perusahaan harus tahu mana jalur revenue yang bisa dipertahankan untuk jangka panjang dan mana yang berisiko hilang sewaktu-waktu.
Organisasi-organisasi esports juga harus awas terhadap dunia influencer, karena mereka memiliki kekuatan yang sangat besar. Dengan kerja sama yang baik, influencer bisa menjadi salah satu jalur revenue yang konsisten dan menjadi daya tarik bagi investor. Tapi sebaliknya, influencer juga bisa menjadi saingan bagi organisasi esports, dan bila influencer mampu menunjukkan ROI lebih tinggi dari sebuah perusahaan, besar kemungkinan investor justru menjauhi perusahaan.
Untuk menarik kontribusi dari investor-investor besar dan private equity, perusahaan investee harus memiliki tim manajemen yang kuat, pemahaman mendalam akan industri, serta visi untuk mengembangkan perusahaan lebih lanjut. Banyak perusahaan esports yang usianya masih muda, jadi tidak bisa menunjukkan rekam jejak yang kuat. Tapi perusahaan-perusahaan seperti ini tetap bisa menonjolkan keunggulan dari sisi lain.
–
Seluruh paparan di atas merupakan ikhtisar dari laporan yang disusun oleh The Esports Observer dan Deloitte, dengan judul “The Rise of Esports Investments”. Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat mengakses laporan tersebut lewat tautan di bawah.
Platform p2p lending KoinWorks setiap bulannya mengklaim telah menyalurkan pinjaman Rp150 miliar. Pinjaman ini paling banyak disalurkan kepada pelaku usaha fesyen, elektronik, aksesoris, dan komestik.
Menurut CMO KoinWorks Jonathan Bryan, bulan suci Ramadan ini juga menjadi momen yang penting bagi KoinWorks, dilihat dari makin meningkatnya minat para borrower untuk meminjam uang.
Saat ini KoinWorks masih menyasar segmen pasar yang terbukti makin banyak peminatnya yaitu kalangan UKM, termasuk di dalamnya penjual online shop yang memanfaatkan media sosial sebagai media promosi mereka. KoinWorks mencatat sebanyak 70% hingga 80% kontribusi dari total peminjam dari segmen tersebut.
Target hingga akhir tahun
Secara keseluruhan, jumlah investor di KoinWorks sudah melebihi angka 148 ribu. Nominal paling kecil yang bisa diinvestasikan sebesar Rp100 ribu. Sementara itu KoinWorks juga mengklaim kalangan milenial sudah mulai banyak melirik untuk kemudian menjadi investor. Sekitar 70% investor di bisnisnya berasal dari kalangan milenial dengan rentang usia 25 hingga 35 tahun.
Sementara itu jumlah penerima pinjaman (borrower) KoinWorks saat ini sebanyak 700.000 rekening. Jumlah pemberi pinjaman (lender) sebanyak 148.972 rekening. Hingga saat ini secara nominal pinjaman yang disalurkan 90% diberikan kepada modal kerja, sisanya kepada dana pendidikan.
Tahun 2019 ini KoinWorks memiliki target menyalurkan dana di angka Rp2,2 triliun. KoinWorks juga ingin menyasar segmen pasar baru yaitu pariwisata. Perusahaan sedang menguji coba penyaluran pinjaman untuk industri pariwisata. Saat ini, KoinWorks memilih pelaku UKM yang bergerak di bidang akomodasi pariwisata. Segmen usaha lainnya akan diseleksi terlebih dahulu karena belum tentu cocok dengan preferensi perusahaan.
Jepang adalah nama besar di industri game, tapi bila kita berbicara tentang perkembangan esports, negara ini masih tertinggal dibandingkan negara-negara maju lainnya. Baru-baru ini saja geliat esports di Jepang mulai meningkat, terutama setelah dibentuknya JeSU dan diubahnya aturan pemerintah tentang penyelenggaraan kompetisi permainan berhadiah.
Ekosistem esports yang mulai bergerak maju itu rupanya disambut positif oleh banyak pihak, termasuk salah satunya pemerintah kota Kanazawa. Kota yang terletak di prefektur Ishikawa ini sudah lama terkenal sebagai tujuan wisata karena industri kerajinan tangan tradisionalnya. Tapi bila ingin menarik minat anak-anak muda, mungkin ciri khas seperti itu kurang cocok. Esports dirasa bisa menjadi daya tarik yang sesuai dengan tujuan tersebut.
Dikabarkan oleh The Jakarta Post, ide tentang esports ini rupanya muncul ketika para pejabat pemerintah kota Kanazawa melakukan kunjungan ke Busan, Korea Selatan, pada bulan Mei tahun lalu. Perwakilan kedua kota ini sempat berdiskusi tentang antusiasme para penggemar muda di acara-acara gaming.
Kanazawa, seperti banyak kota lainnya di Jepang, tengah mengalami kekurangan anak muda karena mereka umumnya lebih suka berpindah ke Tokyo. Pemerintah Kanazawa ingin supaya kaum muda ini mau tetap tinggal di kota asalnya. Oleh karena itu mereka telah meluncurkan diskusi panel di bulan Agustus lalu dengan para pakar industri game untuk merancang rencana spesifik dalam rangka menarik industri esports dan yang berhubungan dengannya.
Di bulan Februari 2019, panel ahli tersebut telah mengumpulkan rencana untuk mempromosikan esports lewat kolaborasi dengan universitas, perusahaan, serta penduduk lokal. Kanazawa memang memiliki banyak perusahaan teknologi, juga kampus-kampus dengan program pendidikan teknologi dan seni. Rencana tersebut, yang disebut “Esports Culture’s Mecca Kanazawa”, mengandung misi untuk menjadi tuan rumah acara-acara esports yang dapat menarik minat partisipan ataupun penonton dari seluruh Jepang. Puyo Puyo serta Winning Eleven adalah beberapa judul yang akan tercakup dalam acara yang dimaksud.
Pemerintah Kanazawa juga akan membantu para mahasiswa di kampus-kampus lokal, misalnya Kanazawa College of Art dan Kanazawa Institute of Technology, untuk mendapatkan kesempatan magang di perusahaan-perusahaan bidang seputar game. “Kami ingin menciptakan lingkungan di mana kawula muda dapat bergabung dengan bisnis-bisnis baru lewat esports,” kata salah satu pejabat pemerintahan.
Salah satu ajang esports itu telah digelar pada akhir April lalu di Kanazawa, yang dimotori oleh asosiasi esports prefektur Ishikawa. Saat itu game yang dilombakan adalah Puyo Puyo. “Kami ingin mengembangkan esports dari Kanazawa sebagai sarana komunikasi yang bisa dinikmati oleh semua orang, termasuk orang-orang difabel,” kata Yuichi Yoshida, sekjen asosiasi esports Ishikawa. Memang masih banyak perdebatan tentang apakah esports layak disebut olahraga atau tidak. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa esportsmemberi kesempatan bagi kaum difabel untuk berdiri sejajar dengan masyarakat lainnya di panggung yang sama. Ini adalah tujuan baik yang patut diapresiasi, dan merupakan salah satu keunggulan besar esports yang perlu kita lestarikan.