Monthly Archives: December 2019

Cerita Di Balik Pengunduran Diri Heo “PawN” Won-seok, Rival Faker

Sekilas, menjadi atlet esports terlihat mudah. Namun, sebenarnya ada berbagai hal yang mereka korbankan untuk bisa menjadi pemain profesional. Setelah menjadi atlet esports profesional sekalipun, seorang pemain menghadapi berbagai tantangan, termasuk tekanan mental saat bertanding.

Ialah Heo “PawN” Won-seok, seorang pemain profesional yang telah bermain di scene League of Legends selama tujuh tahun. Sejak dia pertama kali debut, dia sering dibandingkan dengan Lee Sang-hyeok alias Faker. Ketika para mid laners lain takut untuk melawan Faker, PawN justru berani menantangnya. Keduanya bersaing dalam waktu lama sehingga mereka disebut sebagai “Rival Abadi”. Sayangnya, sebelum dapat merebut tahta Faker, PawN memutuskan untuk mengundurkan diri karena Obssessive Compulsive Disorder (OCD), yaitu gangguan mental yang membuat penderitanya merasa harus melakukan suatu tindakan secara berulang. Jika tidak dilakukan, sang penderita akan merasa khawatir atau takut.

“Saya ingin diingat sebagai pemain terbaik sepanjang masa. Saya percaya, saya akan bisa merealisasikan hal itu jika saya terus bermain, tapi sayangnya, saya tidak akan bisa meraih mimpi itu. Saya pernah berpikir, tak peduli apa yang harus saya lakukan, saya ingin menjadi yang terbaik. Saya ingin memiliki karir yang lebih baik dari Faker. Meskipun saya terkadang gugup, tapi saya tidak pernah takut dengan persaingan,” kata PawN dalam wawancara dengan Inven Global.

“Ketika Faker mendadak memenangkan banyak turnamen dan memperlebar jarak di antara kami, saya berpikir, ‘Ini akan sulit…’ Tapi semuanya terasa baik-baik saja ketika saya memenangkan MSI dengan EDG. Namun, setelah turnamen itu, performa Faker sangat baik dan dia berhasil mendapatkan berbagai pencapaian. Meskipun saya tidak menyesal pergi ke Tiongkok, karena saya senang dengan rekan satu tim saya, saya terkadang membayangkan apa yang akan terjadi jika saya tetap di Korea.”

Sumber: Inven Global
Sumber: Inven Global

Pencapaian PawN sendiri bukannya sedikit. Dia berhasil memenangkan League of Legends World Championship pada 2014, League of Legends Pro League Spring pada 2015, MSI pada 2015, LPL Summer Split pada 2016 dan League of Legends Champions Korea pada 2018. Tak hanya itu, dia juga bertahan di dunia competitive gaming selama tujuh tahun. Dari video pribadinya, PawN dikeal sebagai seorang yang “cool” dan memiliki kebanggaan sebagai pemain profesional. Dia juga memiliki keinginan kuat untuk menjadi juara. Banyak atlet, baik atlet esports atau olahraga tradisional, yang memiliki rutinintas yang harus mereka lakukan sebelum menghadapi pertandingan. Sayangnya, hal ini bisa berubah menjadi obsesi, paranoia, atau bahkan OCD. Dan ini bisa memengaruhi karir mereka.

Contohnya adalah Seo Jang-hoon, pemain basket legendaris asal Korea Selatan yang sangat terobsesi pada kemenangan. Sama seperti PawN, Seo juga mengalami OCD. Seo mengaku bahwa pada awal karirnya, dia tidak menderita OCD. Dia mengklaim karena obsesinya pada kemenangan sangat kuat, dia mulai mengkhawatirkan tentang hal-hal yang tak ada kaitannya dengan pertandingan. Dan inilah yang membuat OCD muncul dalam dirinya. Ketika seorang atlet menderita OCD, itu tak melulu berakhir dengan pengunduran. Walaupun begitu, dalam kasus PawN, OCD menjadi alasannya untuk mengundurkan diri.

Sebelum mengundurkan diri, ketika PawN hendak bertanding, dia membawa berbagai peralatan yang tak biasanya dibawa oleh pemain profesional, seperti penggaris. Dia menggunakan penggaris itu untuk mengukur tinggi monitornya, posisi keyboard, dan lain sebagainya. “Saya rehat untuk waktu lama. Setelah Spring split berakhir pada April, saya hanya diam di rumah seharian. Meskipun proses pengobatan terus berjalan, keadaan saya tidak membaik. Saya jadi tak percaya diri, dan saya bahkan tidak mau bermain. Kemudian, kalau tidak salah, pada 29 September. Saya merasa sangat frustasi, dan saya tidak bisa melanjutkan karir saya. Saya ingat saya menulis pengumuman pengunduran diri ketika saya merasa marah, dan saya berpikir, ‘Kenapa ini terjadi pada saya?’ dan saya justru merasa bingung.”

“Sebelum saya bertanding di liga Tiongkok, saya tidak memerlukan penggaris untuk mempersiapkan diri sebelum pertandingan. Saya rasa, persiapan saya sama seperti persiapan para pemain lain. Mungkin, ini muncul karena saya ingin bermain lebih baik dari pemain lainnya. Gejala OCD saya kambuh ketika saya kembali ke Korea. Pada 2017, gejala OCD yang muncul adalah mengatur monitor saya, dan saya masih baik-baik saja ketika saya mulai menggunakan penggaris. Itu terjadi ketika saya memenangkan KeSPA Cup dan merasa percaya diri.”

Sumber: Inven Global
Sumber: Inven Global

PawN bercerita, keadaannya kembali memburuk pada 2018. Dia merasa bahwa dia tidak bisa bertanding di atas panggung. Dia lalu memutuskan untuk kembali rehat. Dia mengatakan, dia bisa bermain dengan baik ketika dia bermain di rumah. Pada Worlds 2018, dia mendapatkan izin untuk beristirahat. Keadaannya membaik setelah dia mencoba berbagai solusi dan dia dapat bermain dengan baik sebelum bergabung dengan Kingzone.

Namun, setelah mengambil rehat panjang pada akhir Spring 2019, gejala OCD-nya kembali muncul. “Ketika itu, saya pikir, itu terjadi karena saya beristirahat terlalu lama, dan jika saya berlatih, saya akan bisa menjadi lebih baik,” ujarnya. Tapi, masalahnya tak berhenti sampai di situ. “Saya menghadapi masalah besar: ukuran monitor berubah dari 24 inci menjadi 25 inci,” katanya. “Saya punya metode untuk mengatur monitor 24 inci, tapi itu tak bisa digunakan untuk monitor 25 inci.” Dia bercerita, perubahan ini membuatnya merasa performanya menurun drastis. “Saya merasa stres karena saya tidak bisa bermain seperti biasa, jadi saya merasa frustasi, dan saya juga mengalami depresi. Saya mencoba untuk menjalani hidup seperti biasa, tapi keadaan tidak menjadi lebih baik. Saya lebih sering di rumah, dan berat badan saya justru bertambah.”

Menjadi atlet profesional, termasuk atlet esports, memang memberikan beban mental yang sangat berat. Karena itulah, keberadaan psikolog menjadi penting dalam sebuah tim esports. Ketika bertanding, para pemain dituntut untuk membuat keputusan dengan cepat. Tak hanya itu, hasil pertandingan juga bisa dilihat — dan dihakimi — oleh banyak orang secara langsung. “Saya rasa, gangguan ini menjadi semakin parah ketika saya bermain di Korea. Ketika saya bermain di Tiongkok, saya tidak mengerti komentar online. Saya rasa, label ‘tim super’ juga memberikan tekanan pada saya. Ketika saya bersama dengan KT, saya adalah pemain yang paling tidak populer. Jadi, keinginan saya untuk bermain lebih baik lebih besar.”

PawN mengaku, dia masih ingin bisa mengatasi OCD yang dia derita dan kembali bermain sebagai pemain profesional. Itulah alasan mengapa sampai saat ini, dia enggan untuk menerima tawaran sebagai pelatih. “Namun, dalam keadaan saya sekarang, saya tidak bisa bermain sebagai pemain profesional. Jika saya bisa menyembuhkan OCD saya, dan saya dapa bermain dengan baik, saya akan kembali memulai karir saya. Namun, jika tidak, saya akan mengakhiri karir saya sebagai pemain profesional,” akunya.

Dia bercerita, dia selalu merasa menyesal ketika dia harus rehat. Selain OCD, dia juga memiliki masalah dengan punggungnya. Bahkan sampai sekarang, dia masih memiliki masalah dengan punggungnya. Dia sempat merasa sangat kecewa dan menyalahkan keadaan. Namun, dia sadar bahwa masalah kesehatan yang dia alami terjadi karena dia tidak berolahraga dan senang memakan makanan instan.

“Keputusan saya untuk mengundurkan diri sangat mendadak. Saya bahkan tidak mendiskusikan ini dengan orangtua saya. Saya lalu memberitahukan mereka bahwa selama saya memiliki OCD, saya tidak akan bisa menjadi pemain profesional,” ujar PawN. Dia merasa, jika dia kembali ke competitive gaming scene sebelum menyelesaikan masalahnya, dia hanya akan menjadi beban bagi orang lain. “Pada fans saya, saya meminta maaf. Saya akan melakukan semua yang saya bisa untuk menyembuhkan OCD saya. Jika saya bisa kembali, saya harap kalian semua akan menyambut saya dengan tangan terbuka. Terima kasih.”

Terlepas dari apakah PawN akan bisa kembali menjadi pemain profesional atau tidak, perjalanan karirnya menunjukkan betapa kerasnya perjuangan seorang atlet esports.

Sumber header: Twitter

Sepak Terjang DRivals dan Team Scrypt Selama 2019

Tanpa terasa penghujung tahun 2019 sudah di depan mata. Banyak hal terjadi pada dunia esports. Tahun 2019 juga jadi tahun yang dinamik bagi Hybrid.co.id. Sejak lepas dari status ‘beta’ pada Februari 2019 lalu, Wiku Baskoro co-founder Hybrid.co.id sudah mengemukakan alasan atas hadirnya Hyrid di ekosistem esports.

