Monthly Archives: October 2019

COD Modern Warfare

Liga Esports Call of Duty Dimulai Januari 2020, Larang Penggunaan Mouse & Keyboard

Activision Blizzard akhirnya mengumumkan tanggal pasti untuk musim perdana Call of Duty League. Dilansir dari Esports Insider, liga ini akan berlangsung mulai 24 Januari 2020, dengan lokasi di gedung Minneapolis Armory. Sebagai pembukaan, Activision Blizzard bersama Minnesota Rokkr mengadakan event selama 3 hari, di mana seluruh 12 tim yang merupakan partisipan liga ini akan bertanding.

Sesuai pemberitaan yang sudah-sudah, Call of Duty League adalah liga tertutup dengan sistem pembelian franchise dan mempertandingkan 12 tim dari 11 kota berbeda. Mayoritas berasal dari Amerika Serikat, namun ada juga beberapa tim yang mewakili kota dari negara lain. Ketika artikel ini ditulis, sudah ada 10 tim yang diungkap secara resmi, yaitu:

  • Atlanta FaZe (kolaborasi FaZe Clan dan Atlanta Esports Ventures)
  • Dallas Empire (di bawah Envy Gaming)
  • Florida Mutineers (di bawah Misfits Gaming)
  • London Royal Ravens (di bawah ReKTGlobal)
  • Los Angeles Guerrillas (di bawah KSE Esports)
  • Minnesota Rokkr (di bawah WISE Venture Esports)
  • New York Subliners (kolaborasi Sterling VC dan New York Mets)
  • OpTic Gaming Los Angeles (di bawah Immortals Gaming Club)
  • Seattle Surge (kolaborasi Aquilini Investment Group dan Enthusiast Gaming)
  • Toronto Ultra (di bawah OverActive Media)

Dapat dilihat bahwa slot Los Angeles diisi oleh dua tim. Sementara dua tim lagi yang mewakili kota Chicago dan Paris masih belum diumumkan.

COD League - Teams
12 tim yang bertanding di Call of Duty League | Sumber: Call of Duty League

Uniknya, hampir semua tim di atas juga dimiliki oleh perusahaan yang memiliki tim Overwatch League. Jumlah tim partisipan Call of Duty League perdana ini pun sama dengan Overwatch League saat pertama diluncurkan, yaitu 12 tim. Kedua liga memang sama-sama dimiliki oleh Activision Blizzard, dan komisioner Call of Duty League, Johanna Faries, pernah mengatakan bahwa mereka senang dengan adanya kemiripan ini.

Bobby Kotick, CEO Activision Blizzard, memaparkan dalam sebuah siaran pers, “Kami gembira sekali dengan pertumbuhan jejak esports Call of Duty yang berkelanjutan sebagai sebuah liga internasional berbasis kota, dengan 12 tim dari 4 negara, yang semuanya memberikan kompetisi sangat menghibur kepada jutaan penggemar di seluruh dunia.

Melanjutkan kesuksesan esports berbasis kota yang pertama kali didirikan oleh Overwatch League, kami ingin bisa menyatukan passion bersejarah dari franchise Call of Duty dengan fandom berbasis kota untuk menciptakan liga yang bisa menyaingi liga-liga terbaik olahraga tradisional dalam hal mengakui, merayakan, dan memberi imbalan para pemain kami.”

COD League - Date
Sumber: Call of Duty League

Di samping Call of Duty League, event tanggal 24 Januari nanti sekaligus jadi momen peluncuran liga amatir yang bernama Call of Duty Challengers. Mengusung hadiah senilai total US$1.000.000 (sekitar Rp14 miliar), Call of Duty Challengers menawarkan turnamen terbuka sepanjang musim baik online maupun offline. Turnamen ini bisa digelar berbarengan dengan event Call of Duty League, atau dioperasikan terpisah oleh salah satu tim Call of Duty League sebagai host.

Hal lain yang perlu diketahui tentang Call of Duty League, adalah bahwa liga ini akan menggunakan game Call of Duty: Modern Warfare yang baru saja dirilis, dengan format pertandingan 5v5. Platform yang digunakan adalah PS4, dan menurut peraturan di situs resminya, pemain dilarang menggunakan mouse dan keyboard di semua kompetisi. Apakah itu berarti liga ini tidak akan seseru esports first person shooter lain yang menggunakan platform PC? Kita lihat saja nanti bagaimana pertandingannya.

Sumber: Esports Insider, Call of Duty League

Samsung Ungkap Dua Laptop Flagship Baru, Galaxy Book Flex dan Galaxy Book Ion

Samsung punya dua laptop baru, Galaxy Book Flex yang convertible, dan Galaxy Book Ion yang konvensional (non-touchscreen). Diperkenalkan pada ajang Samsung Developers Conference 2019, kedua laptop ini siap menyasar pasar high-end menjelang akhir tahun nanti.

