Sejak Juni lalu, perusahaan di Indonesia memulai adaptasi terhadap situasi new normal. Sejumlah perusahaan sudah mulai membuka kembali kantornya dengan mematuhi protokol kesehatan, namun masih banyak perusahaan yang tetap menerapkan kebijakan Work From Home (WFH).
Bagi sejumlah perusahaan, penerapan WFH menjadi tantangan besar untuk mengelola sumber daya dan produktivitas yang sama seperti bekerja di kantor. Padahal situasi ini kemungkinan bakal terus berlanjut, bahkan menjadi permanen.
Muncul konsep baru, yang sedikit berbeda dengan WFH, yang disebut Full Remote Working (FRW). Laporan Gartner per Maret 2020 yang menyurvei 317 senior finance leader menyebutkan sebanyak 74 persen responden berencana shifting untuk menerapkan FRW secara permanen selama dan pasca pandemi Covid-19.
Apakah FRW menjadi jawaban bagi tren bekerja ke depan?
FRW vs WFH
Secara umum, baik FRW maupun WFH memampukan para pekerja profesional untuk bekerja di luar lingkungan perkantoran. Kedua term ini seringkali dianggap sebagai konsep kerja yang sama. Sesungguhnya keduanya memiliki perbedaan mendasar, yakni lokasi dan jam kerja.
WFH secara harafiah dapat berarti bekerja dari tempat tinggal mereka, baik itu rumah, apartemen, atau residensi lain. Model kerja ini kian familiar pasca-pemerintah menetapkan kebijakan kerja dari rumah dan pembatasan sosial empat bulan lalu.
Sebaliknya, FRW banyak diadopsi full time freelancer yang jam kerjanya tidak terikat waktu dan dapat dilakukan di mana saja. FRW juga populer di kalangan industri startup sebagai salah satu cara mereka untuk mendorong agility pada pengembangan produk/inovasi.
Seiring berkembangnya teknologi digital, pandangan terhadap konsep FRW dan WFH semakin kabur. Hal ini karena semakin banyak kehadiran platform digital yang mendukung produktivitas bekerja WFH dan FRW, misalnya Google Meet, Zoom, Slack, dan Asana.
Di sesi “Life After COVID-19: Indonesian Startup Adapts to Full Remote Work Permanently”, CEO Campaign.com William Gondokusumo menilai perbedaan kedua model kerja ini tidak sebatas pada lokasi dan jam kerja. Misalnya jam kerja WFH terikat jam kantor, kegiatan meeting WFH umumnya dilakukan secara lisan melalui video call, dan pengenalan tim/proyek juga memakan waktu lalu karena perlu ada briefing.
Sementara FRW fokus pada kualitas kerja dengan jam kerja yang disesuaikan dengan waktu masing-masing sesuai kebijakan kantor (termasuk apabila jika ada perbedaan zona waktu). Proses rekrutmen pun dilakukan sepenuhnya secara remote.
Perbedaan mencolok lainnya adalah kegiatan meeting dapat dilakukan secara tertulis menggunakan Slack atau Google Docs. Bahkan meeting dapat diikuti semua orang secara online meskipun berada di tempat yang sama.
Kendati FRW menawarkan banyak nilai tambah, William menilai bahwa penerapan FRW membutuhkan komitmen kuat dan kesiapan infrastruktur yang matang. FRW juga dinilai tidak bisa diaplikasikan begitu saja bagi sejumlah sektor bisnis.
“We should not bring office to home. Ketika bekerja, kita sudah mengganti pola pikir. FRW itu orientasinya sudah sepenuhnya kerja berbasis online. Makanya, FRW menjadi sebuah komitmen besar,” ungkapnya.
Pada kesempatan sama, HR Podcaster askHRlah Monica Anggar menilai WFH menawarkan nilai tambah karena karyawan karena mengurangi biaya transportasi dan menekan stres akibat macet di perjalanan.
Namun, WFH memiliki kekurangan karena perusahaan belum siap mengeluarkan aset (komputer, kamera, dan lain0lain) ke luar kantor dalam jangka waktu lama, adanya pengeluaran biaya lebih (pulsa telepon dan paket data), dan kesulitan menghasilkan output kerja yang sama dengan bekerja di kantor.
Komunikasi paling utama
Sejumlah perusahaan, baik korporasi maupun startup, sama-sama menerapkan WFH atau FRW sebagai bentuk penyesuaian terhadap situasi pembatasan sosial. Bagaimana startup Indonesia merefleksi penerapan WFH?
CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin mengatakan, saat ini pihaknya masih menerapkan kebijakan WFH/FRW dan bekerja dari kantor dengan ketentuan protokol new-normal. Sebelum pandemi, operasional Bukalapak dijalankan melalui kantor. Kebijakan bekerja dari kantor saat itu dinilai dapat menambah efektivitas kinerja dan efisiensi komunikasi, mengingat kantor Bukalapak sempat berada di 28 titik berbeda.
Selama WFH/FRW, pihaknya fokus membantu lebih banyak lagi UMKM untuk onboard, dan melengkapi SKU–baik itu barang maupun jasa. Kehadiran platform/aplikasi digital sangat bermanfaat untuk berkomunikasi saat WFH/FRW maupun membuat perencanaan dan evaluasi rutin meski tidak bertemu tatap muka dalam bekerja.