Sejak awal, Hybrid tak hanya sekadar ingin menjadi media yang mewartakan perkembangan esports dan gaming, tetapi Hybrid juga ingin agar kehadirannya bisa memberi dampak berarti kepada ekosistem esports dan gaming lokal. Mendukung dan membantu tim, yang merupakan bagian ekosistem esports, ke arah lebih baik menjadi salah satu dari banyak cara Hybrid untuk mewujudkan visi tersebut.

Pada tahun ini, Hybrid mendukung dua tim esports di dua cabang game berbeda. Pertama ada DRivals, yang punya jajaran petarung Tekken 7 papan atas di skena Jakarta dan sekitarnya. Kedua ada Team Scrypt, tim berisikan sekelompok anak muda penuh ambisi mengejar prestasi di skena internasonal Rainbow Six: Siege.

Dalam artikel ini, kami akan sedikit melakukan kilas balik atas perjalan, prestasi dan pencapaian kedua tim tersebut sepanjang tahun 2019 ini.

Renjana berbuah prestasi

Passion, satu kata yang bisa dibilang sebagai bibit perkembangan dunia esports sampai jadi sebesar ini. Walau pada nyatanya passion saja tidak cukup membuat Anda bertahan di esports, namun perasaan mencintai hal yang dilakukan tetap menjadi bahan bakar yang membuat orang tetap punya alasan untuk terus melakukan apa yang ia lakukan.

Begitu juga dengan DRivals dan Team Scrypt. Saya bisa bilang bahwa kedua tim tersebut adalah tim yang sangat ambisius dan punya passion kuat dalam mengarungi kerasnya dunia esports. Banyak pemain mungkin sudah menyerah bertarung dalam dunia kompetisi game seperti Tekken 7 atau Rainbow Six: Siege. Selain kompetisinya yang keras, keuntungan material pada skena dua game tersebut juga bisa dibilang tidak sebesar skena mobile game yang memang belakangan sedang booming di Indonesia.

“Gue cukup yakin bahwa tim Indonesia itu pantas untuk menghadapi dan bisa menang lawan tim-tim hebat tingkat internasional. Karena hal itu gue jadi terus semangat untuk mengejar cita-cita gue, yaitu menjadi tim dan juga pemain Rainbow Six: Siege terbaik di dunia.” ujar Ilham Surya (Sunan), kapten tim Scrypt kepada saya dalam sesi Hybrid Talk yang kami lakukan November 2019 lalu.

Sumber: Facebook pribadi Jovian Cobus
Sumber: Facebook pribadi Jovian Cobus

Jovian (Cobus) kapten tim DRivals juga menceritakan bagaimana passion menjadi bahan bakar utamanya dalam mencapai mimpi jadi juara di skena Tekken. Dalam postingan pribadinya, ia mengatakan, “Sejak awal gue main Tekken pada zaman sekolah, kalah berkali-kali, gue gak pernah menyerah. Sampai akhirnya di tahun ini, gue yakin usaha keras memang tidak akan mengkhianati hasil. Karena pada akhirnya gue berhasil mendapatkan prestasi yang memuaskan setelah perjuangan keras tersebut.”

Tak heran jika ada banyak hal terjadi pada tahun 2019 ini. Mulai dari prestasi, sampai tantangan yang memberi pelajaran positif bagi kedua tim. DRivals mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Berawal dari hanya memenangkan kompetisi tingkat grassroot saja, mereka mendapatkan puncak prestasinya saat Anthony (TJ), menjadi runner-up di gelaran IENC Road to SEA Games 2019. Jovian juga mengatakan bahwa kompetisi itu masih jadi salah satu pertandingan Tekken 7 terberat yang mereka jalani. Kompetisi tersebut juga menjadi turning point bagi DRivals yang membuat mereka jadi lebih terorganisir seperti sekarang.

Tahun 2019 dari kacamata kedua tim

Menjadi tahun kebangkitan bagi skena Tekken 7 di Indonesia, 2019 juga berarti banyak bagi DRivals. Pada awalnya tim ini hanyalah satu geng pertemanan di dalam komunitas Tekken. Dimulai dari dua bersaudara Aldo (JackBoostin) dan Aldi (NoDrop), DRivals ternyata menemukan teman-teman sepemikiran di sepanjang perjalanannya, yang membuatnya kini jadi berisikan 21 orang.

Momen IENC Road to SEA Games 2019 menjadi momen yang mendorong mereka untuk lebih serius mengembangkan tim. Ketika itu DRivals mendapat momentum dengan menempatkan dua anggotanya di top 3 kompetisi tingkat nasional. Selain TJ di posisi 2, adik Jovian yaitu Javier (Ayase), juga berhasil mendapatkan peringkat ketiga.

Dari momen tersebut, mereka mulai berusaha mengembangkan sayapnya, memperkenalkan DRivals kepada khalayak lebih banyak. Sejak Agustus, mereka mulai membuat konten streaming dengan berbagai program seperti DRivals Gopay Challenge, DRivals Cup, dan DRivals Team War.

Selain itu, mereka juga giat membuat konten video seputar Tekken. Hybrid turut membantu hal ini dengan menyediakan fasilitas berupa studio bagi DRivals dalam membuat konten talkshow, tutorial, bedah match, dan lain sebagainya.

Jovian bercerita, buah dari usahanya mengenalkan DRivals dan Tekken ke khalayak ramai ternyata berhasil menarik perhatian yang cukup positif. Saat ini, channel Youtube DRivals on Air sudah punya 600 subscribers. Bukan angka yang besar kalau dibanding JessNoLimit, tapi itu adalah jumlah yang cukup besar bagi channel Youtube dengan konten Tekken 7 berbahasa Indonesia.

Dokumentasi Hybrid - Ajie Zata
Dokumentasi Hybrid – Ajie Zata

Usaha mereka memperkenalkan DRivals ke komunitas juga terbukti berhasil menarik perhatian. Jumlah anggota mereka bertambah dengan cukup signifikan. Apalagi kehadiran Hybrid Dojo sebagai ajang temu komunitas Tekken 7, juga mempermudah DRivals untuk bertemu kawan baru dan petarung potensial untuk direkrut ke dalam tim.

Berkat itu, DRivals yang awalnya hanya beranggotakan 9 orang saja, kini berkembang jadi punya 2 sub-divisi. Kini mereka punya sub-divisi bernama DRivals X, berisikan 9 orang pemain berusia muda yang punya penuh potensi. Sub-divisi kedua mereka adalah wadah bagi pecinta Tekken perempuan untuk berkomunitas dan berlatih tanding yang bernama DRivals Girls. Saat ini, sub-divisi perempuan DRivals baru memiliki 3 orang anggota saja.

Setelah cukup menguasai skena kompetisi di sekitar Jabodetabek, tahun 2019 juga jadi momentum DRivals menjajal kemampuannya pada pertandingan yang ada di luar Indonesia. Sampai saat ini, ada dua pemain DRivals yang sudah berangkat ke luar negeri, yaitu TJ yang bertanding pada REV Major 2019, dan Retardo yang mengikuti Last Chance Qualifier TWT 2019.

Bukan hanya bagi DRivals, tahun 2019 juga jadi tahun yang penting untuk Team Scrypt. Ajie Zata (WildLotus) manajer Team Scrypt mengatakan bahwa tahun 2019 adalah tahun kompetitif kedua bagi mereka. Walau mungkin tidak diwarnai prestasi-prestasi gemilang, namun mereka menghadapi momen naik turun yang memberi banyak pelajaran bagi proses perkembangan tim. Tantangan pertama yang harus mereka terima adalah menghadapi 2019 dengan tanpa dukungan organisasi esports. Momen ini terjadi tepatnya pada akhir 2018 lalu, ketika Aerowolf akhirnya melepas Sunan dan kawan-kawan, dan memaksa mereka berjalan sendiri dengan nama Team Scrypt.

Belum lagi di awal 2019 mereka juga harus menghadapi bongkar pasang roster, seperti Lads dan Kenody yang keluar karena beberapa urusan dan Array yang memutuskan untuk tetap bermain bersama Aerowolf. Akhirnya untuk Pro League 9, mereka bertnding dengan roster berisikan Sunan, Kicked, Evou, Quervo, dan SpeakEasy.

Badai pergantian roster tidak berhenti sampai situ saja. Setelah first-half Pro league 9, SpeakEasy juga keluar, memutuskan untuk gabung dengan Aerowolf. Rixx datang sebagai pengganti. Namun demikian, semangat Team Scrypt untuk menembus skena Internasional tetap tak terhentikan.

Sumber: dokumentasi - Team Scrypt
Sumber: dokumentasi – Team Scrypt

Mereka berusaha mengikuti qualifier kompetisi besar seperti Raleigh Major, ataupun menembus tingkat yang lebih tinggi lewat Pro League. Berkali-kali hampir lolos, namun usaha mereka sepertinya masih belum bisa membuahkan hasil yang manis. Namun demikian, disela itu mereka juga mendapat buah prestasi di kancah lokal lewat gelaran ESL Indonesia Community Cup.

Namun demikian, mereka kembali harus menghadapi tantangan. Ini mungkin adalah tantangan terbesar yang harus dihadapi oleh Team Scrypt pada tahun 2019. Pada R6 Pro League Season 10, mereka harus menerima satu kejadian yang cukup membuat terpukul. Kejadian tersebut adalah ketika mereka harus berjibaku dengan masalah internal, yang membuat Team Scrypt terdepak dari Pro League dan dipaksa mendaki dari awal lewat Challenger League Season 10.

Sumber: dokumentasi - Team Scrypt
Sumber: dokumentasi – Team Scrypt

Namun, tantangan datang dengan berkah, Array setuju untuk kembali bergabung dengan Team Scrypt. Tolji, pemain muda andalan Team Scrypt akhirnya cukup umur untuk mengikuti kompetisi Pro League. Kedatangan pemain tersebut, Ajie akhirnya memutuskan turun dari dunia kompetitif dan fokus menjadi manajer tim.