Dibandingkan laptoplaptop Samsung sebelumnya, Flex dan Ion mengusung desain yang menurut saya lebih elegan. Keduanya sama-sama tipis dan ringan, serta tersedia dalam varian dengan layar 13,3 inci dan 15,6 inci yang sama-sama dikitari oleh bezel cukup tipis. Layarnya ini cukup istimewa meski resolusinya hanya 1080p.

Istimewa karena panel yang digunakan adalah QLED, jenis panel yang selama ini Samsung gunakan pada sejumlah TV mahalnya. Flex dan Ion merupakan laptop pertama yang menggunakannya, dan Samsung mengklaim layar QLED ini mampu mereproduksi warna secara lebih akurat. Tingkat kecerahan mksimumnya juga amat tinggi di angka 600 nit.

Samsung Galaxy Book Flex

Keunikan lain Flex dan Ion tersembunyi pada touchpad-nya. Sepintas touchpad-nya kelihatan biasa saja, akan tetapi dengan menekan shortcut pada keyboard, touchpad tersebut dapat beralih fungsi menjadi sebuah wireless charger. Ya, Anda bisa mengisi ulang baterai smartphone atau smartwatch yang mendukung Qi wireless charging hanya dengan meletakkannya di atas touchpad milik laptop ini.

Satu hal yang perlu dicatat, tentu saja touchpad jadi tidak bisa berfungsi selagi menjadi wireless charger. Namun saya bisa membayangkan kegunaan fitur ini ketika laptop sedang dipakai untuk menonton, atau ketika digunakan selagi ada mouse yang tersambung.

Samsung Galaxy Book Ion / Samsung
Samsung Galaxy Book Ion / Samsung

Melanjutkan tradisi sebelumnya, Flex yang mengemas layar sentuh turut dibekali dengan S Pen, yang ternyata mempunyai ‘rumah’ sendiri di samping kanan perangkat. S Pen yang dibawa pun merupakan generasi terbaru seperti yang kita jumpai pada seri Galaxy Note 10, yang telah dilengkapi sensor gerakan sehingga kita bisa menerapkan berbagai gesture selagi menggenggamnya.

Urusan spesifikasi, Flex dan Ion juga termasuk mumpuni. Keduanya sama-sama menggunakan prosesor Intel generasi ke-10, akan tetapi Flex sedikit lebih unggul berkat arsitektur Ice Lake yang lebih baru, bandingkan dengan Ion yang menggunakan Comet Lake. RAM-nya dapat dikonfigurasikan hingga 16 GB, sedangkan SSD tipe NVMe-nya hingga 1 TB.

Samsung Galaxy Book Ion

Khusus varian 15 incinya, konsumen bisa memilih untuk menambahkan dedicated GPU, spesifiknya Nvidia GeForce MX250. Terkait daya tahan baterainya, Samsung tidak berbicara banyak kecuali menyebut kedua laptop ini telah ‘lulus’ dari program Intel Project Athena, yang sejatinya memberikan jaminan bahwa baterainya tergolong awet.

Seperti yang saya bilang, Samsung Galaxy Book Flex dan Galaxy Book Ion bakal mulai dipasarkan pada bulan Desember nanti di beberapa negara. Banderol harganya masih belum disebutkan, tapi sudah pasti di atas $1.000.

Sumber: Samsung.

Banner ads is not essentially beneficial to internet users.

Top Reasons Why Brands Should Choose Natives Ads Over Banner Ads

Banner ads used to be a huge success for the internet industry.

Advertisers were thrilled to see ads displayed nearly every corner on the internet and publishers were excited to acquire extra revenue stream other than advertorial.

What little did people realize, however, was that this success was not essentially beneficial to internet users.

Website visitors’ reading experience was tremendously disrupted and the average page load time strikingly increased.

Internet users suffered from banner ads for a long time until the emergence of native ads.

Native ads do solve the long-standing pain point among internet users. It is growing fast and is expected to keep the growth momentum in the following years.

The increasing popularity doesn’t come out of surprise as the importance of user experience arises.

Here I conclude 4 top reasons how native ads beat banner ads and why native ads will become the mainstream advertising format in the future.

Native ads provide better traffic

The reason why native ads stand out is not simply because of the non-intrusive and editorial-like formats but largely because of the utilization of content marketing.

As compared to typical banner ads that emphasize on massive exposure, native ads focus more on before and after-click user experience.

The non-intrusive look makes users feel more comfortable and filters out some random users who carelessly or mistakenly click on ads.

More importantly, interesting and insightful content shared in landing pages creates a strong incentive for users to stay longer, resulting in higher page view and average session duration.