“Kami menyadari bahwa melakukan komunikasi secara intensif dan optimistis baik kepada para pelapak, mitra maupun karyawan Bukalapak merupakan salah satu upaya kami dalam menjaga performa bisnis,” ujarnya kepada DailySocial.
Pada pengalaman Warung Pintar, perusahaan telah menerapkan kebijakan remote working pada level senior di divisi Engineering dan Product sejak lama. Dengan catatan, karyawan harus tetap berkoordinasi selama Work From Anywhere (WFA) dan remote working. Sekitar 10 persen dari total 109 karyawan di Engineering dan Product telah menjalankan remote working sebelum pandemi karena infrastruktur pendukung sudah siap.
Selama periode tersebut, CEO & Co-Founder Warung Pintar Agung Bezharie Hadinegoro juga menyoroti pentingnya komunikasi terhadap keberlangsungan WFH/FRW. Ia menilai terlalu banyak komunikasi lebih baik daripada tidak ada sama sekali.
Pada awal penerapan WFH/FRW di divisi non-operasional, tantangannya lebih banyak terasa karena ada penyesuaian terhadap pola kerja karyawan. Contoh paling banyak ditemui adalah ruang kerja dan koneksi yang kurang mumpuni, menghambat komunikasi. Ada juga masalah pendekatan ke user bagi tim yang tidak biasa turun ke lapangan.
Sementara CEO Ralali Josep Aditya juga menyoroti bagaimana mengatur ekspektasi bersama selama masa pandemi. Ekspektasi ini untuk memaksimalkan KPI dengan tolok ukur yang lebih result-driven. Artinya, perusahaan tidak lagi berkutat pada aspek kehadiran sehingga kegiatan meeting menjadi lebih efisien.
Selain itu, Joseph juga melihat bagaimana kegiatan bisnis belum terbiasa dengan distance culture. Pada aktivitas yang berkaitan dengan legal, seperti tanda tangan nota kesepakatan, interaksi tatap muka sangat diutamakan.
“Demikian halnya dengan investor. Untuk mencapai decision making, biasanya beberapa investor dari negara Asia masih mengutamakan tatap muka. Dengan kondisi pandemi, kami harus lakukan penyesuaian,” ungkap Joseph.
Ralali telah menerapkan remote working untuk divisi Tech. Namun, kebijakan ini baru diberlakukan untuk divisi lain selama periode Maret-Mei. Sekarang, semua karyawan bekerja di kantor dengan protokol kesehatan.
Tren FRW bagi pelaku startup
Menurut Bukalapak, tren FRW bisa saja diterapkan asalkan menggunakan metode parsial. Artinya, perusahaan memberikan opsi untuk bekerja di rumah atau kantor apabila dibutuhkan. Rachmat mengungkap, metode ini dapat menjadi satu solusi untuk mengombinasikan model kerja terbaik, terutama di situasi semacam ini.
Menurutnya, model ini sangat memungkinkan bagi perusahaan mengingat Bukalapak kini telah memiliki kurang lebih 2.000 karyawan. Dengan kata lain, karyawan memiliki kesempatan bekerja remote secara terbatas.
“Selama empat bulan terakhir ini kami telah beradaptasi dan melakukan pembelajaran dalam melakukan remote working. Ada dampak positif terhadap karyawan. Tapi kami sadar mereka juga butuh interaksi sosial. Jadi kami memberikan kesempatan face to face meeting, dengan memperhatikan protokol kesehatan dan kebersihan di kantor,” jelas Rachmat.
Bagi Warung Pintar, Agung mengaku tak menutup kemungkinan tren bekerja bakal bergeser ke depannya. Menurutnya, tren ini dapat dirangkul selama perubahan tersebut bisa berdampak positif bagi perusahaan, kesejahteraan Juragan, dan produktivitas karyawan. Itupun dengan catatan adaptasinya tidak berdasar pada satu skenario saja, tetapi juga beragam skenario yang tidak dapat dikontrol.
Menurutnya, perusahaan perlu adaptif, relevan, dan efisien demi menunjang produktivitas dan pertumbuhan bisnis. “Bagi kami, komunikasi lisan maupun tertulis, masih menjadi kunci utama terciptanya kondisi kerja yang ideal, terlepas WFH/FRW atau tidak. Dengan sistem squad dan tribe yang telah kami miliki, koordinasi proyek menjadi lebih cepat tanpa perlu ada centralized order,” pungkasnya.
Joseph menilai bahwa penerapan FRW membutuhkan komitmen besar dari setiap divisi/departemen untuk mempersiapkan infrastruktur dan proses bisnis. Meskipun demikian, konsep FRW berpotensi untuk dijalankan mengingat penyesuaian sangat diperlukan sesuai kondisi pekerjaan dan tuntutan zaman.
“Dalam satu hingga dua tahun ke depan, kami masih menggali dan belajar apakah sistem [remote working] ini relevan dengan berbagai role dan fungsi pekerjaan terkait,” papar Joseph.