Setelah jatuh bangun di Challenger League Season 10, kembali menghadapi bongkar pasang roster, mereka akhirnya berhasil memenangkan kompetisi tersebut yang memberi Team Scrypt hak atas slot ProLeague Season 11 yang dimulai pada Januari 2020 nanti. Selain dari itu, jelang akhir tahun ini Team Scrypt juga mendapat buah prestasi lokal berupa juara pertama di gelaran R6S Road to Hybrid Cup #1.

Tantangan untuk menjadi lebih baik

Terlepas dari semua tantangan yang dihadapi DRivals dan Team Scrypt, tahun 2019 tetap menjadi tahun yang penting dengan berbagai prestasi yang mereka kumpulkan sepanjang tahun ini. Berikut pencapaian DRivals dan Team Scrypt sepanjang tahun 2019.

Deretan Pencapaian Drivals tahun 2019

  • Januari 2019 – MyRepublic FightFest
    • DRivals | TJ – 2nd place
  • Februari 2019 – ExtraXpo CIMB Niaga
    • DRivals | TJ – 2nd place
  • Maret 2019 – ESL Indonesia
    • DRivals | Ayase – 2nd place
  • Mei 2019 – MSI Invitation Gaming Competition
    • DRivals | TJ – 1st place
  • Juli 2019 – IENC Road to SEA Games 2019
    • DRivals | TJ  – 2nd place
    • DRivals | Ayase  – 3rd place
  • Agustus 2019 – Gelar Jepang UI Tekken Competition
    • DRivals | Cobus – 2nd place
  • September 2019 – Hybrid Cup Tekken 7
    • DRivals | TJ – 2nd place
    • DRivals | Pricefield – 3rd place
  • Oktober 2019 – Indonesia Comic Con 2019 Tekken 7 Competition
    • DRivals | Cobus – 2nd place
  • Oktober 2019 – Creator SuperFest 2019 Tekken 7 Competition
    • DRivals | RTM
Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Hybrid Cup Series Play on PC Tekken 7 Team Fight. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono
  • November 2019 – Hybrid Cup Series Play on PC Tekken 7 Team Fight
    • (DRivals On Air) TJ, Cobus, Ayase – 1st place
    • (DRivals NightCook) RTM, PriceField, Zwei – 2nd place
    • (DRivals | Retard Brothers) Jackbosstin, NoDrop, Retardo – 3rd Place
  • Desember 2019 – Asus ROG Tekken 7 Competition
    • DRivals | Cobus – 1st place
    • DRivals | RTM – 3rd place
  • Desember 2019 – Lenovo Legion Tekken 7 competition
    • DRivals | Cobus – 1st place
    • DRivals | TJ – 3rd place
  • Desember 2019 – ExgCon Tekken 7 Tournament by Advanced Guard
    • DRivals | Cobus – 1st place
  • Desember 2019 – Lenovo Legion Legacy Tekken 7 Competition
    • DRivals | Cobus – 2nd place
    • DRivals | NoDrop – 3rd place

Deretan Pencapaian Team Scrypt tahun 2019

  • April 2019 – ESL Pro League Season 9 SEA – 3rd place
  • Agustus 2019 – Raleigh Major Qualifier – 3rd place
  • Agustus 2019 – ESL Indonesia Community Cup – 1st place
  • November 2019 – ESL Challengger League Season 10 SEA – 2nd Place (Qualified to ESL Pro League Season 11)
  • November 2019 – Six Invitational Open Qualifier SEA – 1st place
  • November 2019 – Six Invitational Closed Qualifier SEA – 2nd place

Team Scrypt dan juga DRivals, keduanya siap menyongsong tahun baru 2020 dengan semangat dan pencapaian-pencapaian baru yang ingin dicapai. Ajie bercerita, untuk Team Scrypt, mimpi besar mencapai panggung Six Invitational masih jadi yang utama. Lalu untuk mencapai itu, Ajie melengkapinya dengan mimpi-mimpi yang lebih kecil seperti lolos ke dalam gelaran Major, dan juga mencapai APAC Finals di Pro League season 11.

Sambil mencapai hal tersebut, Team Scrypt juga terus berusaha mempublikasikan R6S ke komunitas dan juga khalayak umum. Selain dengan bantuan Hybrid sebagai rekan media, mereka juga memiliki beberapa channel pribadi milik beberapa pemain. Seperti Kicked dengan channel Youtube miliknya, serta Quervo dan Array dengan channel Twitch miliknya masing-masing.

Sementara bagi DRivals, tujuan mereka di tahun 2020 adalah semakin mengembangkan sayap mereka di skena lokal dan internasional. “Kami ingin bisa menjaring lebih banyak bakat baru di Tekken Indonesia. Selain itu, kami juga ingin bisa lebih memberi pengaruh kepada ekosistem, agar masyarakat bisa lebih mengenal Tekken.” ucap Jovian kepada Hybrid.

Setelah cerita panjang naik turun kedua tim di tahun 2019, mari kita bersiap dan berdoa, agar 2020 nanti juga menjadi tahun yang baik bagi kedua tim dan juga Hybrid. Kami dengan visi untuk memberi dampak kepada ekosistem esports Indonesia, akan tetap mendukung kedua tim tersebut agar mereka bisa menggapai mimpi-mimpinya di tahun 2020 nanti.

Header Image by Hybrid – Ajie Zata

Game-Game yang Paling Dinanti di Tahun 2020

Bahkan ketika 2019 berlalu, sejumlah game yang dirilis selama 12 bulan ke belakang atau tahun-tahun sebelumnya akan tetap jadi favorit banyak orang. Tentu saja, ada banyak judul yang perilisannya begitu ditunggu-tunggu di 2020. Tahun 2020 merupakan momen gaming istimewa, menandai dimulainya periode transisi dari console generasi saat ini ke next-gen. Di masa itu, pembelian hardware mungkin menurun, namun penjualan game ialah hal berbeda.

Ada banyak judul menarik yang siap untuk dilepas, baik sebelum maupun sesudah Microsoft dan Sony meluncurkan Xbox anyar dan PlayStation 5. Mereka terdiri dari permainan eksklusif serta multi-platform. Tentu saja kita belum tahu jelas kualitas konten dari game-game tersebut hingga dirilis, namun melihat respons positif khalayak terhadap penyingkapannya, peluncuran judul-judul ini telah lama diantisipasi.

Ini dia 10 game terbesar yang perilisannya sangat dinanti di 2020.

 

Cyberpunk 2077

16 April 2020

Ketika kita mengira tak ada yang bisa lebih menghebohkan dari pengungkapan video gameplay Cyberpunk 2077, Keanu Reeves muncul di panggung presentasi Xbox E3 2019, mengonfirmasi bahwa ia ikut membintangi game, dan mengumumkan tanggal rilis permainan open-world action-RPG raksasa ini. Siapa yang tak penasaran dengan karya CD Projekt Red selanjutnya setelah kesuksesan The Witcher 3?

 

Ghost of Tsushima

Musim panas 2020

Dengan mengendepankan elemen action, stealth serta sejarah, Ghost of Tsushima bisa kita ibaratkan sebagai Assassin’s Creed versi Jepang. Tim Sucker Punch berusaha memberikan pengalaman jadi samurai yang autentik lewat penggunaan audio berbahasa Jepang, sembari menggandeng komposer Shigeru Umebayashi.

 

Halo Infinite

Kuartal empat 2020

Setelah aksi kejar-kejaran antara Blue Team dengan Fireteam Osiris, Infinite akan kembali memfokuskan petualangan pada Master Chief John-117. Developer 343 Industries menjanjikan jalan cerita yang ‘lebih manusiawi’ dan Halo Infinite rencananya akan jadi salah satu permainan pertama console Xbox generasi selanjutnya.

 

Final Fantasy VII Remake

3 Maret 2020

Remake Final Fantasy VII diumumkan di tengah-tengah tingginya harapan gamer agar Square Enix menggarap ulang JRPG klasik yang dirilis lebih dari dua dekade silam itu. Namun developer tak sekadar membangun remake berbekal teknologi baru saja, mereka juga menyajikannya secara berbeda dengan membagi permainan ke dalam episode berbeda.

 

Doom Eternal

22 November 2020

Memadukan kearifan formula shooter masa lalu dengan gameplay modern terbukti jadi arahan tepat dalam mengembangkan reboot Doom. Pendekatan tersebut diteruskan di Eternal. Game ini lagi-lagi mendorong kita bermain secara agresif, dibantu oleh perlengkapan baru yang mempersilakan Anda melakukan bermacam-macam manuver.

 

Resident Evil 3 Remake

3 April 2020

Kesuksesan remake Resident Evil 2 membuka jalan bagi pengembangan sekuelnya. Di remake Resident Evil 3, kita akan kembali ditugaskan untuk memandu JIll Valentine menyelamatkan diri dari Raccoon City (serta kejaran senjata biologis bernama Nemesis). Berbeda dari permainan sebelumnya, Resident Evil 3 lebih mengedepankan elemen action.

 

Half-Life: Alyx

Maret 2020

Banyak fans kecewa karena game terbaru di jagat Half-Life hanya bisa diakses via headset VR, tapi Valve memang seperti itu: mereka selalu mengintegrasikan teknologi terkini di karya-karyanya (Half-Life 2 dimanfaatkan buat memperkenalkan Steam). Alyx ialah game pertama di seri ini yang fokus pada tokoh protagonis selain Gordon Freeman.

 

The Last of Us Part II

29 Mei 2020

Beban berat dipikul oleh Naughty Dog menyusul kesuksesan The Last of Us memukau gamer. Developer berambisi untuk menggarap penerusnya ini secara lebih masif dengan cerita yang lebih dewasa. Durasi pengembangannya berlangsung sangat lama, dan demi memastikan konten single-player-nya memuaskan, Naughty Dog menghapuskan mode multiplayer.

 

Ori and the Will of the Wisps

11 Februari 2020

Hampir tiga tahun sesudah diumumkan, sekuel Ori and the Blind Forest ini akhirnya memperoleh tanggal rilis. Tetap mengusung formula platformer Metroidvania dan menghidangkan visual yang indah, Will of the Wisps juga dibekali sejumlah modifikasi: autosave menggantikan manual save, lalu sistem upgrade shards diganti dengan charms ala Hollow Knight.