“Native ads can deliver the same, sometimes better, performance as banner ads do. We also find an interesting phenomenon that users are more willing to share the content from natives ads. This is not common for banner ads,” indicated Hoyoung Lee, Dable Country Manager of Indonesia.

If native ads are utilized well, a website would see more quality traffic generated from new visitors coming in. The enlarging user base will, afterward, become a great source for remarking use and fuel the growth momentum for stagnant businesses.

Native ads offer higher relevance

Unlike banner ads, which only rely on audience targeting, the exposure mechanism behind natives ads is based on both audience targeting and contextual targeting.

Only when the target audience fits advertisers’ desired demographics and, meanwhile, titles of the ads match articles and context will the native ads be displayed.

For example, native ads will place an advertisement about beauty product targeting younger females to under an article of fashion show news update instead of car racing competition.

To boost higher relevance, websites should take advantage of content recommendation technology to recommend relevant articles that website visitors might feel interested in.

This approach ensures that advertisers’ ads not only are exposed to customers who are more likely to click but also are put in a more relevant context where users don’t find ads irrelevant.

Native ads significantly blur the boundary between advertisement and editorial content and ultimately produce a better click-through rate (CTR).

Native ads are less likely to be ignored

We are entering an era of banner blindness where internet users unconsciously ignore banner-like information.

People have got used to disturbing banner ads as if they are not existing.

According to research, about 44% of the money spent on ads is wasted on ads that remain unviewed by website visitors. Overall, the average CTR for banner ads continues dropping down.

While this phenomenon has become a hot potato to handle for marketers, native ads, with its user-centric features, is expected to be the best remedy.

It is reported that internet users are willing to click on native ads even though they have recognized the advertisement. The average click-through rate for native ads is also outstandingly higher by 57%, comparing to banner ads.

Going native and presenting better advertising experience is the only way out to beat banner blindness.

Native ads are rarely blocked

To deal with annoying display and banner ads, more internet users nowadays choose to install ad blockers to avoid the visual interference experience.

In fact, according to a study, around 30% of internet users around the world now use ad blockers, signifying the growing unpopularity of banner ads.

On the contrary, native ads don’t seem to have any issue with interrupting the reading experience. Further to that, native ads are not blocked in most cases.

The reason is that every single piece of native ads requires advertising platforms to conduct in-depth cooperation with each media publisher.

The format of native ads is well crafted and well blended into the website. Oftentimes, it is hard to tell whether or not native ads are advertisements if you don’t take a close look.

Consequently, native ads are rarely recognized as a target for ad blocker software, gaining more exposure opportunities without intruding.


Disclosure: This guest post is written by Edison Chen. He is Sales Manager, Advertiser Solution at Dable.

Doktersiaga (Jakarta) is aiming for $350,000, while Talkabot (Bandung) needs $500,000.

[DSChoice] Doktersiaga and Talkabot are in Fundraising Stage

DailySocial continues to provide recommendations for investors regarding potential early-stage startups. This startup selection is based on several criteria. In the process, each nominee asked to submit extensive information about the team and the traction. The coverage will be limited, as an overview and public notice. The explanations are written directly by each founder.

Doktersiaga (Jakarta)

Vertical, Platform & Year of Founded: Healthtech, Web & Chatbot, 2015

Doktersiaga

Doktersiaga is a virtual health assistant app to help people get doctor’s schedule information in a fast time and can be accessed for 24 hours. Through the Doktersiaga web-app, users can also find the nearest hospital and make an appointment with a medical officer at the chosen location.

In 2018 there are at least 2820 hospitals in Indonesia. The founder’s ambitious target is to embrace up to 20%. They charge a subscription fee for the platform Rp3.5 million per month. Their business model is Software as a Service, leasing the systems (chatbot + machine learning) to hospitals/clinics/health-center. The service is applied through website and messaging applications such as WhatsApp, Facebook Messenger and others.

Tractions

Monthly Active Users Partners
12.000 users in the public website and chat apps integrated with the system 3 hospitals, 1 government office implemented the SaaS

 Planning

How much do you expect to raise? How much equity are you willing to give away for this round?
US$350.000 Max. 25%

The allocation plan after obtaining funding for OPEX (64%), CAPEX (5.5%), and marketing (30.5%).

Further details:

  • Founders: Fatah Iskandar Akbar, Fadrli Yahya Polosoro, Edi Alpino, and Nani Krisnawaty
  • Funding Round: Bootstrapping
  • Competitor: SehatQ, Alodokter, Periksa.id etc.

Talkabot (Bandung)

Vertical, Platform & Year of Founded: SMEs B2B, Web & Chatbot, 2017

Talkabot

Talkabot is a chatbot platform for SMEs that specializes in managing business investment systems. This service can be applied on websites or messaging applications, from WhatsApp, Instagram, Telegram and Line. Besides having an artificial intelligence-based feature for automatic replies, Talkabot also complements with an analytics dashboard to maximize business.

Their services are distributed in a subscription model based on the completeness of the features used. For WhatsApp and Instagram services, they charge special rates, because there are APIs that must be subscribed separately. Talkabot can also be integrated into various systems, such as WooCoomerce on WordPress.

Tractions

Monthly Active Users Partners
400.000 users in chat 400 platform subscribers

 Planning

How much do you expect to raise? How much equity are you willing to give away for this round?
US$500.000 Max. 20%

The funding will be allocated for marketing activities to scale the business & improve the performance & experience of the tool, so brands/businesses can use it as easy as possible.

Further details:

  • Founders: Distra Vantari and Eka Ginting
  • Funding Round: Seed Funding with undisclosed amount.
  • Competitor: Tokotalk, Bang Joni, Kata.ai etc.
WFG Season 2 - Winner

Juara Kompetisi World’s Fastest Gamer, Atlet Esports Ini Jadi Pembalap Sungguhan

World’s Fastest Gamer (WFG) adalah nama sebuah kompetisi yang bertujuan untuk menjembatani dunia esports balap mobil dengan dunia balap mobil sungguhan. Kompetisi yang digelar oleh Millenial Esports ini melibatkan beberapa mantan pembalap Formula 1 sebagai investor, seperti Rubens Barrichello dan Juan-Pablo Montoya.

Season perdana World’s Fastest Gamer dimenangkan oleh Rudy Van Buren, yang kini menjadi simulator driver untuk tim Formula 1 McLaren. Sementara WFG Season 2 diluncurkan pada bulan Juli 2019 kemarin, dan memiliki beberapa perbedaan dengan season sebelumnya.

Pertama, WFG Season 2 ini ingin memberi kesempatan bagi siapa saja untuk membuktikan diri sebagai “Gamer Tercepat di Dunia”, terlepas dari platform yang mereka mainkan. Oleh karena itu, babak kualifikasi WFG terbagi menjadi dua. Pertama adalah kualifikasi di platform mobile menggunakan game Gear.Club keluaran Eden Games. Kedua adalah kualifikasi menggunakan game balap rFactor 2, yang tersedia di PC dan dikenal sebagai game yang realistis.

WFG Season 2 - Finalists
Para finalis WFG Season 2 | Sumber: World’s Fastest Gamer

Babak kualifikasi WFG Season 2 menghasilkan 10 finalis, terbagi ke dalam dua tim yaitu tim oranye dan tim biru. Di sini, kemampuan mereka sebagai pembalap virtual dan pembalap nyata sama-sama diuji. Tak hanya bertanding lewat game, para finalis juga harus melakukan balapan mobil sungguhan di bawah penilaian Juan-Pablo Montoya sebagai head judge. Montoya ditemani oleh jajaran juri lainnya, termasuk Rudy Van Buren, Darren Cox (founder WFG), Jann Mardenborough (pembalap Japanese Super GT), serta Ruben Barrichello.

Akhir Oktober kemarin menjadi pertandingan puncak World’s Fastest Gamer Season 2. Hanya empat atlet tersisa, yang terdiri dari Maximillian Benecke (Jerman), Sebastian Job (Inggris), James Baldwin (Inggris), dan Mitchell de Jong (Amerika Serikat). Mereka harus membuktikan bahwa mereka layak bertransisi dari gamer menjadi racer, dengan cara melakukan balapan mobil di sirkuit Las Vegas Motor Speedway.

Penentuan juara sebetulnya tidak hanya dilakukan dari satu event ini saja, tapi lebih melihat dari performa sepanjang kompetisi. Akan tetapi performa James Baldwin di event final sendiri sangat menonjol dibanding tiga finalis lainnya. Ia start di posisi 2, namun berhasil finis pertama dengan selisih catatan waktu sangat jauh yaitu 10 detik.

WFG Season 2 - James Baldwin
James Baldwin menunjukkan performa gemilang di final WFG Season 2 | Sumber: James Baldwin

Baldwin sebelumnya juga telah memenangkan babak balap virtual di Los Angeles, menunjukkan catatan waktu yang baik sepanjang kompetisi, serta memiliki kemauan untuk bekerja keras dan bekerja sama dalam tim. Dewan juri pun memutuskan James Baldwin sebagai pemenang tanpa banyak perdebatan.