 

Marvel’s Avengers

15 Mei 2020

Demi membuatnya berbeda dari film-film MCU serta memastikan agar permainan mampu memikat gamer, Square Enix menugaskan dua studio papan atas untuk mengerjakan Marvel’s Avengers: Crystal Dynamics selaku pencipta reboot Tomb Raider, dan Eidos Montréal yang bertanggung jawab atas pengembangan Deus Ex: Human Revolution.

Berikut ini adalah sepuluh game most wanted lain yang juga sangat ditunggu, semoga saja waktu rilisnya tidak melampaui tahun 2020:

 

Overwatch 2

 

Diablo IV

 

The Legend of Zelda: Breath of the Wild 2

 

Kerbal Space Program 2

 

Everwild

 

Senua’s Saga: Hellblade II

 

Watch Dogs: Legion

 

Psychonauts 2

 

Metroid Prime 4

 

Beyond Good & Evil 2

Bagaimana Industri Game Memengaruhi Fashion?

Semakin banyak merek non-endemik yang tertarik untuk bekerja sama dengan pelaku industri game dan esports, termasuk merek fashion. Bahkan merek mewah seperti Louis Vuitton sekalipun masuk ke esports dengan bekerja sama dengan Riot Games, developer dari League of Legends. Melalui kerja sama ini, Louis Vuitton membuat travel case untuk trofi dari League of Legends World Championship, Summoner’s Cup. Tak berhenti sampai di situ, Louis Vuitton juga mendesain skin untuk karakter dalam League of Legends. Pada bulan ini, merek asal Prancis ini juga memamerkan koleksi LVxLOL dengan harga yang fantastis.

Menariknya, Louis Vuitton tidak menargetkan para gamer dengan kolaborasi mereka dengan Riot. “Koleksi LV x LoL tidak ditujukan untuk fans League,” kata Consumer Products Specialist, Mandie Roman, dikutip dari Inven Global. “Lihat berapa banyak produk yang ada dalam koleksi itu. Tapi, tidak banyak produk yang menampikan Qiyana. Demografi yang menjadi target kami tetaplah demografi yang memang biasa membeli barang mewah seperti ini.” Lebih lanjut dia menjelaskan, kerja sama antara Louis Vuitton dan Riot menjadi bahan pembicaraan di dunia marketing. “Ketika Vogue dan merek non-gamer lain membicarakan hal ini, ini memberikan dampak baik pada League,” ujarnya. Sementara itu, Louis Vuitton diuntungkan karena kolaborasi tersebut dapat meningkatkan brand awareness mereka.

Lightning menjadi model dari produk Louis Vuitton dan model yang terinspirasi oleh Lightning. | Sumber: Inven Global
Lightning menjadi model dari produk Louis Vuitton dan model yang terinspirasi oleh Lightning. | Sumber: Inven Global

Kerja sama dengan Riot bukan kali pertama Louis Vuitton masuk ke dunia game. Sebelum ini, mereka pernah membuat kolaborasi dengan Final Fantasy. Hanya saja, ketika itu, tidak ada produk Louis Vuitton yang menampilkan karakter dari game tersebut. Sebagai gantinya, Lightning — karakter dalam Final Fantasy XIII — menjadi model dari pakaian yang didesain oleh Louis Vuitton.

Louis Vuitton bukanlah satu-satunya merek fashion yang bekerja sama dengan perusahaan game. Belum lama ini, DN Handbags juga menjalin kerja sama dengan Nintendo untuk membuat koleksi tas tangan yang menampilkan karakter Super Mario dan controller NES. Produk dalam koleksi tersebut memiliki rentang harga dari US$18 (sekitar Rp250 ribu) sampai US$88 (sekitar Rp1,2 juta). Dalam koleksi LV x LoL sendiri, produk yang menampilkan gambar Qiyana memiliki harga yang relatif terjangkau jika dibandingkan dengan produk lainnya. Mengingat kecil kemungkinan para gamer rela menghabiskan puluhan juta rupiah untuk membeli jaket atau sepatu, maka keputusan Louis Vuitton masuk akal.

Selain bekerja sama dengan perusahaan game, merek fashion juga mengadakan kolaborasi dengan organisasi esports. Misalnya, Puma yang menggandeng Cloud9 untuk meluncurkan koleksi khusus bagi para gamer. Masing-masing merek biasanya memiliki strategi yang berbeda-beda. Sebagai contoh, Nike memutuskan untuk fokus mensponsori liga esports di Tiongkok sementara Li-Ning, merek sportswear asal Tiongkok, lebih fokus untuk menjadi sponsor dari atlet esports.

Bertemu Developer Game Indonesia Lulusan Google IGA 2019 di Singapura (+ Video)

Google kembali menggelar acara kelulusan program Indie Games Accelerator 2019 pada awal Desember kemarin bagi pengembang game terpilih yang telah masuk program akselerator tersebut. Setelah mendapatkan bimbingan dengan total durasi 6 bulan, kini para game developer tersebut bisa membagikan ilmu mereka secara internal atau pun bersama komunitas di negara masing-masing. 

Program IGA merupakan inisiatif Google untuk memberikan ruang bagi para pengembang indie di wilayah Asia, Middle East & Africa serta Amerika Latin untuk mendapatkan mentorship dalam mengembangkan perusahaan dan game mereka. IGA merupakan bagian dari program Launchpad Accelerator yang bekerja sama secara intens dengan Google Play. 

Tahun 2019 ini ada 1700 developer game yang mendaftar dan hanya 30 yang terpilih dari 27 negara untuk ikut program IGA 2019. IGA ditujukan untuk memberikan pengetahuan bagi para pengembang game, baik itu dari mentorship dari mentor-mentor terpilih maupun dari pengetahuan akan tools atau perangkat yang disediakan Google agar bisa dimaksimalkan oleh pengembang game. Google ingin pengembang game bisa mencapai sukses jangka pendek maupun panjang dengan program ini. DIharapkan para pengembang developer yang ikut juga bisa ikut andil dalam ekosistem game developer di negara mereka berada. 

 

IGA 2019

Indonesia termasuk yang ‘mengirimkan’ wakil terpilih mereka untuk program IGA tahun 2019. Ada dua pengembang game asal Indonesia yang ikut yaitu Nightspade dan Maentrus Digital Lab. IGA 2019 juga menjadi tahun spesial bagi pengembang wilayah LATAM karena tahun ini adalah tahun pertama pintu bagi pengembang asal negara ini bisa ikut mendaftarkan diri dan terpilih untuk ikut program. 

Fasilitas yang didapatkan peserta antara lain adalah undangan untuk ikut bootcamp selama 2 hari penuh di kantor Google Singapura, mentorship yang terpersonalisasi, peluang untuk di-showcase di Google Play, dukungan credit $20.000 di Google Cloud Platform dan Firebase + dukungan training dan support, 1 smartphone Google Pixel, undangan ke acara Google Play Time 2019 di Singapura, delegate pass untuk Google I/O 2019 dan undangan
training Unity.

Acara kelulusan sendiri tahun ini diadakan kembali di kantor Google Singapura yang juga merupakan kantor pusat untuk wilayah Asia Pasifik. DailySocial juga turut diundang untuk menghadiri acara IGA 2019. Kami tidak hanya ikut menyaksikan acara kelulusan tetapi juga berbincang dengan perwakilan dari pengembang game asal Indonesia plus mentor yang juga berasal dari Indonesia. Tidak hanya itu, saya dan perwakilan media yang ikut juga diberikan beberapa penjelasan tentang program IGA dan mengapa Google ‘ngotot’ untuk turun langsung membantu para pengembang game dalam mengembangkan karya mereka. 

Tentang IGA 2019, apa yang menarik?

Ini kali pertama saya mengikuti acara IGA yang diselenggarakan oleh Google. Waktu angkatan pertama, tim saya yang mengikuti acaranya. Tapi ini bukan kali pertama saya mengikuti atau menghadiri acara Google yang terkait developer aplikasi. Google memang memiliki beberapa program untuk para pengembang aplikasi, dan IGA sendiri masuk dalam program Launchpad Accelerator yang biasanya ditujukan untuk para pengembang aplikasi non games. Keputusan Google untuk mengadakan mentorship untuk para pengembang aplikasi memang cukup menarik. 

Yang pertama adalah niatan Google untuk turun langsung mengembangkan toko aplikasi mereka terutama yang berhubungan dengan aplikasi. Dukungan tim dari Google Play tentunya memberikan harapan bagi para pengembang aplikasi game, terutama yang masih indie dan masih butuh bantuan untuk mendapatkan mentorship yang bisa jadi tidak bisa mereka dapatkan dengan usaha sendiri. 

IGA 2019

Vineet Tanwar, Manager, Business Development Google Play menyebutkan dalam salah satu presentasi di IGA 2019, di toko aplikasi mereka alias Google Play bahkan kini ada sudut atau corner khusus untuk para pengembang indie, namanya Indie COrner (g.co/playindie). Area ini berisi judul-judul game dari pengembang indie, di-update oleh Google secara berkala. 

Yang kedua adalah ditambahnya wilayah LATAM ke dalam program IGA untuk tahun kedua ini. Wilayah LATAM sendiri memang dikenal sebagai market game yang cukup menarik untuk pasar mobile gaming. Bahkan untuk pengembang game dari Indonesia. Saya ingat beberapa tahun lalu ada pengembang aplikasi lokal yang pengguna game mereka lebih banyak dari pasar LATAM alih-laih dari ranah lokal. Jumlah pengembang game yang ikut dalam program IGA 2019 kali ini juga cukup banyak, jauh lebih banyak dari negara lain. 

Pihak Google mengatakan saat sesi tanya jawab, hal ini dikarenakan program baru pertama kali terbuka untuk pengembang wilayah ini jadi pengembang aplikasi yang ikut serta cukup membludak. 

IGA 2019

Data statistik dari Newzoo dan McKinsey yang dikutip dalam presentasi di acara menampilkan perbandingan populasi dan pangsa pasar game, LATAM memiliki populasi 656 juta dengan gamers sebanyak 252 juta orang sedangkan SEA 626 juta orang dengan gamers sebanyak 181 juta. Ini adalah gambaran kasar pangsa pasar game, tentu saja pengembang kemudian harus menelaah pasar gaming mobile jika ingin berkembang di Play Store. 