Dengan kemenangan ini, Baldwin berhak mendapatkan kontrak senilai US$1.000.000 untuk bertanding bersama tim balap asal Swedia, R-Motorsport. Ia akan mengikuti program persiapan intensif, kemudian menjadi pengemudi mobil Aston Martin Vantage GT3 dan mengikuti berbagai balapan di tahun 2020. Termasuk di antaranya balap 24 jam di Daytona dan Spa-Francorchamps, serta balapan di berbagai sirkuit terkenal dunia seperti Le Mans dan Nurburgring. Baldwin hanya punya waktu 2 bulan sebelum balapan pertamanya, yang jatuh di bulan Januari.

“12 hari terakhir memberikan tekanan luar biasa. Tapi memang itulah tujuannya, untuk melatih diri Anda menjadi pembalap. Ini pengalaman luar biasa bahkan di luar sirkuit karena saya bisa bertemu dengan banyak orang hebat, juga tentu saja para kompetitor lain, serta tim produksi dan semua orang yang terlibat di World’s Fastest Gamer, plus bertemu dengan pahlawan saya, Juan Pablo Montoya, semua ini adalah mimpi yang jadi nyata,” ujar Baldwin setelah dinobatkan jadi juara.

Sebelum mengikuti WFG, Baldwin sebetulnya memiliki pengalaman menjadi pembalap gokar dan Formula Ford. Tapi ia terpaksa berhenti karena tidak bisa memperoleh pendanaan untuk melanjutkan kariernya. Ia kemudian beralih menjadi pembalap esports alias sim racing, dan sempat menjadi juara turnamen eRace of Champions (eROC) bersama tim Veloce Esports pada bulan Januari lalu. Tampaknya, sekarang sudah waktunya Baldwin untuk kembali merasakan panasnya aspal.

Sumber: World’s Fastest Gamer, GT Planet

Razer Junglecat Hadirkan Pengalaman Gaming ala Nintendo Switch Kepada Pengguna Android

Dibandingkan PC atau console, salah satu kekurangan smartphone sebagai medium gaming adalah keterbatasan ruang visual alias layar. Layarnya sendiri sudah kecil, ditambah lagi kita sering kali harus mengorbankan sebagian darinya untuk menempatkan kontrol virtual. Itulah mengapa controller Bluetooth kerap dijadikan solusi.

Problem selanjutnya adalah, tidak semua orang suka bermain selagi layar ponselnya berada terlalu jauh. Posisi yang lebih ideal mungkin adalah seperti memainkan Nintendo Switch; jarak layarnya optimal, dan kontrolnya tetap mudah dijangkau tanpa harus mengorbankan porsi layar.

Kalau itu yang Anda cari, Razer Junglecat bisa menjadi salah satu aksesori wajib. Jangan bingung dengan perangkat bernama sama yang Razer rilis di tahun 2014, sebab Junglecat baru ini dirancang untuk menghadirkan pengalaman gaming yang serupa dengan Nintendo Switch kepada para pengguna ponsel Android.

Razer Junglecat

Sayangnya tidak semua ponsel Android, melainkan hanya Razer Phone 2, Samsung Galaxy Note 9, Samsung Galaxy S10+, dan Huawei P30 Pro, setidaknya untuk sekarang. Pasalnya, supaya ponsel bisa kita selipkan ke tengah-tengah Junglecat, ia harus dipasangi casing khusus terlebih dulu, dan casing yang termasuk dalam paket penjualan tersebut sejauh ini baru tersedia untuk keempat ponsel tadi.

Layout tombol yang disuguhkan Junglecat sangat mirip seperti Nintendo Joy-Con. Stick analog dan tombol trigger ada di kedua sisinya, diikuti oleh tombol D-Pad empat arah di kiri, dan empat tombol action di kanan.

Junglecat mengandalkan konektivitas Bluetooth LE, akan tetapi Razer mengklaim latency-nya sangat rendah sehingga resikonya terjangkit lag cukup kecil. Dalam sekali pengisian via USB-C, baterainya diyakini mampu bertahan sampai lebih dari 100 jam pemakaian.

Razer Junglecat

Lalu bagaimana seandainya Anda bukan pengguna salah satu ponsel di atas, apakah Junglecat otomatis tercoret dari wish list? Tidak juga, sebab ia juga bisa digunakan layaknya controller biasa dengan menyelipkan komponen penyambung ke tengah-tengahnya. Dalam posisi ini, Junglecat juga dapat digunakan bersama PC di samping perangkat Android.

Razer turut menyediakan sejumlah opsi kustomisasi lewat aplikasi Razer Gamepad. Di situ pengguna dapat melihat daftar game yang kompatibel, lalu kalau perlu mereka juga bisa menyesuaikan pengaturan untuk tiap-tiap game. Tombol-tombolnya pun dapat di-remap sesuai kebutuhan, begitu juga sensitivitas stick analognya yang dapat disesuaikan dengan selera masing-masing.

Razer Junglecat saat ini sudah dipasarkan seharga $100. Apakah ke depannya Razer bakal menyertakan casing khusus untuk ponsel lain? Mungkin saja, tapi untuk sekarang mereka masih mengevaluasi ponsel apa lagi yang bisa memenuhi tiga syarat berikut: berlayar besar, berspesifikasi tinggi, dan terjual dalam volume besar.

Sumber: Razer dan The Verge.

Papua Youth Creative Hub

Presiden Resmikan Pembangunan “Papua Youth Creative Hub” untuk Dongkrak Ekosistem Startup di Indonesia Timur

Denyut inovasi dan ekonomi kreatif terus didengungkan oleh pemerintah Indonesia. Terbaru, pemerintah meresmikan pembangunan pusat pengembangan kreativitas dan pengembangan bisnis startup di Papua yang diberi nama “Papua Youth Creative Hub”. Tempat ini nantinya diharapkan mampu menjadi pusat akselerasi dan inovasi bisnis pemuda setempat.

Presiden Joko Widodo dalam sambutannya berharap muncul unicorn dan decacorn baru dari wilayah Indonesia bagian timur, khususnya Papua.

“Kita harapkan muncul unicorn baru dari Indonesia bagian timur, khususnya tanah Papua. Akan muncul decacorn dari sini, sehingga kemajuan anak-anak muda yang ada di tanah Papua betul-betul terwadahi di dalam creative hub yang segera kita bangun ini,” terang Presiden dalam siaran pers resminya.

Papua Youth Creative Hub ini rencananya akan dibangun di atas tanah seluas 1,5 hektar yang berada di wilayah Kotaraja. Selain dibangun ruangan-ruangan belajar tentang bisnis, teknologi, dan dasar-dasar pengembangan startup; di sana juga akan dibangun asrama untuk menampung pemuda-pemuda yang berasal dari luar Papua.

Ke depan pusat pengembangan ini akan dikelola oleh perusahaan yang didirikan oleh 21 pemuda asal Papua, PT Papua Muda Inspiratif.

“Saya sebagai salah satu dari pemuda Papua yang selama ini bergelut dalam bidang bisnis startup merasa bahwa ini merupakan sebuah gerakan yang baik untuk mendorong lebih banyak lagi anak-anak Papua untuk dapat mengembangkan kreativitasnya melalui bisnis, atau pergerakan sosial,” ujar Direktur Utama PT Papua Muda Inspiratif Billy Mambrasar.

Billy cukup optimis dengan hadirnya Papua Youth Creative Hub ini. Ia bisa menargetkan akan ada kurang lebih 100 pemilik startup atau pergerakan sosial yang bisa memberikan kontribusi mempercepat pembangunan kesejahteraan masyarakat Papua.

Dikutip dari wawancara Billy dengan Metro TV, ia menjelaskan bahwa Papua Youth Creative Hub akan jadi sebuah wadah lengkap, baik inkubator maupun akselerator.

“Jadi Papua Youth Creative Hub ini akan menjadi kedua-duanya, akselerator dan inkubator. Akselerator untuk mereka yang sudah punya social movement atau teknologi atau startup tetapi mereka ingin kemudian mengembangkan jaringan dengan mentor-mentor kami. Inkubator buat mereka anak Papua yang ingin membangun tanah air tetapi kesulitan memiliki kemampuan atau kapabilitas kita ajak sampai idenya jadi produk,” terang Billy.

Tersedia Untuk Semua Orang, Bagian Library di Steam Kini Tampil Lebih Atraktif

Melimpahnya konten, kemudahan pemakaian, beragam opsi transaksi, lokalisasi harga, lengkapnya fitur, integrasi ke platform kompetitor, serta program-program diskon ialah sejumlah hal yang membuat pengguna sulit berpaling dari Steam. Namun ditakar dari faktor estetika, Steam memang bukanlah layanan dengan UI paling atraktif. Begitu banyak fitur membuat menunya terlihat tumpang tindih.

Valve sudah lama menyadari kelemahan di layanan distribusi digital mereka itu. Sejak bulan September kemarin, developer meluncurkan program beta dalam upaya mendesain ulang salah satu bagian terpenting di sana: library. Sebelumnya, Steam library tampak sangat padat. Kolom kiri menampilkan daftar permainan, lalu kolom kanan memperlihatkan beragam info dan update mengenainya. Tapi mulai hari ini, setiap orang bisa menikmati Steam library versi baru yang jauh lebih cantik.

Saat log-in ke software Steam, beberapa dari Anda mungkin belum bisa segera menjumpai ‘all new‘ Steam library. Mungkin itu disebabkan oleh belum ter-update Steam, atau proses pembaruan masih berjalan. Jangan cemas. Yang perlu Anda lakukan adalah membuka menu ‘Steam‘ di pojok kiri atas, lalu pilih ‘Check for Steam client updates…‘ Saat tadi bagian ini saya buka, Steam ternyata masih mengunduh pembaruan.