Di waktu presentasi berbeda, Kunal Soni, Director, Business Development Google Play Apps & Games – SEA, India & AU menampilkan beberapa data tentang pasar gaming, terutama untuk mobile gaming

IGA 2019

Penetrasi smartphone di SEA diprediksikan terus meningkat dari 353 juta pengguna di tahun 2019 menjadi 372 juta dan untuk LATAM dari 273 juta di tahun 2019 menjadi 287 juta di tahun 2020 (data dari Canalyst dan eMarketer). 

Kunil juga mengutip data dari Newzoo yang menyebutkan bahwa pasar  gaming mobile saat ini sebesar 54,9 miliar dollar dan akan bertumbuh menjadi 79.7 miliar dollar pada tahun 2020. 

IGA 2019

Sedangkan untuk mobile gaming revenue, Kunil mengutip laporan Newzoo menyebutkan bahwa pendapatan dari game di SEA meningkat dari $3.2 miliar di tahun 2019 diprediksi menjadi $6.1 miliar di tahun 2020. Sedangkan untuk pasar LATAM, $2.2 miliar di tahun 2019 diprediksi menjadi $3.5 miliar di tahun 2020. 

IGA 2019

IGA2019

Google sendiri menyebutkan saat ini ada 2.5 miliar perangkat aktif Android dan 2 miliar lebih pengguna aktif Google Play. Untuk unduhan, Google Play melihat ada 115 miliar lebih unduhan dalam 12 bulan terakhir. 

Beberapa tools yang dipersiapkan Google untuk mendukung perkembangan game di platform mereka antara lain custom listing pages, pre-reg rewards dan Google Play Instant, juga dukungan pengembangan seperti Android Bundles. 

Kunil juga tidak lupa menyingung tentang perihal cara pembayaran, baik itu dengan operator, gift cards ataupun mobile wallet. Termasuk tentang bagaimana fasilitas pembayaran ini tersedia untuk wilayah SEA ataupun LATAM. Lengkapnya bisa dilihat di foto berikut:

IGA 2019

Pendapat developer lokal

Dari kehadiran saya di acara, bisa terdengar jelas bahwa salah satu hal yang paling membantu para developer game yang ikut program adalah mentor. Anda bisa melihat daftar mentor lengkap di sini.

IGA 2019

Saya mendengar ‘curhatan’ para perwakilan developer dari berbagai negara, termasuk juga mengobrol santai dengan dua perwakilan developer lokal yang ikut acara ini, Garibaldi Mukti CEO dari Nightspade dan Reza Febri Nanda, CTO Maentrus Digital Lab. Dan dari sini saya bisa melihat bagaimana para pengembang ini sangat antusias dengan para fasilitas mentorship yang diberikan. Tidak hanya orangnya (beberapa diantaranya adalah orang dengan nama besar studio game terkenal) tetapi juga dari materinya. 

Sami Kizilbash – Developer Relations Google menjelaskan dalam presentasi di acara tentang desain kurukuilum dari IGA 2019. Mulai dari mengembangkan game dan mendesainnya, mengembangkan bisnis, monetisasi dan user economics, melakukan test game yang telah dikembangkan sampai dengan membangun perusahaan sebagai studio game yang bisa berkembang terus. Dari kurikulum ini pengembang bisa mendapatkan cakupan yang cukup luas untuk mulai mengenbangkan game atau memperbaiki game yang telah/tengah dilkembangkan. 

IGA 2019

Google juga mendesain bahwa para mentor yang ada sesuai dengan tantangan yang dihadapi oleh para peserta, bahkan para game studio juga bisa request untuk mentornya sehingga bisa mendapatkan masukan atau ilmu yang benar-benar dibutuhkan. 

Selain kurikulum yang didesain untuk fokus pada keberhasilan peserta, ada satu hal yang cukup disebut oleh banyak peserta sebagai salah satu manfaat yang berkesan bagi peserta, yaitu OKR atau Objectives and Key Results. Semacam sebuah panduan untuk para peserta agar bisa menentukan objective dan key results dari produk/usaha yang dikembangkan, berfokus pada pengembangan tim serta mampu memprioritaskan hasil dengan timeline tertentu. 

IGA 2019

OKR ini juga disebut saat saya berbincang dengan peserta asal Indonesia. Dengan diarahkan dalam workshop mereka jadi bisa menjalankan proses mengembangkan game dengan lebih baik karena jelas proses dan timeline-nya termasuk objective dan hasil yang ingin dicapai. 

IGA 2019

Contoh yang paling menarik adalah dari Garibaldi – Nightspade yang menceritakan bahwa saat mengikuti program ini mereka tengah mengerjakan sebuah game. Namun ketika workshop berlangsung ternyata proses yang mereka jalankan tidak sepenuhnya benar. Maka Nightspade mencoba untuk tetap mengembangkan game yang telah dijalankan tetapi di sisi lain mengembangkan game lain dengan hasil pelajaran yang mereka dapatkan di IGA. Hasilnya, ternyata game baru yang dikembangkan dengan materi dari workshop lebih berhasil. 

Materi tentang leadership juga mendapatkan feedback dari peserta dengan cukup signifikan. Mereka diajarkan untuk membangun sebuah perusahaan yang bisa berkelanjutan. Apalagi game developer terdiri dari berbagai tim dengan keahlian yang berbeda-beda, butuh kepemimpinan yang baik untuk menyatukannya menjadi satu game yang baik. 

Google juga mengatakan bahwa leadership ini penting karena para peserta diajakuntuk membangun perusahaan bukan hanya sebuah produk (game). product.

IGA 2019

Key takeaways

Indie Games Accelerator bisa jadi salah satu pilihan bagi pengembang game indie yang ingin mencari program akselerator. Diselenggarakan oleh ‘empunya’ toko aplikasi alias Play Store yang ada di Android. Memang jumlah peserta dan yang lolos seleksi cukup jauh perbandingannya. Dengan kata lain persaingannya akan cukup ketat. Namun Google membagi pengembang ini adalah berbagai wilayah, jadi kalau memang kualitasnya baik dan memang pengembang game-nya memiliki peluang untuk berkembang dan tentu saja masuk persyaratan yang telah ditentukan Google, para pengembang developer punya peluang untuk ikut program ini. 

Saya melihat bahwa tidak hanya nama besar Google yang menarik dari program ini tetapi para mentor yang bisa membagi pengalaman pengembangan game mereka baik bisnis atau produk, dan satu lagi yang juga penting adalah tools dari Google. Bukan hanya tools yang bersifat teknis seperti cloud platform atau firebase tetapi juga tentunya tools yang berhubungan dengan Play Store. Proses A/B test, bagaimana caranya mengumpulkan data, optimasi ukuran file (APK), penggunaan baterai secara optimal adalah beberapa hal yang penting untuk diperhatikan bagi game developer mobile

Tools lain seperti OKR dan leadership membantu para game developer indie untuk tidak hanya fokus membuat game yang baik tetapi juga belajar proses yang benar serta mengembangkan perusahaannya untuk menjadi studio yang berkembang. 

IGA 2019

Sayang memang saya tidak menanyakan secara spesifik bagaimana kualifikasi indie yang dijalankan Google. Karena dari peserta IGA 2019 ini memang cukup beragam dan tidak hanya berisi game developer kecil beranggotakan di bawah 5 orang atau mereka yang belum pernah atau sedang mengembangkan game. Ada juga studio yang gamenya telah diunduh oleh jutaan pengguna, ada pula game developer yang telah mengembangkan game untuk waktu yang cukup lama. 

Dalam laman resmi mereka juga tidak disebutkan batasan ukuran besarnya studio game atau game developer yang bisa ikut. Namun lebih pada game studio atau developer yang memang membutuhkan bantuan untuk mengembangkan game dengan lebih baik. Toh kalau memang sudah bukan ‘indie’ lagi, game developer biasanya sudah bisa jalan mandiri dalam mengembangkan perusahaan mereka. 

Sebagai pelengkap, berikut video suasana acara kelulusan IGA 2019 dan wanacara singkat saya dengan perwakilan Nightspade dan Maentrus Digital Lab, serta salah satu mentor dari Indonesia.

Tahun Ini, Budget Iklan Industri Game Turun

Sama seperti perusahaan di industri lain, pelaku industri game juga memiliki budget tersendiri untuk iklan. Menurut data iSpot.tv, industri game diperkirakan menghabiskan US$319,6 juta untuk menayangkan iklan televisi sepanjang tahun 2019. Jika dibandingkan dengan budget tahun lalu, budget iklan industri game tahun ini mengalami penurunan sebesar 14,68 persen. Karena itu, waktu siaran iklan dan impresi iklan juga mengalami penurunan. Tiga entitas yang memiliki budget iklan terbesar adalah PlayStation, Xbox, dan Nintendo.

Dana yang PlayStation siapkan untuk iklan di televisi tahun ini turun hingga 45 persen, menjadi US$108,5 juta. Meskipun begitu, mereka tetap menjadi perusahaan game dengan budget iklan terbesar. Sementara itu, dana iklan yang Xbox keluarkan tahun ini justru meroket naik. Sepanjang 2019, mereka diperkirakan mengeluarkan US$100 juta untuk iklan, naik 232 persen dari tahun lalu. Sementara dari segi impresi iklan, Xbox mendapatkan impresi iklan terbanyak dengan 4,8 miliar impresi, naik 186 persen dari tahun lalu, lapor VentureBeat.

Nintendo menjadi perusahaan game dengan budget iklan televisi terbesar ketiga dengan dana sebesar US$46 juta. Menariknya, meskipun dana iklan perusahaan Jepang ini tidak mencapai setengah budget PlayStation dan Xbox, impresi iklan mereka mencapai 3,07 miliar. Ini menunjukkan bahwa budget dan impresi tak selalu berbanding lurus. Tampaknya, salah satu alasan Nintendo bisa menekan biaya iklan mereka adalah karena siaran yang mereka pilih untuk menayangkan iklan tak menghabiskan dana besar.