Selanjutnya, Steam akan meminta Anda untuk me-restart client. Ikuti saja, kemudian log-in ulang. Silakan klik ‘library‘ dan Anda segera disuguhkan tampilan anyar.

Steam Library 1

Valve tidak banyak mengubah layout dari library. Sisi kiri tetap memperlihatkan game list (plus logo), tapi ada yang berbeda dari bagian tengah. Di sana, developer menyajikan beberapa zona berbeda. Area paling atas diisi oleh What’s New, yaitu update terkait Steam serta permainan-permainan milik Anda. Di bawahnya ada Recent Games, yakni game-game yang baru dibeli atau baru masuk ke library. Setelahnya, Steam menjabarkan seluruh koleksi Anda lengkap dengan poster mini.

Steam Library 2

Gerakan kursor mouse ke salah satu gambar/poster game dan Anda dapat mengetahui seberapa banyak waktu yang telah dihabiskan buat memainkannya. Steam library anyar juga menyajikan fitur add shelf (menambahkan rak custom), memperkenankan Anda mengumpulkan judul-jadul favorit di satu tempat – atau untuk memamerkannya. Metode kustomisasinya sangat sederhana, via drag and drop.

Steam Library 4

Klik salah satu game di library dan Anda akan dibawa ke laman baru yang didedikasikan ke permainan tersebut. Di sana Anda disajikan link ke Store Page, Community Hub, Discussions, Workshop, bagian Support, serta menggunakan fitur Find Groups. Seperti biasa, terdapat pula kolom news update, Achievements, Trading Cards, screenshot serta informasi mengenai teman-teman Anda yang juga memainkan game tersebut.

Steam Library 3

Tampilan baru library merupakan tambahan manis untuk layanan digital yang jadi favorit jutaan gamer tersebut. Namun bagi saya pribadi, update library ini memberikan dampak negatif. Ia menyadarkan saya mengenai begitu banyaknya permainan yang sama sekali belum saya sentuh dan dampak buruk dari ketidakmampuan saya menahan diri saat Steam sale berlangsung…

Via Steam.

Rainbow Six Siege - Doktors Curse

Event Halloween di Rainbow Six: Siege, Apakah Sudah Memuaskan Penggemar?

Halloween telah tiba, dan Ubisoft tidak ketinggalan momen ini untuk menghadirkan konten bertema horor di Tom Clancy’s Rainbow Six: Siege. Tahun 2019 ini, event tersebut diluncurkan dengan judul Doktor’s Curse dan berjalan selama 2 minggu dari tanggal 23 Oktober – 6 November. Anda yang sudah main Rainbow Six: Siege dari lama mungkin ingat bahwa tahun lalu juga ada event Halloween berbeda, dengan judul Mad House.

Apa itu Doktor’s Curse? Pada dasarnya Doktor’s Curse adalah mode khusus yang menyerupai petak umpet. Para pemain terbagi menjadi dua kubu seperti biasa, yaitu Defender dan Attacker. Bedanya, karakter-karakter yang digunakan bukanlah karakter Operator biasa. Kedua tim juga tidak bisa menggunakan senjata api ataupun senjata melee, dan harus menggunakan perlengkapan khusus yang disediakan.

Doktors Curse - Skin
Tampilan kosmetik dari event Doktor’s Curse | Sumber: Ubisoft

Di sisi Defender, tersedia lima Operator yang telah berubah wujud menjadi menyerupai monster atau zombie. Mereka adalah Operator yang memiliki spesialisasi dalam meletakkan jebakan, yaitu:

  • Smoke
  • Kapkan
  • Frost
  • Lesion
  • Ela

Kelima Operator ini (ceritanya) berada di bawah kendali Doktor, sang ilmuwan gila yang melakukan eksperimen-eksperimen terhadap manusia di dalam kastelnya. Meski tak membawa senjata, mereka tetap memiliki akses ke gadget unik masing-masing, juga mendapatkan kemampuan khusus yang disebut Nightstride. Dengan kemampuan ini, Defender bisa menghilang dari pandangan untuk beberapa waktu serta meningkatkan kecepatan geraknya.