Program televisi favorit dari pelaku industri game. | Sumber: VentureBeat
Program televisi favorit dari pelaku industri game. | Sumber: VentureBeat

Umumnya, pelaku industri game memasang iklan pada siaran olahraga, seperti turnamen NFL (National Football League), NBA, dan pertandingan american football tingkat universitas. Siaran american football NFL menjadi program favorit bagi pelaku industri game untuk beriklan. Diperkirakan, dana iklan perusahaan game yang masuk ke NFL mencapai US$61,2 juta, naik 14 persen dari tahun lalu. Uniknya, Spongebob Squarepants menjadi salah satu program favorit untuk pelaku indusri game untuk beriklan. Nintendo menjadi pihak yang menghabiskan dana paling besar untuk memasang iklan di siaran kartun anak-anak itu dengan dana sebesar US$7,08 juta.

Dari semua iklan game tahun ini, iklan untuk Gears 5, yang diiringi oleh lagu Evanescence, merupakan iklan game yang paling sering ditonton. Faktanya, iklan dari Xbox tersebut menjadi satu-satunya iklan game yang ditonton lebih dari satu miliar orang. Memang, iklan ini juga memiliki budget terbesar. Diperkirakan, Xbox menghabiskan US$22,7 juta untuk 2.948 penayangan. Iklan Gears 5 itu paling sering ditayangkan dalam siaran SportsCenter dan MLB Tonight. Namun, program yang menyumbangkan impresi paling banyak justru NFL dengan 362 juta impresi dan pertandingan liga american football tingkat universitas dengan 100 juta impresi.

Sumber header: TechRadar

Pemain pembayaran dan lending sudah lintas vertikal fintech lainnya belajar pengalaman mahal Tiongkok untuk p2p lending

Kaleidoskop Industri Fintech Pembayaran dan Lending Selama Tahun 2019

Dinamika perjalanan startup fintech terus menggeliat hingga tahun ini, terutama untuk dua industri fintech terbesar, yakni pembayaran dan lending. Masih tajamnya jumlah underbanked dan unbanked masih menjadi optimisme pemain fintech untuk terus bergerak maju.

Berbekal laporan e-Conomy SEA 2019, ada 51% penduduk Indonesia yang masuk ke golongan unbanked; underbanked 26%; dan banked 23%. Sementara, secara umum, 75% penduduk di Asia Tenggara masuk kategori underbanked dan unbanked. Mereka ini kurang terlayani karena berbagai alasan, salah satunya infrastruktur dan regulasi yang ketat.

Satu data ini menjadi pendukung bahwa baik di Indonesia, maupun negara lain di ASEAN punya peluang yang besar untuk menggarap lini pembayaran dan lending. Maka, tak heran, bila pada tahun ini ada sejumlah pemain lending yang ekspansi ke luar Indonesia.

Investasi terbesar dipegang oleh sektor fintech

Menurut laporan DSResearch, tercatat ada 110 investasi yang diumumkan startup dan/atau investor per 18 Desember 2019. Dari jumlah ini, fintech mendapatkan porsi terbanyak dengan 23 transaksi, disusul SaaS (9), e-commerce (8), dan logistik (6).

Bila dijabar lebih dalam, mengutip dari Fintech Report 2019, pendanaan untuk startup fintech lending dengan tahap tertinggi adalah Akulaku yang memperoleh pendanaan Seri D sebesar $100 juta dipimpin Ant Financial.

Kemudian menyusul kompetitor terdekatnya, Kredivo dengan pendanaan Seri C senilai $90 juta (lebih dari Rp1,2 triliun) dipimpin Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund dan Square Peg.

Berikutnya untuk Seri B, terdapat Investree, Amartha, KoinWorks, dan UangTeman. Besar kemungkinan perusahaan ini akan kembali menggalang dana untuk tahun depan, seperti halnya Investree yang sudah sesumbar sedang dalam penggalangan Seri C untuk ekspansi regional tahun depan.

Bagaimana dengan fintech pembayaran? Menurut laporan kami, dari 23 transaksi, hanya ada satu pendanaan yang masuk ke vertikal fintech ini, yakni Aino. Startup ini memperoleh pendanaan tahap awal sebesar $4 juta dari TIS.

Mereka bergerak di bidang platform pembayaran non tunai dengan menggunakan uang elektronik di sektor publik, seperti tiket transportasi, bayar parkir, tol, vending machine, hingga tiket wahana wisata.

Ekspansi ke negara ASEAN

Kembali ke premis awal, baik Indonesia maupun negara ASEAN lainnya, kecuali Singapura, punya potensi yang besar untuk menggalakkan bisnis lending dan pembayaran.

Indonesia selalu menjadi benchmark suatu perusahaan, bila sukses menjadi pemain terdepan di sini, artinya ada optimisme yang tinggi ketika ekspansi ke negara lain. Mereplikasinya lalu menyesuaikan dengan unsur lokalisasi yang berlaku di negara tersebut.

Keyakinan inilah yang membuat pemain lending yakin untuk ekspansi ke negara tetangga. Diantaranya adalah Kredivo dan Investree. Kredivo berencana untuk masuk ke Filipina pada tahun ini. Wacana ini kembali menyeruak, setelah pending sejak pertama kali sesumbar di 2018.

Sementara, Investree akan melanjutkan ekspansinya ke Filipina, setelah sukses hadir di Thailand dan Vietnam. Di Vietnam, Investree hadir dengan brand eLoan. Sementara di Thailand tetap dengan brand Investree Thailand. Model bisnis yang ditawarkan kurang lebih mirip dengan Indonesia, pembiayaan invoice dan modal usaha.

Pemain lainnya adalah Kredit Pintar yang masuk ke pasar Filipina dengan brand Atome. Layanan yang disajikan juga kurang lebih sama yakni payday loan dengan nominal dari Rp270 ribu sampai Rp2,7 juta.

Kolaborasi incar vertikal fintech yang lain

Pergerakan vertikal fintech, berkat teknologi, tidak harus melulu menyediakan satu lini produk saja. Sebabnya, kebutuhan finansial seorang manusia itu selalu berkembang.

Jalur pertama masuk ke layanan finansial adalah melalui e-wallet ketika ia hanya punya smartphone, tapi tidak punya rekening bank (unbanked). Semakin ia terbiasa transaksi non tunai, di tambah hadirnya asumsi bahwa ekonominya meningkat.

Disitulah muncul kebutuhan produk pinjaman payday loan, mengingat mereka belum masuk sebagai nasabah bank. Bila mereka adalah pengusaha, maka ada kebutuhan pinjaman untuk mengembangkan usahanya.

Semakin terbentuklah skoring kredit yang bisa dipakai untuk menentukan kualitas finansial seseorang. Di saat yang sama, mereka bisa masuk sebagai nasabah bank untuk menerima fasilitas finansial lebih dalam, atau bisa membeli produk asuransi, dan mulai berinvestasi.

Logika inilah yang melatarbelakangi perkembangan produk fintech, terlihat dari pergerakan para pemain fintech pembayaran dari awal hingga kini. Ovo segera menghadirkan produk reksa dana, bekerja sama secara strategis, sekaligus menunjuk CEO Bareksa Karaniya Dharmasaputra sebagai Presiden Direktur Ovo.

Karaniya Dharmasaputra
Co-Founder CEO Bareksa Karaniya Dharmasaputra yang kini jadi Presdir Ovo

Di saat yang bersamaan, Ovo merilis dua produk turunan lending bersama Taralite, portofolio di bidang lending, untuk menyasar pinjaman produktif untuk pengusaha dan payday loan untuk mitra GrabCar. Vertikal bisnis Ovo diperluas untuk bisnis big data dengan membuat smart vending machine “Ovo SmartCube.”

Perusahaan bersama Tokopedia pada awal tahun ini merilis Ovo PayLater untuk memudahkan transaksi dalam platform tanpa harus memiliki kartu kredit.

Kompetitor terdekatnya, GoPay perluas fungsinya tidak hanya mendukung seluruh layanan dalam ekosistem Gojek saja. Kini menyentuh berbagai fasilitas baik di sektor publik, hadir sebagai salah satu opsi pembayaran di Samsung Pay bersama Dana.

Tak lupa, bermitra dengan pemain global lainnya seperti Boku dari Inggris, membuka pintu bagi mitra global Boku di Indonesia untuk menggunakan GoPay sebagai opsi pembayaran digital.

Saldo GoPay kini mendukung untuk pembelian reksa dana di aplikasi Bibit atau beli emas lewat Pluang. Untuk produk lending, GoPay memanfaatkan Findaya dalam merilis PayLater pada tahun lalu.

Pluang juga menjadi mitra untuk salah satu produk di Bukalapak yakni Cicil Emas, dalam rangka memperkuat jajaran produk finansial sebelumnya BukaEmas dan BukaReksa.

Polda Metro Jaya menggandeng GoPay sebagai mitra pembayaran non tunai untuk pembuatan dan perpanjangan SIM. Memperdalam penetrasi GoPay di layanan publik
Polda Metro Jaya menggandeng GoPay sebagai mitra pembayaran non tunai untuk pembuatan dan perpanjangan SIM. Memperdalam penetrasi GoPay di layanan publik

Rumor terpanas yang terjadi tahun ini adalah konsolidasi Dana dan Ovo untuk mengalahkan dominasi GoPay. Dikatakan selambat-lambatnya pada kuartal pertama tahun depan rampung. Kedua belah pihak kompak tidak mau berkomentar terkait rumor yang beredar.

Pemain pembayaran berikutnya ada LinkAja yang agresif merilis berbagai produk, seperti syariah, produk PayLater kerja sama dengan Kredivo. Terakhir, hadir sebagai alternatif metode pembayaran di aplikasi Gojek dan Grab, yang sebelumnya dimonopoli oleh GoPay dan Ovo.

LinkAja memperkuat kehadirannya di jaringan publik milik negara, misalnya untuk Commuter Line dan dalam waktu dekat segera hadir di MRT Jakarta.

Dari sisi pemain lending, semakin banyak yang tertarik sebagai agen penjualan SBN agar memberikan nilai tambah buat para investor. Di samping itu, platform mereka juga dijadikan sebagai channel penjualan produk asuransi. Seperti yang dilakukan oleh Tanamduit dengan Premiro.

Peluang e-commerce dan merchant online-nya tidak menyurutkan incaran para pemain lending untuk bermitra dengan platform marketplace. Seperti yang dilakukan Modalku untuk Tokopedia yang merilis produk Modal Toko.

Catatan fintech lending, belajar dari Tiongkok

Sebelum mengawali kaleidoskop, Indonesia boleh bernafas lega karena regulatornya yang aktif mengawal perkembangan fintech karena belajar dari negara lain. Tiongkok menjadi contoh negara yang memiliki bahan ajar terbaik untuk tidak melakukan kesalahan yang sama, sekaligus patut diwaspadai gerak geriknya.

Tahun ini menjadi senjakala untuk industri p2p lending di Tiongkok. Regulator memerintahkan kepada seluruh pemain p2p lending untuk transisi jadi penyedia pinjaman kecil dalam dua tahun mendatang.

Mereka harus memenuhi syarat modal minimal tidak kurang dari RMB 50 juta (hampir Rp100 miliar) untuk menjadi perusahaan pinjaman kecil regional. Sementara untuk operasi nasional, nominalnya naik tidak kurang dari RMB 1 miliar (hampir Rp2 triliun).

Di saat yang bersamaan, mereka harus membersihkan pinjaman outstanding dalam waktu kurang dari setahun sebelum beralih ke pinjaman kecil. Platform yang diindikasi fraud dan memiliki risiko kredit serius akan dilarang melakukan transisi dan dipaksa tutup.

Penertiban ekstrem ini diambil karena ingin menghapus praktek shadow banking dan skema ponzi yang dianut para pemain p2p lending ‘nakal’, mengakibatkan gurita skandal.

Bisnis p2p lending di Tiongkok mulai tumbuh sejak 2011 dan sempat mencapai volume penyaluran RMB 1,3 triliun (setara Rp2.644 triliun) pada Juni 2018. Pada puncaknya, ada 50 juta investor tercatat di platform ini tersebar di sekitar 6.200 platform.

Saking menggeliatnya, disebutkan muncul tiga platform baru setiap harinya. Pertimbangan regulator untuk tidak meregulasi secara disengaja dengan harapan lebih mudahnya akses menerima pendanaan buat pengusaha kecil di sana, tapi malah jadi malapetaka.

Tercatat, saat ini hanya 427 platform p2p lending yang beroperasi pada akhir Oktober 2019, menurut data termutakhir dari China Banking and Insurance Regulatory Commission (CBIRC).

Pengetatan aturan yang ekstrem akhirnya membuat Lufax, salah satu pemain p2p lending terbesar di sana, menyatakan untuk keluar total dari ranah ini dan beralih ke pinjaman komersial biasa di bawah bank.

Lufax berdiri pada 2011, disebutkan pada akhir tahun lalu memiliki dana kelolaan sekitar RMB 370 miliar (setara Rp752 triliun), 80% dana tersebut berasal dari portofolio p2p lending.

Pengalaman mahal ini sudah sepatutnya menjadi perhatian buat semua stakeholder di industri terkait. Pendekatan yang dilakukan OJK untuk mengatasi isu di Tiongkok agar tidak terjadi di Indonesia, kian hari kian ketat.

Untuk mencegah skema ponzi, OJK menerapkan kewajiban escrow account. Sementara untuk risiko borrower meninggal atau masa sulit, dibuka peluang kerja sama dengan asuransi kredit, atau restrukturisasi hutang.

Terobosan lainnya, OJK menerapkan collection dengan menggunakan jasa collector yang bersertifikasi resmi, memanfaatkan Fintech Data Center dan membatasi akses smartphone konsumen untuk skoring kredit, membatasi tingkat bunga dan penalti tidak boleh melewati pokok, wajib menggunakan digital signature, dan masih banyak lagi.

Pemain yang tidak mematuhi aturan tersebut, jangan harap bisa mendapat izin usaha dari OJK. Terhitung OJK baru memberikan izin untuk 25 pemain p2p dan 119 pemain yang lain tengah dalam proses perizinan.

Pemberian izin usaha p2p lending untuk 12 pemain dari OJK / DailySocial
Pemberian izin usaha p2p lending untuk 12 pemain dari OJK / DailySocial

Jumlah penambahan izin ini sempat mandeg dari 2017 hanya ada satu, baru terjadi penambahan pada awal 2019 berangsur-angsur hingga menjelang akhir tahun. OJK mengeluarkan sekaligus untuk 12 perusahaan dalam satu waktu.

Bukan tanpa sebab, fintech lending ini melibatkan uang publik sehingga regulator harus berhati-hati dalam memberikan izin. Sejak 2018 sampai November 2019, Satgas Waspada Investasi menemukan 1.898 fintech lending ilegal.

Mereka mencoba tindakan fraud karena ada beberapa server-nya dioperasikan di negara lain. Protocol internet-nya berjalan dinamis, tidak dari satu negara saja yang terdeteksi, melainkan ada dari Amerika Serikat, kemudian berubah ke Tiongkok, dan Eropa.

Selain mengencangkan aturan dari berbagai sisi, bahkan OJK sudah mewacanakan rencana pembatasan pemain lending. Kendati, menurut Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi masih menunggu rekomendasi dari AFPI terkait angka idealnya.

“AFPI belum pernah menyampaikan kepada kami, sebab kalaupun kami mau batasi harus ada dasarnya yaitu dari AFPI sebab mereka yang paling paham, apa sebenarnya kebutuhan dari publik. Tentunya kami akan tunggu usulan mereka,” katanya, Kamis (19/12).

Cara Transfer Saldo Dana ke Rekening Bank Lokal

Cara Transfer Saldo Dana ke Rekening Bank

Fitur transfer ke rekening bank di aplikasi Dana hanya bisa dilakukan jika Anda sudah melakukan upgrade ke akun premium. Bagaimana cara upgrade-nya sudah saya bahas di artikel sebelumnya.

Sekarang, kita akan coba melakukan pengiriman saldo ke rekening bank lokal.

  • Jalankan aplikasi Dana, kemudian tap tombol Send.

Screenshot_20191227-142118_DANA(1)

  • Ini adalah tampilan baru Dana, bagi Anda yang masih menggunakan versi lama mungkin akan agak berbeda.
  • Di panel ini, karena kita akan mengirimkan saldo ke rekening bank maka tap tombol Send to Bank Account.

Cara Transfer Saldo Dana ke Rekening Bank_1 (2)

  • Untuk pengiriman pertama kali, tambahkan dulu rekening bank yang akan dituju. Tap Send to Bank Account, lalu tambahkan rekening baru.

Cara Transfer Saldo Dana ke Rekening Bank_2

  • Masukkan nama bank, nomor rekening dan nama pemilik rekening.

Cara Transfer Saldo Dana ke Rekening Bank_3 (2)

  • Selanjutnya, masukkan nominal uang yang akan dikirimkan.

Cara Transfer Saldo Dana ke Rekening Bank_4

  • Kemudian pilih sumber dana yang digunakan, apakah dari saldo, dari kartu debit atau kartu BCA OneKlik.

Cara Transfer Saldo Dana ke Rekening Bank_5

  • Sistem kemudian akan meminta konfirmasi Anda sekali lagi sebelum dana dikirimkan. Anda harus memperhatikan bahwa nomor rekening dan nominal yang dimasukkan sudah benar. Jika sudah benar, tap tombol Confirm.

Cara Transfer Saldo Dana ke Rekening Bank_6

  • Berikutnya, masukkan nomor PIN Dana Anda.

Cara Transfer Saldo Dana ke Rekening Bank_77

  • Jika benar, maka sistem akan menampilkan konfirmasi bahwa pengiriman dana sudah berhasil dilakukan.

Cara Transfer Saldo Dana ke Rekening Bank_9

Pengiriman saldo Dana tidak dikenakan biaya untuk 10 transaksi pertama. Selanjutnya Anda akan dikenakan biaya transaksi untuk setiap transaksi yang dilakukan.

Amartha's CEO, Andi Taufan who was recently appointed as presidential expert staff

Andi Taufan Believes Perseverance Will Eventually Pay Off

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

As the sole founder of Amartha, Andi Taufan Garuda Putra has poured blood, sweat, and tears in building the company. With the story of being left by co-founders, the dilemma of choosing study over its own company. It’s all lead to the current situation where the peer-to-peer lending platform has delivered Rp1.25 trillion successful loans to over 200 thousand micro-entrepreneurs in the rural area.

He began the journey with a dream to enable financial inclusion throughout Indonesia. It’s a challenging one, considering the loan business is full of loophole and fraud potential. However, with perseverance as the foundation, he works his way up to the point where micro-businesses can contribute more to Indonesia’s economy.

In fact, he was recently appointed as one of the presidential expert staff by Jokowi. It’s definitely creating more pile of work on his desk. However, he’s eager to accept the challenge, it’s because he believes this country is moving towards a better economy and it’ll be incredibly great to be part of the change.

Let’s hear more of Andi Taufan Garuda Putra’s story through the excerpt from his interview with DailySocial’s team.

To begin with, you are one with an academic background in business. What’s your first thought on starting Amartha? What encouraged you to create such a thing with social impact?

I was getting my business degree without any aspirations to become an entrepreneur. My parents are struggling with their professional career, so I was just planning to follow their path. I was also planning to get my master’s degree and build a professional career worth living. Once I become successful, I would spare some for those less fortunate people. I used to have a simple definition of success, it’s when I turn 50 and have nothing to worry about on my plate.

After graduating from college, I was working at IBM for two years as a business consultant. My job is basically involving palm oil companies to implement the IT system in rural areas. While circling around the less-urban spots, I found out a significant gap between the rural and urban areas, such as Jakarta. It encourages me to make a move, how to contribute more to this issue. In my exploration days, I decided to create something more targeted. Instead of helping conglomerates bulking up their organizations, I need to make something more impactful for small businesses to grow.

It was in the early ’00s, nobody thought of fintech or application platform. After digging into some ideas, I finally settled with microfinance. It has a clear view, once you inject the first capital, cashflow will work out, it also comes with a significant increase in income. It also creates a multiplayer effect in the family, aside from growing business, their children can grow along and have a proper education.

You started Amartha in a cooperative form. Can you spare me the detail on your journey in building the leading peer-to-peer lending platform?

One afternoon, I was visiting a rural area in Bogor named Ciseeng. While exploring the village, I met some people and talked about the issues that often come up in the area. Most of them who stayed at home are women, their husbands were at someplace working informal jobs. As the head of the household didn’t earn much, the wives have to work part-time to improve the family’s welfare.

Based on this phenomenon, I thought they need some additional support. I started to provide small loans, starts from 500 thousand for 100 people in the first year. Talking about productivity, they take the loan seriously and use it for something useful, such as sewing machines and many more. Most of them are responsible enough to return the money on time. We grew by providing a thousand people the next year.

After five years serving over 7000 people in the rural, we’ve found the business quite challenging. At the end of the day, micro-loan has become more than just money, it is a hope for them. They started to make plans for the business and the family, and expect for more loans. With some bad credits and stuff, we were so close to run out of money and the “Amartha went bankrupt?” question has been thrown almost at every corner. It’s just hard, even for me too.

I then discovered that in this internet era, microfinance alone was not enough. We then come up with an idea to gain money from the public, such thing called marketplace peer-to-peer lending. With high-quality partners and the impactful loans, I had my pitch to the seed investors [BEENEXT and MidPlaza]. They turned out to love the idea and through ups and downs, Amartha finally launched its online platform in 2016.

The momentum is there, and more peer-to-peer lending platforms are to launch. Fintech industry is getting alive than ever. We also advised OJK to issue the regulations for the newborn p2p lending industry. Amartha then becomes one of the first batch p2p lending platforms to acquire the license from OJK in early 2019.

Amartha's current team
Amartha’s current team

Talking about the crucial season, how did you cope with the situation and rise up?

It was around the year 2014-2015. People have turned their backs on Amartha, I, too, have doubt in surviving this company. I’ve thought about something new, and the good news from Harvard arrived. In the same year, investors are coming to the Amartha-near-falling-town.

It’s a dilemma, whether to take the school or take care of the company. I finally talked to the investors and they decided to let me continue with my study, under one condition, the platform must be launched as soon. It did happen in 2016. I was working remotely in the US with lots of help from Aria and the developer team. It’s a blessing to have a supportive team and a positive environment around you.

Being a sole founder is a different challenge for me. In 2009, I used to have partners, until one by one left because of the current situation back then. I tried again in 2014 with some partners before eventually two were left and the last one departed with another priority. I then realized that we have co-founders for every stage of Amartha, it is indeed important. In fact, today’s C-levels are very critical to help us moving to the next stage.

What is the next stage for Amartha?

It is when we go beyond peer-to-peer lending. We’ve been very good at providing micro-loan for women in rural areas. Stay true to our mission to deliver equal welfare for people in the last pyramid. If we’re to define the welfare it would be to reduce their cost of living, provide them with affordable products, therefore, they can spare money for savings, and start investing. How Amartha can evolve beyond p2p lending? It’s not only about supporting the initial capital but also to provide other products that can improve the quality of their lives.

How can you make sure the company stays true to the commitment?

The key is to embrace the problem. As the loan business, there are always people with payment past the due date, a loophole in regulations, potential for fraud. If we’re not to embrace, we’ll never improve. What I learned until now the employee has reached 2500, is how to build team with a mission. Their spirit should be aligned with the company’s overall mission. It’s to plant a sense of belonging in each employee. Once done, they can start to explore and move towards the goal. It’s quite challenging but worth fighting for.

Taufan as the first speaker at #SelasaStartup
Taufan as the first speaker at #SelasaStartup

As one of the first-batch peer-to-peer lending platforms in Indonesia, who/what is your role model for Amartha?

I was looking up to the US and Europe markets. They already have unicorn LendingClub in the US, and Europe market with its Funding Circle and Prosper. I’ve never seen one in Asia. Therefore, with a different customer base, I worked with what we have. As most of the Indonesian population is in the low-end pyramid, Amartha created a business model targeting mass-market and high-quality borrowers.

In the p2p lending landscape, do you have any issue with banking or any other departments towards financial inclusion?

Since the beginning, we have a clear division of roles. Everything we’ve done will not happen without banking infrastructure. On the other hand, banking is not likely to serve this segment, it’ll cost them a grand. Amartha knows the way to serve them and vice versa. This is all about trust issues and we’re fancy collaboration over competition.

Since the trend emerged in 2016 and more players arise in 2017. In 2018, the illegal issue comes up, and even though it’s not us, we’re still affected. OJK is said to take care of the issues this year and association is doing its homework. I see the future will be filled with collaboration, not only funding with banking but something more solid and intense. Also, there will be new ones offering more sophisticated products to run financial inclusion. And I’m always positive with the new founders, because that is what we need, more aggressive and positive people.

In over 10 years, you have poured blood, sweat, and tears into this company. Have you ever thought of creating something new?

It’s still a long way to go for me to get there. Amartha is still in the growth stage, it’s also a different business scale with Google or others. Especially with my recent appointment as the presidential expert staff. I currently have a lot on my plate these days.

Startup players might have known to have “innocent” political views, but you’ve changed it. What makes you so eager to achieve the challenge?

We have a president who is sincere and I’m more than happy to support him. We had a discussion on Indonesia’s small businesses. He wants to make a change, for bureaucracy’s engine can move faster towards future trends. A mandate for Indonesia to be the world’s top 4 of the country with economic power. This is to be built with positive energy and optimistic people. I, along with the other staff, believe that this is a small step to create the confidence to bring Indonesia to the next level.

Taufan as one of the presidential expert staff
Taufan as one of the presidential expert staff

With the current framework thinking in startup companies, which is fast. Do you happen to experience a clash of culture with the bureaucracy?

It is our duty as the presidential expert staff to provide innovative thoughts and breakthroughs as the president move bureaucracy’s trains with technology and digital approach. First look at the goal, I have yet to face the clash of anything. It’s a good thing that I still get the chance to work in Amartha, therefore, I can balance the startup with bureaucracy stuff for now. Let’s see what’ll happen six months from now.

Looking back at where you start and how it turns out today, what can you say to the early entrepreneurs facing near-failure situations like yourself back then?

If I were to say something, it would be to stay true to your long term goal, because perseverance will eventually pay off.  For those who just started, it’s not about the people, or the money, or the technology. It’s when you find the one thing to focus on and let no distractions come in the middle. Failure is part of the journey. We fail when we stop.

Moka Fresh

Melalui “Moka Fresh”, Moka Sediakan Akses Bahan Baku untuk Merchant Kuliner

Platform mesin kasir digital (point of sales – POS) Moka merambah produk baru yang menghubungkan penyuplai bahan makanan untuk merchant kuliner yang bergabung, disebut Moka Fresh. Produk teranyar ini melengkapi rangkaian ekosistem digitalisasi bisnis yang dibangun Moka, setelah Moka POS, Moka Pay, Moka Capital, dan Moka Connect.

Dalam situsnya, Moka Fresh adalah solusi kesulitan bahan baku makanan, peralatan dapur, alat kebersihan, hingga peralatan elektronik untuk mitra kuliner. Perusahaan bekerja sama dengan berbagai penyuplai ternama menyediakan bahan dan alat berkualitas tinggi dan harga terbaik. Penyuplai tersebut di antaranya Greenfields, Diamond, Unilever, Bogasari, ABC, dan SayurBox.

Seluruh pemesanan dilakukan secara online dengan mengisi daftar pesanan, berikutnya mengisi alamat pengantaran. Metode pembayaran yang tersedia saat ini adalah invoicing yang dapat dibayar tujuh hari kemudian demi menyesuaikan arus kas bisnis dari merchant tersebut.

Moka Fresh untuk sementara baru bisa diakses melalui Backoffice Moka POS dari browser. Aplikasinya sendiri akan dirilis dalam waktu dekat. Merchant yang baru menikmati produk ini adalah mereka yang memiliki toko di Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya; dan sudah berlangganan Moka di atas dua bulan.

VP Brand & Marketing Moka Bayu Ramadhan menjelaskan, inovasi ini mempertegas posisinya sebagai pemimpin pasar untuk POS dengan kelengkapan produk dan layanannya secara end to end buat UKM di Indonesia. Sejak lima tahun berdiri hingga sekarang, Moka telah mengalami banyak perkembangan signifikan.

Penggunanya telah mencapai 30 ribu bisnis tersebar di lebih dari 200 kota dan kabupaten seluruh Indonesia. Pertumbuhan pengguna mencapai 210% dibandingkan tahun sebelumnya. Dari segi transaksi, tumbuh 126% dan nilai transaksi yang diproses merchant lebih dari Rp20 triliun.

Moka Pay turut mencatatkan kenaikan transaksi non tunai sebesar 12 kali lipat secara year on year. Opsi pembayaran non tunai yang tersedia di Moka adalah GoPay, Ovo, Dana, LinkAja, Akulaku, dan Kredivo. Sementara itu, Moka Capital telah membantu menyalurkan modal sebesar Rp26 miliar untuk para pemilik bisnis.

“Dengan meningkatnya kepercayaan dari para pelaku bisnis dan meluasnya produk dalam ekosistem yang ditawarkan, di 2020 Moka berupaya untuk fokus dalam memperluas penetrasi ke segmen grassrot dan enterprise,” kata Bayu dalam keterangan resmi, Senin (30/12).

Perusahaan, sambungnya juga mendirikan wadah pengembangan edukasi berbasis teknologi disebut A Cup of Moka. Dalam kurun setahun, program ini berhasil mengedukasi lebih dari 2 ribu pelaku usaha secara offline dan sekitar 4 ribu pelaku usaha secara online lewat berbagai rangkaian acara yang digelar. Jumlah partnernya tembus di angka 124 institusi, baik itu dari pemerintah, penyelenggara swasta, akademis, LSM, dan lainnya.

Di samping itu, menyediakan business insight untuk bantu pemilik usaha dalam mengambil keputusan strategis dalam bisnis. Contohnya, sepanjang tahun ini tren penjualan minuman boba meningkat 12 kali, khimar jadi produk ritel paling populer dengan penjualan naik 96%, facial treatment seperti facial, acne care, dan masker wajah menunjukkan transaksi dan pendapatan tertinggi.

Application Information Will Show Up Here