Doktors Curse - Weapon Skin
Weapon skin yang tersedia dalam event Doktor’s Curse | Sumber: Ubisoft

Sisi Attacker berperan sebagai sekelompok tim pembasmi monster yang disebut Exterminator. Setiap Exterminator ini dilengkapi dengan senjata khusus, yaitu palu milik Sledge yang bisa digunakan untuk menghantam monster-monster. Mereka juga dilengkapi dengan salah satu dari tiga gadget berikut:

  • Eyenox Model III (gadget milik Jackal)
  • EE-ONE-D (gadget milik Lion)
  • Cardiac Sensor (gadget milik Pulse)

Dengan memainkan Doktor’s Curse, pemain bisa memperoleh pack Doktor’s Curse Collection yang berisi berbagai item kosmetik bertema horor. Pack ini juga bisa langsung dibeli menggunakan R6 Credits atau Renown. Operator yang mendapat item kosmetik adalah Doc, Smoke, Lesion, Kapkan, Frost, Ela, dan Bandit. Sledge juga mendapat bundel kosmetik, namun khusus untuk Sledge kostumnya harus kita beli lewat Shop.

Berbicara dengan para anggota Rainbow Six: Siege Indonesia Community (R6 IDN), event Doktor’s Curse ini rupanya mendapat penerimaan yang cukup bervariasi. Sebagian ada yang puas, tapi ada juga yang mengaku bosan. “Kurang seru, Pak, walaupun hadiahnya lumayan bagus. Tapi lebih baik Outbreak,” kata member R6 IDN yang bernama Suka Blyat alias Abidzarr.

Outbreak yang dimaksud di sini adalah event lain dalam Rainbow Six: Siege yang muncul pada pertengahan 2018 lalu. Meskipun bukan bertepatan dengan Halloween, Outbreak juga punya nuansa horor karena memiliki tema infeksi zombie di New Mexico. Kabarnya, event Outbreak inilah yang jadi inspirasi Ubisoft untuk mengembangkan game baru, Tom Clancy’s Rainbow Six: Quarantine.

Member R6 IDN lain yang bernama Tachancat juga merasa Doktor’s Curse kurang memuaskan. Alasannya, mode ini bikin bosan bila dimainkan sendirian. Namun ada juga yang merasa sudah puas, seperti member Mamacita alias M. Raihan Akbar.

“Lumayan seru, karena dengan mode ‘hide n seek’ mengingatkanku pada masa kecil di kala belum mengenal game PC. Pack Doktor’s Curse juga sangat unik menampilkan beberapa karikatur yang terkesan thrill,” ujarnya. Sementara itu member Diri_Kau hanya berharap bahwa setelah event ini berakhir, akan ada Operator baru yang memiliki stat seperti Attacker di Doktor’s Curse.

Rainbow Six Cursed Selfie Contest
Rainbow Six Cursed Selfie Contest | Sumber: Ubisoft

Selain event Doktor’s Curse, Ubisoft juga membuka kontes foto yang disebut R6 Cursed Selfie Contest, di mana para pemain diminta untuk mengirimkan swafoto seseram mungkin lewat media sosial. 10 pemenang kontes foto ini berhak mendapatkan seluruh item dari event Doktor’s Curse secara gratis. Bagaimana dengan Anda, apakah Anda sudah mencicipi event Halloween di Rainbow Six: Siege kali ini?

Disclosure: Hybrid adalah media partner Rainbow Six: Siege Indonesia Community (R6 IDN).

 

CoHive Partners with Tanrise Property, Launches Business in Surabaya

CoHive partners with PT Tanrise Indonesia (Tanrise Property) launches a new location in Surabaya. Precisely on the west side, Voza Premium Office, 20th floor. The office is designed and prepared for entrepreneurs and all businesses to work while exploring opportunities for collaboration.

The company eyes great potential in Surabaya, especially in the creative economy sector. Quoting from the Statistics Indonesia (BPS), Surabaya has the biggest rate of creative economy players in Indonesia at 6.41% in 2016.

CoHive‘s Founder & CEO, Jason Lee said the company has made a commitment to support ecosystem growth by providing access to the national network.

“In addition to the rapid growth of the creative economy, Surabaya was chosen as the demand of our members who want to expand the business to Surabaya and East Java. Therefore, we’re glad to open a new location in Voza Premium Office, located in a very strategic area towards the rapid economic growth,” he added.

Moreover, Head of Tanrise Property, Belinda Natalia said on the office space demand in the digital era as their motivation to begin the partnership with CoHive to launch the coworking space in Surabaya.

“As one of the pioneers in the coworking space industry in Indonesia, CoHive has witnessed the rapid growth of members’ business and facilitated them with necessary office space. We’re excited to welcome CoHive members in Voza Premium Office,” Belinda said.

CoHive tried to provide access for communities and various businesses, also to answer SME’s needs for flexible and affordable office space. It also comes with easy payment in a well-designed workspace, and full facilities for the members can focus on their activities.

To date, Co-Hive is now available in 34 locations with a total building of 70,000 sqm in 5 different cities, including Jakarta, Bali, Medan, Yogyakarta, and Surabaya.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian